Beberapa lelaki membentuk lingkaran. Sarana upacara sederhana di tengah-tengah telah disiapkan oleh beberapa perempuan yang juga berada di sana. Upacara pun dipimpin oleh perempuan. Para lelaki bergerak sesuai dengan instruksi mereka sambil mengambil satu per satu sesajen dengan cekatan, mulai dari pembersihan tangan dengan Tirta, memberi instruksi gerak dari awal hingga akhir upacara. Upacara ini berlangsung di rumah saya setiap Pangerupukan, sehari menjelang hari raya Nyepi.
Dalam upacara tersebut, perempuan terlihat bekerja hanya untuk laki-laki, melakukan ritual, memanjatkan doa-doa untuk laki-laki. Tetapi pertanyaannya, apakah subjek ritual ini hanya laki-laki? Tentu saja tidak, di balik itu, para perempuan ini melangsungkan “pertunjukkan ritual”. Mereka eksis dalam upacara itu, mereka ditonton oleh laki-laki yang melingkarinya. Tangan yang cekatan mengambil sarana upacara, gerak tubuh yang tak ragu, mereka juga bisa saja membuka percakapan ringan di tengah ritual berlangsung. Sungguh, perempuan-perempuan itu adalah aktor yang sedang pentas!
Mungkin tidak berlebihan kiranya bila saya menyebutkan bahwa pada tanggal 13 Maret 2020, sebagai pembukaan acara “Mahima March March March” yang berlangsung di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Teater Perempuan Mahima mengelar sebuah “pertunjukkan ritual” yang berjudul “Kaukah itu, Ibu?”. Meski hanya potongan pentas karena masih dalam proses penggarapan, namun membuat saya sebagai penonton terngiang dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilempar oleh delapan perempuan itu.
Kadek Sonia Piscayanti yang merupakan sutradara dalam pementasan “Kaukah itu, Ibu?” mengangkat kisah seorang aktor, yaitu Santi Dewi yang merupakan seorang anggota Komunitas Mahima yang juga aktif di Teater Kampus Seribu Jendela, Undiksha. Kisah Santi Dewi sendiri kemudian diolah kembali oleh Kadek Sonia piscayanti menjadi sebuah naskah teater.
Mengangkat kisah seorang aktor untuk dipanggungkan bukanlah berarti hanya mencatat peristiwa kemudian memindahkannya ke panggung. Tentu saja dalam hal ini ada seleksi yang kemudian menjadi bingkai pementasan. Namun, seperti yang dikatakan oleh Kadek Sonia Piscayanti pada diskusi setelah pentas, ketika latihan, Santi Dewi yang menjadi pemeran utama dalam pentas “Kaukah itu, Ibu?” terkesan berjarak dengan serpihan kisah yang telah disusun menjadi naskah, sehingga ia mesti mendekati kisah itu lagi.
Pementasan ini dimulai dengan munculnya beberapa perempuan secara perlahan dengan tatapan yang tajam. Diikuti senandung dari seorang pemain yang muncul dari sisi lain panggung. Mereka masing-masing menuju ke beberapa bangku panjang yang telah dijejer. Terlihat setiap pemain memiliki panggung kecilnya masing-masing, yaitu bangku itu sendiri untuk bermain.
Kursi berjejer di panggung adalah teks pementasan yang paralel. Para pemain yang kadang naik, kadang turun dari kursi, seperti realita abstrak manusia. Ketika memiliki masalah misalnya, kita memiliki ruang kecil yaitu diri, adalah sebuah keniscayaan pula ketika kita adalah bagian dari kosmos yang pada pementasan diwujudkan sebagai panggung besar.
Perihal yang terjadi dalam penghayatan personal ini divisualkan secara sederhana dalam pentas. Pemain ulang-alik panggung. Keluar dari panggung kecil menuju panggung besar, keluar dari panggung besar menuju panggung kecil dengan bentuk gerak yang berbeda.
Kemudian masuklah Santi Dewi dari penonton dengan berbagai pertanyaan tentang Ibu. Tujuh pemain lainnya kemudian merespon pertanyaan Santi Dewi dengan menirukan, sesekali menanggapi, sesekali berpendapat, sesekali riuh, sesekali suara-suara terdengar kompak.
Hal yang disengaja ini membuat saya merasa mendengarkan sebuah nyanyian. Nyanyian pertanyaan-pertanyaan tentang Ibu yang tidak dikenal, tentang ibu yang diduga-duga wujudnya. Entah berambut ikal, lurus, berkulit putih, hitam, bertubuh tinggi, rendah, dan sebagainya. Sebuah pertanyaan yang gelisah seperti nyanyian sumbang yang menyiksa sehingga harus ditinggalkan namun terkadang harus dinikmati, bahkan berlangsung begitu saja tanpa disadari.
Pada bagian akhir, Santi Dewi mengambil sebuah kanvas, cat, dan kuas. Di panggung ia terlihat begitu sibuk melukis, begitu sibuk membayangkan wujud ibunya. Gambar abstrak yang dibuat dengan proporsi tidak utuh seolah adalah muntahan visual kusut dalam dirinya, bayangan tentang ibu yang sangat abstrak.
Para penonton yang melingkari panggung ini terlihat khusyuk, meski beberapa di antaranya terlihat gelisah mondar-mandir. Memang penonton tidak dibatasi untuk duduk rapi, seperti upacara yang saya ikuti, saya bisa saja berdiri melingkar mengikuti upacara sambil ngobrol dengan orang lain. Tetapi para perempuan tetap menjalankan “pementasan ritual”-nya dengan dimensi kesadaran berbeda yang mereka hayati. Begitu pula dalam pementasan Teater Perempuan Mahima.
Pementasan ini sungguh tidak bisa dilihat dari satu sisi. Hal inilah yang saya pikir mirip dengan ritual yang saya ikuti menjelang Nyepi— selain bentuknya yang sama, (perempuan pentas di dalam lingkaran) juga perasaan berjarak dengan kisah. Pada ritual yang saya ikuti pun, saya merasa tidak terlalu terlibat dengan apa yang dilakukan para perempuan dengan sarana upacara yang mereka buat. Ketika menonton pementasan ini, saya merasa tidak terlibat dengan masalah yang dibawakan, namun ditarik untuk tidak memalingkan pandangan lama-lama.
Pada akhirnya, pertunjukkan itu bukan hanya objek tontonan yang mempersembahkan pertunjukkan untuk hadirin. Bukan eksotisme semata. Pementasan ini menjadi sebuah katarsis bagi aktor itu sendiri. Aktor yang sedang berusaha secara sadar mendekati, mengenali, dan memilih jarak yang tepat terhadap kisahnya. Karena, kadang kala bukan hal yang baik ketika aktor terlalu dekat dengan kisah yang diangkat, tetapi akan buruk ketika tidak bisa mendekati kisah yang diracik menjadi naskah. [T]