Sebuah kontainer berisi puluhan imigran gelap diselundupkan oleh oknum mafia ke sebuah daerah di Korea Selatan. Setelah tiba dan dibuka, mafia-mafia ini hanya menemukan tubuh-tubuh imigran gelap yang tergeletak, tikus-tikus yang sedang menggerogoti tubuh imigran, serta bau busuk yang tajam dari dalam kontainer.
Salah seorang imigran yang selamat secara tidak sengaja menularkan virus kepada salah seorang mafia sebelum akhirnya berhasil kabur ke tengah kota. Keesokannya mafia ini mulai batuk keras ditengah keramaian. Lewat mafia tadi akhirnya virus ini viral ke beberapa bagian dunia hanya dalam hitungan hari, dan mengakibatkan seisi kota harus diisolasi.
Warga mulai panik, yang terjangkit tidak tertangani, warga kehilangan kepercayaan pada pemerintah, pemerintah cemas dan kebingungan, warga yang diisolasi menolak tertib, pemerintah akhirnya terpaksa mengambil sikap dengan menembak warganya sendiri, setelah beberapa hari sejak wabah muncul, sebuah antibody untuk membunuh virus itu akhirnya dapat ditemukan.
Insiden tadi adalah pokok cerita dari film The Flu yang sekilas memprediksikan kondisi dunia hari ini. Jelas tidak sepenuhnya, kadang terkesan melebihkan, namun setidaknya ada kemiripan dengan penggambaran psikologis masyarakatnya selama menghadapi pandemi. Film-film serupa ini seperti The Contagion,Outbreak, I Am Legend (salah satu film favorit saya), Children of Men, The Happening, World War Z, Train To Busan, dan Bird Box pula mencoba menggambarkan realitas sosial dunia hari ini versi masing-masing.
Semua film itu beberapa diantaranya benar terinspirasi dari kasus-kasus nyata yang sebelumnya terjadi. Tidak heran bila didalamnya tampak banyak wujud tindakan yang masuk akal dan layak kita coba untuk menyelamatkan diri dari krisis ini. Terdengar lebih optimis, film-film ini berpotensi membantu kita untuk selamat dan menanggani pandemi bila kita jeli menangkap nilai-nilai penting yang ada didalamnya. Sebaliknya menimbulkan ketakutan dan kecemasan berlebihan bila kita salah memaknai film-film tadi. Saya sendiri memaknai film ini sebagai kunci jawaban dari persoalan pandemi ini, yang kemudian lebih tepat kita pakai untuk mengevaluasi 1 bulan keadaan kita belakangan selama pandemi.
Mari kita coba kupas mengapa film-film ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita selama pandemi? The Contagion misalnya. Film ini menggunakan alur yang amat ilmiah untuk menggambarkan bagaimana penularan virus dapat terjadi dari hewan ke manusia. Ia juga menjelaskan dengan detil bagaimana virus dapat menular lewat objek yang disentuh korban penularan.
Lebih akurat lagi, film ini menunjukkan bagaimana mereka melacak jejak korban yang terinfeksi, kemudian mengidentifikasi, mengisolasi, dan memantaunya. Pengerjaan film ini melibatkan ahli medis dan ilmuwan, sehingga isu yang dibangun terasa nyata dan tidak terkesan dibesar-besarkan. Mereka percaya diri bahwa krisis seperti di hari ini akan datang cepat atau lambat.
Di film Outbreak, kita dapat melihat bagaimana sebuah protokol lapangan dijalankan dengan baik. Pemerintah menanggapi virus yang teridentifikasi dengan serius. Di film lainnya, mainstream namun tetap relevan. Mereka menggambarkan para tenaga medis dan militer yang kelelahan demi melindungi masyarakat, menangani warga yang frustasi dan panik, serta kesigapan pemerintah dalam mengambil keputusan. Semua itu tampak seperti hint yang diberikan kepada kita untuk siap menghadapi tragedi ini.
Satu lagi elemen yang tidak kalah penting, ada harapan dan energi positif yang ditularkan di tiap-tiap film tadi. Kita bisa melihat para tenaga medis yang melalui tahap panjang untuk memecahkan persoalan pandemi. Kita dapat melihat negara-negara bersatu dan saling membantu. Hingga pada akhir film para pasien dapat pulih kembali dan menemui keluarganya. Bukankah sekilas ini mirip dengan yang baru-baru ini terjadi di dunia kita? Film-film ini seolah ingin mengingatkan kita, bahwa disamping suramnya hari dan kerasnya tragedi, ada keindahan yang sedang ditunjukkan oleh manusia.
Krisis rasionalitas selama pandemi
Kesemua film tadi juga punya satu kemiripan yang selalu hadir sebagai resep utama agar masyarakat kebanyakan mau berlama-lama menikmati film, yaitu peristiwa yang dramatis. Dengan takaran dramatis yang tepat, film-film tadi sukses menarik kita ke dalam gravitasi imaji para pembuat film sehingga betah berlama-lama dan terus terbayang-bayang. Ceritanya yang mendebarkan secara tidak sadar punya kemiripan pada masyarakat kebanyakan dengan karakteristik kepribadain dramatis yang membuat mereka haus akan adrenalin. Ibarat naik roller coaster, ada rasa takut, tegang, menyenangkan, lega, dan menagihkan yang dicari-cari (tidak heran jika acara televisi nasional seperti termihik-mihik dan sejenisnya begitu digemari masyarakat kebanyakan).
