- Judul Film: Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini
- Genre: Drama
- Tahun 2020
- Sutradara:Angga Dwimas Sasongko
- ProduksiVisinema Pictures
- Adaptasi dari novel karya Marcella FP.
- Pemain: Rachel Amanda,Rio Dewanto,Sheila Dara Aisha,Ardhito Pramono,Donny Damara,Susan Bachtiar,Oka Antara,Niken Anjani, danAgla Artalidia
____
Pada tahun 1980, Goenawan Mohamad menuliskan sebuah buku berjudul Seks, Sastra, Kita yang berbicara mengenai perkembangan seni, baik dalam bentuk puisi maupun film, di Indonesia dari seni tradisional hingga seni kontemporer atau modern. Menurutnya, seniman modern mempunyai suatu sikap self-conscious, sangat menyadari siapa dirinya dan sadar secara penuh siapa ‘aku’ yang ditampilkan di hadapan publik. Terkadang, atau seringkali, terlalu gelisah dan khawatir dengan bagaimana karyanya akan disaksikan orang banyak, akan sejalan atau tidak dengan selera masyarakat.
Buku tersebut memang sudah lama sekali dibuat, namun rasa-rasanya masih mempunyai relevansi dengan apa yang terjadi sekarang. Kalau mau lebih tepat lagi, dengan apa yang terjadi pada Angga Dwimas Sasongko dan karya terbarunya, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020). Angga dengan karyanya tersebut dapat menjadi suatu contoh yang menggambarkan apa yang ditulis Goenawan mengenai seniman modern dan sikap self-conscious-nya.
Hilangnya Seniman Tanpa Nama
Dalam bukunya, Goenawan menuliskan bahwa seni modern bukan lagi jaman di mana para senimannya tampil anonim, malu-malu dalam menonjolkan diri, dan lebih peduli akan identitas karyanya dibanding dirinya sendiri. Mereka kini tampil dengan nama, dan karenanya juga mempertaruhkan ‘nama’nya selain juga karyanya, karena khalayak penikmatnya pun juga semakin meluas akibat distribusi dan pemasaran yang juga meluas. Para seniman modern dengan nama ini harus memilih antara tampil terbuka penuh sebagai dirinya, atau memilih satu pose atau topeng yang dianggapnya baik untuknya. Dan, Angga mencerminkan pilihan yang terakhir.
Sekiranya, tanpa dibekali buku milik Goenawan, saya yakin sebagian besar dari Anda menyadari satu hal yang jelas terlihat dari karya terbaru Angga; bahwa ia nampak seperti sebuah topeng berlukiskan wajah masyarakat jaman now. Ya, Angga memilih untuk menggunakan pose tersebut; pose masyarakat jaman now, atau kekinian, yang dekat dengan media sosial dalam level yang amat personal di mana keadaan patah hati, rasa kecewa, kesedihan, serta amarah dijadikan konten bernada puitis dan berharap akan menarik banyak like dan retweet dari mereka yang merasa ‘senasib’. Ada perasaan seperti, ‘ah ini jaman now banget filmnya. Anak-anak kekinian pasti suka’, ketika menonton karya Angga tersebut. Bukan begitu?
Akuilah, kata-kata bernada puitis akhir-akhir ini sedang naik pamor. Mereka bertebaran di berbagai media sosial, entah sebagai sebuah cuitan mengenai perasaan, atau sekadar menjadi pelengkap sebuah foto estetis yang seringkali melibatkan kopi dan senja. Mereka juga tak jarang hadir dalam berbagai lirik lagu penyanyi-penyanyi masa kini, seperti Fiersa Besari, Kunto Aji, atau Danilla Riyadhi, yang banyak dikutip di sana sini.
Hal itulah yang menjadi bukti pertama betapa kuatnya pose yang ditampilkan Angga. Ia begitu lantang dalam memasukkan substansi puisi dalam Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (NKCTHI). Dialognya begitu puitis. Segala kemarahan, kekecewaan, kesedihan, dan patah hati pun hadir dalam bentuk puisi yang dijadikan dialog sehari-hari. Seakan-akan, para tokoh tersebut sudah menyusun baik-baik kalimatnya sebelum diucapkan. Ketika Angkasa (Rio Dewanto) marah kepada ayahnya (Donny Damara) saat rahasia keluarga terungkap, saat Kale (Ardhito Pramono) menuliskan pesan puitis di gips yang melingkari tangan Awan (Rachel Amanda), atau saat Kale memutus hubungan dengan Awan. Semuanya serba puitis.
