Sampai kapan kita terkarantina karena situasi ini? Bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Berbagai perasaan muncul dalam sebulan ini. Hari-hari pertama, mungkin banyak yang merasa senang. Murid-murid dan para pekerja menikmati libur terselubung di balik istilah WfH dan SfH, setelah sekian lama terkungkung dalam aktivitas monoton yang terjebak menjadi rutinitas memuakkan.
Seminggu, sebulan, setahun, berlalu, yang sebelumnya menikmati indahnya hari-hari di rumah mulai merasakan bosan. Terlebih, tidak semua bisa menjalankan WfH dan SfH ini dengan ideal. Ada berbagai kendala dalam menjalankannya. Sebut saja koneksi internet yang tidak merata sampai ke pelosok desa, mahalnya paket internet, atau mungkin tidak adanya fasilitas pendukung untuk mengakses internet. Tidak bisa dipungkiri, bekerja dan belajar dari rumah sangat erat kaitannya dengan internet.
Lebih menyakitkannya, ada banyak saudara kita yang akhirnya dirumahkan secara permanen, atau di PHK. Ini merupakan sebuah keputusan pahit, baik bagi yang diPHK, ataupun bagi perusahaan yang akhirnya harus memPHK. Kita tidak bisa menuntut perusahaan mempekerjakan dan menggaji semua karyawannya, sementara perusahaan tidak bisa menghasilkan pemasukan.
Di tengah perkembangan situasi ini, semua pihak tentunya berjuang untuk dapat bertahan. Kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan membuat pola kerja dari rumah seefisien mungkin. Sekolah-sekolah mulai memperkuat Learning Management System secara daring untuk dapat memastikan pembelajaran tetap berlangsung. Pihak-pihak lainpun mulai mendukung kegiatan ini. RRI dan TVRI mengeluarkan terobosan dengan membuat siaran belajar bersama dari rumah. Komunitas-komunita membuat acara secara daring untuk membuat orang semakin betah di rumah. Ini merupakan sebuah perkembangan positif yang perlu kita catat.
Lalu bagaimana jika akhirnya kita nyaman dengan situasi ini?
Bagaimana jika akhirnya para orang tua yang sebelumnya merasa tertekan saat mendampingi anak-anak mereka mengerjakan tugas, sekarang mulai mendapati bahwa mereka tak usah mencemaskan masalah jawaban dari tugas anaknya. Mereka mulai fokus pada pembinaan karakternya, mengajari mereka cara belajar, cara mencari informasi dari berbagai sumber. Tentu, internet salah satunya.
Para orang tua ini akan mulai bersyukur, melihat perkembangan anaknya secara penuh. Bagaimana saat dia baru bangun, bagaimana saat dia bermain, saat belajar, saat marah, atau saat mengantuk. Tidak sedikit orang tua yang melewati masa ini karena sebelumnya harus meninggalakan rumah pagi hari untuk bekerja dan baru bisa pulang saat malam hari.
Anak-anak usia sekolah mulai menemukan bahwa sumber belajar tidak hanya buku paket, dan tulisan guru di papan tulis. Mereka mulai terbiasa menemukan informasi di internet dengan browsing pada berbagai situs untuk mendapatkan suatu informasi. Para siswa ini mulai merasa senang, karena bisa memutuskan sendiri waktu belajar mereka. Mungkin pagi hari bisa bersepeda dulu di halaman rumah sampai pukul 9. Setelah mandi, baru bersiap untuk belajar. Oya, nonton TVRI juga salah satunya.
Sore hari mereka masih punya cukup energi untuk menjelajah area rumah. Menemukan tunas pohon silik di pojokan taman, atau sekadar mengetahui bahwa di samping pelinggih tunggun karang ada sebuah benda berwarna biru yang berisi angka-angka penunjuk penggunaan air di rumah.“Eh, ini seperti yang ada di buku paket IPA.” Begitu kira-kira pikiran mereka.
Guru-guru mulai terbiasa membuat perencanaan pembelajaran jarak jauh yang lebih menekankan pembelajaran bermakna – tak sebatas megejar ketuntasan kurikulum. Toh UN sudah dihapuskan. Untuk apa lagi deret nilai itu? Yang penting anak-anak memahami bahwa belajar adalah kepentingan mereka.
Untuk mempertanggungjawabkan tugasnya, guru-guru membuat media pembelajaran online. Membuat chanel belajar di youtube,postingan materi pelajaran di sosmed mereka, dan mengembangkan blog sendiri terkait bidang studi mereka. Tanggung jawabnya tidak hanya pada siswa di sekolahnya, tetapi pada seluruh anak bangsa.
Media-media mulai mendukung proses ini. ada kolom-kolom belajar dari rumah di koran-koran, dengan narasumber guru-guru kreatif. Radio dan televisi berlomba-lomba membuat tayangan edukasi. Kta akan mengucapkan selamat tinggal pada acara kompetisi dangdut berdurasi enam jam. Atau sinetron geng motor remaja yang jatuh cinta saat tabrakan. Media-media elektonik akan berlimpah sumber-sumber pengetahuan.
Ibu-ibu rumah tangga mulai menikmati untuk menjalankan hobi mereka di dapur. Berbagai resep di internet mereka coba dengan antusias, kemudian berhasil, kemudian mereka foto, kemudian pamerkan di sosial media. Teman-temannya memberi jempol, jantung, dan memberi komentar pujian. Ibu-ibu ini menemukan kesujatian mereka sebagai seorang ibu. Penguasa dapur.
Tunggu, untuk urusan dapur, uangnya dari mana?
Ya, tentulah di balik hal-hal baik itu, ada hal yang tidak mengenakkan untuk kita. Terutama bagi yang akhirnya harus diPHK, atau bagi pekerja harian yang tidak bisa bekerja, karena harus di rumah. Dalam hal ini, para pekerja pariwisata salah satu yang paling terdampak.
Syukurnya, manusia adalah makhluk yang adaptif. Banyak teman-teman yang kita lihat mulai beradaptasi dengan situasi ini. Ada yang memulai berjualan dari rumah. Ada yang mulai belajar berkebun. Dan hal-hal lain yang bisa produktif di masa seperti ini. Beberapa pemerintah desa juga mulai merespon dengan menyediakan pekerjaan bagi warganya yang terdampak situasi ini.
Jika semua desa akhirnya mampu melaksanakan program serupa, orang-orang yang sebelumnya merantau akan mulai kembali pulang. Mereka menjalankan hidup di desa. Kemudian tersadar, hidup di desa tidak begitu menyeramkan. Juga tidak begitu memalukan – sebagaimana pandangan mereka saat menjadi orang kota.
Beberapa orang yang kreatif kemudian mencoba menerapkan cara bercocok tanam modern yang mereka temukan di internet. Anggaplah berhasil dan menghasilkan. Beberapa lagi membuat sebuah pola pemasaran online dari desa langsung ke konsumen, sehingga memutus jalur panjang barang dari produsen ke konsumen. Lagi pula, bukankah saat ini ke pasar adalah hal yang tidak mengasikkan? Lebih baik jika ada penjual yang mau membawakan ke rumah. Ya, semprot disinfektan sajalah dulu.
Akhirnya, orang-orang mulai menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang adaptif. Manusia adalah makhluk yang berevolusi. Makhluk yang bisa bertahan dalam segala keadaan. Situasi karena Covid ini bukan hal besar bagi ciptaan Tuhan maha sempurna ini. Kita mampu mengatasinya.
Dan nanti, ketika virus ini sudah pergi. Bagaimana jika kita tetapkan saja seperti ini? [T]