Pandemi Covid-19 yang kini melanda dunia seolah-olah adalah tiket gratis untuk naik roller coaster tersebut. Celakanya, tidak sedikit orang yang suka gratisan. Alhasil tiket laku keras hingga sold out. Mereka pun menikmati wahana pandemi sambil lupa mengencangkan safety belt.
Dari film The Flu, secara gamblang diisyaratkan bahwa segala konflik yang terjadi selama pandemi diakibatkan oleh kepanikan atau kecemasan masyarakatnya. Sementara dalam realita walau tidak sedramatis film, hal serupa juga terjadi setelah pandemi dinyatakan berhasil masuk ke dalam negeri. Masyarakat mulai panik dan mempersiapkan diri dengan memborong sejumlah barang di pasar dan supermarket.
Pada minggu pertama, komoditas masker, hand sanitizer, dan tisu menjadi langka. Minggu selanjutnya, masyarakat berebut makanan dan sembako, penimbunan barang-barang terjadi, dan masyarakat terpaksa membeli kembali barang-barang timbunan dengan harga yang telah meningkat beberapa kali lipat. Kepanikan membuat mereka percaya bahwa membuang uang untuk membeli barang yang dapat melindungi mereka itu sepadan.
Kita sepakati fenomena ini sebagai kepanikan yang irasional, atau kepanikan yang berlebihan dan tidak perlu. Kepanikan dan ketakutan yang muncul memicu kita bertindak dengan tidak bijak. Memang perlu mempersiapkan diri untuk hal yang tidak kita ketahui, namun jika dilakukan dengan panik maka hanya akan menimbulkan kerugian.
Ketika kita melihat beberapa orang dengan panik memborong sembako saat di pasar, dorongan untuk melakukan hal persis juga akan muncul pada diri kita. Kondisi panik ini timbul dengan efek bola salju, memancing orang yang melihat untuk berpartisipasi. Ilustrasi yang pertama ini seperti yang ditunjukkan dalam film The Contagion. Ini cukup menjelaskan bagaimana kepanikan dapat mewabah hanya dalam waktu singkat.
Menurut para ahli tindakan tadi hanyalah sebuah reaksi alamiah untuk menyelamatkan diri, suatu cara untuk mengontrol ketidaktahuan dan ketidakpastian atas sebuah situasi. Dalam situasi seperti ini, biasanya kita kehilangan kemampuan untuk berpikir tenang dan rasional. Sehingga rasa panik menjadi satu-satunya alternatif yang mengatur gerak kita.
Kepanikan juga muncul pada masyarakat yang terlalu mengikuti perkembangan berita. Baik informasinya benar atau tidak, ia tetap akan menimbulkan kepanikan. Untuk sekarang kita perlu membatasi konsumsi informasi ini, sekaligus menahan diri untuk terus menyinggung berita didalam percakapan sehari-hari, sesekali ya boleh. Yang terpenting adalah lebih mengarahkan fokus kepada upaya diri masing-masing dalam menjaga kesehatan dan keluarga. Untuk masalah ini saya ingin mengutip nasihat dari seorang teman, “Boleh waspada tapi jangan sampai ketakutan. Be mindfull on where we put our hands, but also on where we put our attention”.
Kita jelas tidak mau berakhir seperti didalam film-film dramatis kebanyakan. Walau sebenarnya dapat selamat dari wabah, kita malah apes karena kepanikan sendiri, lebih apes lagi jika dikarenakan kepanikan orang lain. Saya mengerti betul bahwa terkadang kepanikan itu ada diluar kendali kita. Tapi mari belajar berpikir rasional, setidaknya sampai pandemi ini berakhir. Perkara pencegahan, salah satu caranya tergolong biasa, kita hanya cukup tahu cara cuci tangan yang baik saja. Sebenarnya sesederhana itu. Tapi masyarakat kebanyakan seolah tidak rela. Mereka percaya untuk peristiwa yang dramatis perlu pula reaksi yang dramatis.
Dibalik banyaknya berita buruk yang kita dengar dan lihat, ke-chaos-an, tragedi yang menggunung.. ada hal baik yang juga sedang terjadi. Orang-orang saling menyemangati dan bernyangi bersama lewat balkon rumah, mereka punya waktu lebih banyak untuk berkumpul dengan keluarga, negara-negara bersatu dan saling membantu, anak-anak muda bergerak bersama membagikan kebahagiaan, lewat tenaga, dana, dan pikiran. Semua ini maknanya untuk menyembuhkan kecemasan kita, untuk mebangkitkan optimisme kita.
Dibanding akhir cerita dalam film Train to Busan yang menyisakan beberapa warga yang selamat akibat saling membunuh, rasanya kita semua lebih mengharapkan akhir yang melegakan serupa akhir dalam film The Contagion. Vaksin ditemukan, masyarakat kembali beraktivitas seperti biasa, pergi kemanapun tidak perlu lagi merasa panik, jabat tangan dan pelukan hangat legal kembali. Untuk sampai disana akan memerlukan perjalanan yang panjang. Selama kita tetap keep on track, mendengar himbauan pemerintah, saling percaya dan menjaga, tetap penuh harapan dan optimis, maka hari dimana kita bisa bertemu sapa secara langsung akan tiba lebih cepat tanpa kita sadari. Semoga.[T]