Hal yang kedua adalah bagaimana Angga bersama Yadi Sugandi menghadirkan berbagai lanskap estetis seakan siap dipajang di media sosial. Foto aesthetic itu penting, mungkin begitu kata masyarakat kekinian. Contoh yang paling menonjol adalah adegan Angkasa, Aurora (Sheila Dara Aisha), dan Awan di atap gedung dengan langit senja yang cantik di belakangnya, diiringi percakapan mengenai permasalahan keluarga dan masa depan yang sebenarnya bisa dilakukan di mana saja. Begitu percakapan selesai, mereka pun turun menemui Ibu (Susan Bachtiar) yang seakan-akan memang sengaja mengantar lalu menunggu di bawah untuk membiarkan mereka mengobrol cantik di atap gedung.
Ketiga, Angga tidak melupakan detil elemen kekinian lainnya agar posenya semakin sempurna. Sebut saja MRT, art gallery, dan festival musik yang dipenuhi berbagai musisi indie. Anak kekinian mana yang tidak mempunyai foto di MRT dan art gallery? Atau yang tidak rajin mampir ke festival musik? Cerdiknya, Angga juga memasukkan para musisi indie tersebut ke dalam jajaran pemainnya; Ardhito Pramono dan Isyana Sarasvati. Bahkan, lagu milik Ardhito pun turut dimainkan oleh tokoh Kale dalam suatu adegan.
Keempat, entah disengaja atau tidak, Angga juga menyisipkan berbagai potret karakteristik masyarakat kekinian. Masyarakat yang terkadang melihat sesuatu atau seni hanya sebagai sebuah objek foto yang keren, tanpa memahami makna dan fungsinya, bahkan tak jarang hingga merusaknya. Hal tersebut tersirat dari sebuah dialog antar pengunjung yang datang ke pameran seni Aurora, yang mengatakan bahwa mereka tidak mengerti maksud dari karyanya. Mereka hanya datang saja, mungkin karena tidak ingin ketinggalan sesuatu yang sedang hits. Atau dari cara Awan membuat proyek dari atasannya, yang ia modifikasi sendiri menurut tren, padahal justru jadi hilang esensi.
Terlalu Diteriakkan
Tetapi, bukankah sah-sah saja memasukkan elemen kekinian dalam sebuah karya sebagai suatu bentuk kreatifitas? Ya, memang. Dikatakan Goenawan dalam bukunya, bahwa ketika seorang seniman membicarakan sesuatu dalam sebuah karya, yang menentukan wajar atau tidaknya pembicaraan tersebut adalah sikap sang seniman terhadap ‘sesuatu’ itu sendiri. Ia tidak boleh terlalu takut maupun terlalu keras membicarakannya. Yang terjadi pada Angga adalah yang terakhir pada beberapa poin penting.
Seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa Angga sangat lantang membicarakan konten puitis pada karyanya, terutama pada dialog. Akhirnya, semua terasa kurang spontan. Masalahnya, dialog mereka bukanlah dialog yang sengaja dibuat baku dan bernuansa puisi seperti antara Rangga dan Cinta (Ada Apa dengan Cinta?, 2002). Para tokoh dalam NKCTHI bukanlah karakter yang mempunyai dasar pengetahuan dan rasa cinta akan sastra seperti Rangga dan Cinta. Mereka juga tidak mempunyai latar belakang seperti Rangga dan ayahnya yang membuat mereka terbiasa dengan penggunaan kata-kata baku dalam keseharian. Pun, mereka juga bukan karakter dengan dialog yang sengaja dibuat puitis dengan tujuan untuk menjadi rayuan manis seperti antara Dilan dan Milea (Dilan 1990, 2018). Dialog dalam NKCTHI seharusnya adalah dialog yang sangat sehari-hari, sebagaimana tema cerita dan karakterisasi setiap tokoh itu dibuat, yang juga rasa-rasanya tidak ada hubungannya dengan kesusastraan.
