1 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Film “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” dan Sikap Self-conscious Seorang Seniman Modern

Runi ArumndaribyRuni Arumndari
May 4, 2020
inUlasan
Film “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” dan Sikap Self-conscious Seorang Seniman Modern
18
SHARES
  • Judul Film: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini
  • Genre: Drama
  • Tahun 2020
  • Sutradara:Angga Dwimas Sasongko
  • ProduksiVisinema Pictures
  • Adaptasi dari novel karya Marcella FP.
  • Pemain: Rachel Amanda,Rio Dewanto,Sheila Dara Aisha,Ardhito Pramono,Donny Damara,Susan Bachtiar,Oka Antara,Niken Anjani, danAgla Artalidia

____

Pada tahun 1980, Goenawan Mohamad menuliskan sebuah buku berjudul Seks, Sastra, Kita yang berbicara mengenai  perkembangan seni, baik dalam bentuk puisi maupun film, di Indonesia dari seni tradisional hingga seni kontemporer atau modern. Menurutnya, seniman modern mempunyai suatu sikap self-conscious, sangat menyadari siapa dirinya dan sadar secara penuh siapa ‘aku’ yang ditampilkan di hadapan publik. Terkadang, atau seringkali, terlalu gelisah dan khawatir dengan bagaimana karyanya akan disaksikan orang banyak, akan sejalan atau tidak dengan selera masyarakat.

Buku tersebut memang sudah lama sekali dibuat, namun rasa-rasanya masih mempunyai relevansi dengan apa yang terjadi sekarang. Kalau mau lebih tepat lagi, dengan apa yang terjadi pada Angga Dwimas Sasongko dan karya terbarunya, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020). Angga dengan karyanya tersebut dapat menjadi suatu contoh yang menggambarkan apa yang ditulis Goenawan mengenai seniman modern dan sikap self-conscious-nya.

Hilangnya Seniman Tanpa Nama

Dalam bukunya, Goenawan menuliskan bahwa seni modern bukan lagi jaman di mana para senimannya tampil anonim, malu-malu dalam menonjolkan diri, dan lebih peduli akan identitas karyanya dibanding dirinya sendiri. Mereka kini tampil dengan nama, dan karenanya juga mempertaruhkan ‘nama’nya selain juga karyanya, karena khalayak penikmatnya pun juga semakin meluas akibat distribusi dan pemasaran yang juga meluas. Para seniman modern dengan nama ini harus memilih antara tampil terbuka penuh sebagai dirinya, atau memilih satu pose atau topeng yang dianggapnya baik untuknya. Dan, Angga mencerminkan pilihan yang terakhir.

Sekiranya, tanpa dibekali buku milik Goenawan, saya yakin sebagian besar dari Anda menyadari satu hal yang jelas terlihat dari karya terbaru Angga; bahwa ia nampak seperti sebuah topeng berlukiskan wajah masyarakat jaman now. Ya, Angga memilih untuk menggunakan pose tersebut; pose masyarakat jaman now, atau kekinian, yang dekat dengan media sosial dalam level yang amat personal di mana keadaan patah hati, rasa kecewa, kesedihan, serta amarah dijadikan konten bernada puitis dan berharap akan menarik banyak like dan retweet dari mereka yang merasa ‘senasib’. Ada perasaan seperti, ‘ah ini jaman now banget filmnya. Anak-anak kekinian pasti suka’, ketika menonton karya Angga tersebut. Bukan begitu?

Akuilah, kata-kata bernada puitis akhir-akhir ini sedang naik pamor. Mereka bertebaran di berbagai media sosial, entah sebagai sebuah cuitan mengenai perasaan, atau sekadar menjadi pelengkap sebuah foto estetis yang seringkali melibatkan kopi dan senja. Mereka juga tak jarang hadir dalam berbagai lirik lagu penyanyi-penyanyi masa kini, seperti Fiersa Besari, Kunto Aji, atau Danilla Riyadhi, yang banyak dikutip di sana sini.

Hal itulah yang menjadi bukti pertama betapa kuatnya pose yang ditampilkan Angga. Ia begitu lantang dalam memasukkan substansi puisi dalam Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Dialognya begitu puitis. Segala kemarahan, kekecewaan, kesedihan, dan patah hati pun hadir dalam bentuk puisi yang dijadikan dialog sehari-hari. Seakan-akan, para tokoh tersebut sudah menyusun baik-baik kalimatnya sebelum diucapkan. Ketika Angkasa (Rio Dewanto) marah kepada ayahnya (Donny Damara) saat rahasia keluarga terungkap, saat Kale (Ardhito Pramono) menuliskan pesan puitis di gips yang melingkari tangan Awan (Rachel Amanda), atau saat Kale memutus hubungan dengan Awan. Semuanya serba puitis.

