“Tersenyum di saat susah itu seperti berbagi di saat kekurangan.”
Sedih dan cemas adalah perasaan milik setiap manusia bisasa. Perasaan yang dimiliki sebagian besar manusia yang dalam kurva normal tersebar dari lereng kiri, puncak hingga lereng kanan kurva. Itulah kenapa, dapat tercipta segunung kesedihan dan kecemasan dari jutaan manusia di bumi. Seakan-akan hadir untuk mengimbangi lautan keriangan dan kegembiraan yang juga merupakan perasaan yang dimiliki oleh setiap manusia biasa.
Keduanya memang tak bisa dipisahkan, untuk satu tujuan sakral yaitu keseimbangan. Seperti juga kelahiran dan kematian, lelaki dan wanita atau kesetiaan dan pengkhianatan. Dalam filsafat Hindu dikenal dengan Rwa Bhineda. Kenapa Tuhan tak membagikan kegembiraan saja atau kesetiaan semata? Bukankah Ia mampu melakukannya, sebagai Sang Maha Pencipta? Mungkin saja karena itu memang takkan pernah mungkin terjadi. Sebab untuk itu Tuhan harus hanya menciptakan kaum lelaki saja tanpa perempuan, agar tak pernah ada ungkapan “wanita yang lain” misalnya.
Sepenuhnya kehidupan ini memang penuh misteri, bahkan penciptaan alam semesta ini pun seutuhnya masih berselimut kabut misteri. Namun dalam bayangan samar, sesungguhnya kita dapat menyelami sedikit lautan misteri ini. Karena sungguhlah, segunung kesedihan dan lautan kegembiraan itu keduanya sama-sama berbahaya saat sendirian.
Mereka butuh saling bersua agar tercipta kemudian perasaan-perasaan dan sikap yang disebut empati, simpati dan pemaafan yang berdiri di tengah-tengah, yang menjiwai kesedihan maupun kegembiraan. Perasaan-perasaan dan sikap yang kian langka saat ini. Dalam bekapan suasana suram akibat wabah covid-19 ini, kita mesti mampu menemukan hal-hal ringan yang dapat sedikit meringankan beban mental dan sosial kolektif ini. Terlena dalam kecemasan dan kesedihan mendalam, jelas merupakan penyakit yang lebih buruk dari virus Corona itu sendiri.
Pagi itu, seperti biasa saya bertugas di poliklinik penyakit dalam. Senang melihat pasien-pasien yang kontrol rutin saat itu semua memakai masker. Sebuah penerapan anjuran pemerintah yang cukup krusial saat ini. Jelas ini situasi yang melegakan. Meski dari sinar mata mereka saya dapat melihat kegamangan dan semangat yang tampak menurun. Saat diperiksa gula darahnya, pasien-pasien diabetes saya rata-rata mengalami kenaikan. Mereka berkilah ini semua lantaran program pembatasan sosial yang mengurangi ruang mereka untuk berolahraga. Betul juga ya?
Namun sebetulnya, jika ada kemauan, bisa saja kan mereka berolahraga di sekitar rumah. Rupanya mereka mencuri kesempatan kesempitan. Baiklah, untuk menurunkan gula darahnya, saya menyarankan mereka unuk tetap selalu memakai masker walau sudah sampai di rumah. Sehingga dengan demikian mereka tidak bisa lagi sering-sering ngemil. Meski saya menyampaikannya dengan sangat formal, tentu saja mereka menjadi geli dan menyembunyikan senyuman di bawah masker mereka.
Kenaikan berat badan memang menjadi satu dampak akibat berkurangnya aktifitas fisik selama masa pembatasan sosial ini. Tak sedikit warganet yang terpicu kreatifitasnya dalam framing satire yang lucu dan mengena. Satu contoh misalnya akibat makan berlebih dan sedikit gerak badan, sepasang suami istri gendut yang digambarkan dalam kartun lucu berdiri di dalam rumah mereka, dengan wajah kebingungan berujar, “Jika virus Corona nanti sudah pergi, mungkin kita yang tak bisa keluar.” Ini karena badan keduanya menjadi lebih besar ketimbang pintu rumah mereka. Atau sindiran lain masih terkait isu yang sama, dilukiskan seseorang berbadan gemuk dengan baju yang tak bisa dikancingkan lagi diberi caption, “Social distancing segera diikuti oleh kancing baju kita yang ikut jaga jarak.”
Namun ada juga yang kemudian merasa gelisah karena lama-lama stok makanan akan habis juga jika kita makan melulu namun belum juga bisa bekerja. Dalam kesan rasa khawatir, seseorang menulis status, “Kita sudah kayak burung saja sekarang. Dikurung, dijemur, sesekali disemprot pula. Tapi kalau burung, enak, dikasi makan gratis. Kalau kita? Tetep aja disuruh nyari makan sendiri.” Atau ada juga keluhan lucu seperti ini, “Disuruhnya kita bolak-balik cuci tangan. Tapi belum juga dikasi-kasi makan.” Ini merujuk pada kebiasaan kita yang cuci tangan dahulu sebelum makan. Namun kali ini boleh disebut, cuci tangan sebelum cuci tangan, hahaha!
Saat dua orang tenaga kesehatan team Covid-19 kami tertular, kami yang sering bertemu dengan mereka harus menjalani rapid test. Ini untuk deteksi lebih cepat siapa tahu di antara kami yang lain telah menglami penularan berantai. Syukurlah dalam dua kali tes kami semua negatif. Saat saya ceritakan hal baik ini di satu ruang perawatan, salah seorang suster menuntut untuk diperiksa juga. Lalu saya berikan pengertian, “Oh ya, kalau ibu baiknya cek urine saja. Nanti jika positif itu tak apa-apa, itu bukan Covid-19 penyebabnya, tapi diagnosisnya adalah kebobolan!” Meski ini cuma candaan, namun berita menarik yang terjadi di satu kota di pulau Jawa adalah memang telah dilaporkan angka kehamilan telah meningkat signifikan selama masa pembatasan sosial ini.
Kesedihan dan keceriaan, selamanya akan bergandengan. Menerima keduanya dengan lapang dada adalah jalan menuju keselamatan. Begitulah pesan sastrawan masyur Pramoedya Ananta Toer mengingatkan kita. Dengan berdiri di tengah-tengah, kesedihan sudi memberi kita kekuatan dan keceriaan menjauhkan kita dari takabur. [T]