Nuansa musik indie pun terlalu keras dibicarakan. Selain secara kasat mata, bahwa ia muncul di mana-mana baik dari segi jajaran pemain, adegan festival musik, maupun pengisi soundtrack, ia juga terlalu keras dimainkan secara audio. Alih-alih membantu menyempurnakan emosi suatu adegan, ia justru terkesan lebih ditonjolkan dibanding adegan itu sendiri karena besar volumenya. Seakan NKCTHI memang sebuah album kompilasi musisi indie.
Seniman dan Khalayaknya
Bicara mengenai konten puisi, memang betul bahwa film ini merupakan adaptasi dari sebuah buku kumpulan puisi berjudul sama karya Marchella FP. Namun, buku tersebut pun tak lain juga merupakan gambaran sikap self-conscious. Marchella dan Angga bukan tidak terkenal. Marchella dengan buku Generasi 90-an yang meledak hebat, dan Angga dengan Filosofi Kopi (2015) yang sangat dekat dengan kehidupan dan kegemaran masyarakat menengah ke atas. Kedua karya tersebut sukses secara finansial, membuat nama mereka (semakin) banyak dikenal. Dari sana lah timbul godaan terbesar seorang seniman, yang menurut Goenawan adalah ketika ia terlalu diperhatikan publik.
Kecendrungan untuk menjadi sebuah pose semakin besar seiring dengan meluasnya khalayak dan meningkatnya perhatian mereka. Khalayaknya tak lagi merupakan sekumpulan kecil orang yang paham betul akan arti dan nilai sebuah karya seni, melainkan banyak orang yang sangat heterogen dalam hal pemahaman seninya. Sederhananya, seniman tak lagi ‘independent’, melainkan komersil. Hubungan antara seniman dan khalayaknya tak lagi intim.
Sekiranya itulah yang terjadi pada Marchella dan Angga. Setelah karya mereka yang meledak tersebut, akhirnya paham seperti apa pose yang harus mereka bentuk. Marchella membuat sebuah buku kumpulan kata-kata mutiara yang sudah ia perkenalkan lebih dulu kepada calon pembacanya melalui Instagram dan terbukti disukai banyak orang yang candu akan rangkaian kata nan puitis. Buku yang sukses tersebut pun diadaptasi oleh Angga menjadi sebuah film dengan menambahkan berbagai detil lainnya, yang sudah saya jabarkan di atas, sehingga jadilah sebuah pose dengan banyak pemuja.
Ia menjadi film Indonesia pertama di tahun 2020 yang mencapai dua juta lebih penonton. Ia dibicarakan di mana-mana. Begitu banyak masyarakat yang jatuh cinta pada pose yang ditampilkan Angga. Mereka melihat banyak elemen yang mereka gandrungi pada NKCTHI. Angga berhasil membahagiakan khalayaknya, tetapi apakah tujuan sebuah karya seni hanya semata untuk itu?
Mengutip seorang sastrawan Amerika, Archibald MacLeish, bahwa “a poem should not mean, but be”. Kiranya hal itu berlaku tidak hanya untuk seni puisi. Bahwa sebuah karya seni haruslah menjadi jati dirinya sendiri, tanpa tujuan spesifik. Bahkan Richard Oh pernah mengatakan dalam sebuah diskusi kritik film di Institut Kesenian Jakarta bahwa sebuah film tidak harus ada tujuan memberikan pesan moral, karena film ya film. Sebuah bentuk karya seni yang penuh ide, kreatifitas, inovasi, serta perspektif.
Kembali menurut Goenawan, seorang seniman dalam membuat sebuah karya yang kreatif, haruslah lebih dulu berdamai dengan khalayaknya. Ia tidak boleh memandang khalayaknya sebagai penguji ataupun pemuja. Ia harus bisa bebas berkarya tanpa kekhawatiran dan tuntutan, sehingga semua yang dibicarakan akan tampak sewajarnya seni, tidak terlalu pelan maupun keras dibicarakan. Pun harus lepas dari kecendrungan untuk menjadi sebuah pose. Ia memerlukan ketulusan, bukan sesuatu yang (tampak) dipesan. [T]