Hal yang kedua adalah bagaimana Angga bersama Yadi Sugandi menghadirkan berbagai lanskap estetis seakan siap dipajang di media sosial. Foto aesthetic itu penting, mungkin begitu kata masyarakat kekinian. Contoh yang paling menonjol adalah adegan Angkasa, Aurora (Sheila Dara Aisha), dan Awan di atap gedung dengan langit senja yang cantik di belakangnya, diiringi percakapan mengenai permasalahan keluarga dan masa depan yang sebenarnya bisa dilakukan di mana saja. Begitu percakapan selesai, mereka pun turun menemui Ibu (Susan Bachtiar) yang seakan-akan memang sengaja mengantar lalu menunggu di bawah untuk membiarkan mereka mengobrol cantik di atap gedung.

Ketiga, Angga tidak melupakan detil elemen kekinian lainnya agar posenya semakin sempurna. Sebut saja MRT, art gallery, dan festival musik yang dipenuhi berbagai musisi indie. Anak kekinian mana yang tidak mempunyai foto di MRT dan art gallery? Atau yang tidak rajin mampir ke festival musik? Cerdiknya, Angga juga memasukkan para musisi indie tersebut ke dalam jajaran pemainnya; Ardhito Pramono dan Isyana Sarasvati. Bahkan, lagu milik Ardhito pun turut dimainkan oleh tokoh Kale dalam suatu adegan.

Keempat, entah disengaja atau tidak, Angga juga menyisipkan berbagai potret karakteristik masyarakat kekinian. Masyarakat yang terkadang melihat sesuatu atau seni hanya sebagai sebuah objek foto yang keren, tanpa memahami makna dan fungsinya, bahkan tak jarang hingga merusaknya. Hal tersebut tersirat dari sebuah dialog antar pengunjung yang datang ke pameran seni Aurora, yang mengatakan bahwa mereka tidak mengerti maksud dari karyanya. Mereka hanya datang saja, mungkin karena tidak ingin ketinggalan sesuatu yang sedang hits. Atau dari cara Awan membuat proyek dari atasannya, yang ia modifikasi sendiri menurut tren, padahal justru jadi hilang esensi.

Terlalu Diteriakkan

Tetapi, bukankah sah-sah saja memasukkan elemen kekinian dalam sebuah karya sebagai suatu bentuk kreatifitas? Ya, memang. Dikatakan Goenawan dalam bukunya, bahwa ketika seorang seniman membicarakan sesuatu dalam sebuah karya, yang menentukan wajar atau tidaknya pembicaraan tersebut adalah sikap sang seniman terhadap ‘sesuatu’ itu sendiri. Ia tidak boleh terlalu takut maupun terlalu keras membicarakannya. Yang terjadi pada Angga adalah yang terakhir pada beberapa poin penting.

Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa Angga sangat lantang membicarakan konten puitis pada karyanya, terutama pada dialog. Akhirnya, semua terasa kurang spontan. Masalahnya, dialog mereka bukanlah dialog yang sengaja dibuat baku dan bernuansa puisi seperti antara Rangga dan Cinta (Ada Apa dengan Cinta?, 2002). Para tokoh dalam NKCTHI bukanlah karakter yang mempunyai dasar pengetahuan dan rasa cinta akan sastra seperti Rangga dan Cinta. Mereka juga tidak mempunyai latar belakang seperti Rangga dan ayahnya yang membuat mereka terbiasa dengan penggunaan kata-kata baku dalam keseharian. Pun, mereka juga bukan karakter dengan dialog yang sengaja dibuat puitis dengan tujuan untuk menjadi rayuan manis seperti antara Dilan dan Milea (Dilan 1990, 2018). Dialog dalam NKCTHI seharusnya adalah dialog yang sangat sehari-hari, sebagaimana tema cerita dan karakterisasi setiap tokoh itu dibuat, yang juga rasa-rasanya tidak ada hubungannya dengan kesusastraan.

Nuansa musik indie pun terlalu keras dibicarakan. Selain secara kasat mata, bahwa ia muncul di mana-mana baik dari segi jajaran pemain, adegan festival musik, maupun pengisi soundtrack, ia juga terlalu keras dimainkan secara audio. Alih-alih membantu menyempurnakan emosi suatu adegan, ia justru terkesan lebih ditonjolkan dibanding adegan itu sendiri karena besar volumenya. Seakan NKCTHI memang sebuah album kompilasi musisi indie.

Seniman dan Khalayaknya

Bicara mengenai konten puisi, memang betul bahwa film ini merupakan adaptasi dari sebuah buku kumpulan puisi berjudul sama karya Marchella FP. Namun, buku tersebut pun tak lain juga merupakan gambaran sikap self-conscious. Marchella dan Angga bukan tidak terkenal. Marchella dengan buku Generasi 90-an yang meledak hebat, dan Angga dengan Filosofi Kopi (2015) yang sangat dekat dengan kehidupan dan kegemaran masyarakat menengah ke atas. Kedua karya tersebut sukses secara finansial, membuat nama mereka (semakin) banyak dikenal. Dari sana lah timbul godaan terbesar seorang seniman, yang menurut Goenawan adalah ketika ia terlalu diperhatikan publik.

Kecendrungan untuk menjadi sebuah pose semakin besar seiring dengan meluasnya khalayak dan meningkatnya perhatian mereka. Khalayaknya tak lagi merupakan sekumpulan kecil orang yang paham betul akan arti dan nilai sebuah karya seni, melainkan banyak orang yang sangat heterogen dalam hal pemahaman seninya. Sederhananya, seniman tak lagi ‘independent’, melainkan komersil. Hubungan antara seniman dan khalayaknya tak lagi intim.

Sekiranya itulah yang terjadi pada Marchella dan Angga. Setelah karya mereka yang meledak tersebut, akhirnya paham seperti apa pose yang harus mereka bentuk. Marchella membuat sebuah buku kumpulan kata-kata mutiara yang sudah ia perkenalkan lebih dulu kepada calon pembacanya melalui Instagram dan terbukti disukai banyak orang yang candu akan rangkaian kata nan puitis. Buku yang sukses tersebut pun diadaptasi oleh Angga menjadi sebuah film dengan menambahkan berbagai detil lainnya, yang sudah saya jabarkan di atas, sehingga jadilah sebuah pose dengan banyak pemuja.

Ia menjadi film Indonesia pertama di tahun 2020 yang mencapai dua juta lebih penonton. Ia dibicarakan di mana-mana. Begitu banyak masyarakat yang jatuh cinta pada pose yang ditampilkan Angga. Mereka melihat banyak elemen yang mereka gandrungi pada NKCTHI. Angga berhasil membahagiakan khalayaknya, tetapi apakah tujuan sebuah karya seni hanya semata untuk itu?

Mengutip seorang sastrawan Amerika, Archibald MacLeish, bahwa “a poem should not mean, but be”.  Kiranya hal itu berlaku tidak hanya untuk seni puisi. Bahwa sebuah karya seni haruslah menjadi jati dirinya sendiri, tanpa tujuan spesifik. Bahkan Richard Oh pernah mengatakan dalam sebuah diskusi kritik film di Institut Kesenian Jakarta bahwa sebuah film tidak harus ada tujuan memberikan pesan moral, karena film ya film. Sebuah bentuk karya seni yang penuh ide, kreatifitas, inovasi, serta perspektif.

Kembali menurut Goenawan, seorang seniman dalam membuat sebuah karya yang kreatif, haruslah lebih dulu berdamai dengan khalayaknya. Ia tidak boleh memandang khalayaknya sebagai penguji ataupun pemuja. Ia harus bisa bebas berkarya tanpa kekhawatiran dan tuntutan, sehingga semua yang dibicarakan akan tampak sewajarnya seni, tidak terlalu pelan maupun keras dibicarakan. Pun harus lepas dari kecendrungan untuk menjadi sebuah pose. Ia memerlukan ketulusan, bukan sesuatu yang (tampak) dipesan. [T]

Tags: DramafilmFilm Indonesianovel
Previous Post

Nikmatilah Single “Pencipta Kenangan” dari Morelia

Next Post

Bersastra Online pada Sastra Bali Modern: Ramai dan Guyub

Runi Arumndari

Runi Arumndari

Seorang dokter yang juga senang menulis dan melihat film tidak hanya sebagai media seni dan hiburan. Pernah menulis beberapa kali di sebuah koran. Pernah pula aktif menulis tentang film walau hanya dalam blog pribadi. Blog/website: msgretagarbo.tumblr.com dan phrasingcinema.blogspot.com

Next Post
Bersastra Online pada Sastra Bali Modern: Ramai dan Guyub

Bersastra Online pada Sastra Bali Modern: Ramai dan Guyub

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more

“Noctourism”: Berwisata Sambil Begadang

by Chusmeru
June 1, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

“Begadang jangan begadang, kalau tiada artinya, begadang boleh saja, kalau ada perlunya”. Itulah sebait lagu dangdut yang dibawakan Rhoma Irama...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025
Panggung

Sulaman Sejarah dan Alam dalam Peed Aya Duta Buleleng untuk PKB 2025

LANGIT Singaraja masih menitikkan gerimis, Selasa 27 Mei 2025, ketika seniman-seniman muda itu mempersiapkan garapan seni untuk ditampilkan pada pembukaan...

by Komang Puja Savitri
May 28, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co