Saya memiliki kenangan dengan lagu Berita Kepada Kawan dari Ebiet G Ade. Waktu itu, awal tahun 79, lagu ini sedang populer. Di mana-mana orang menyanyikannya. Pedagang obat di bencingah, juga bis dan bemo yang hilir mudik berulang-ulang memutar lagu ini. Pada waktu itu kami, 15 orang muda Banjar Gelulung, Sukawati, Gianyar, “berwisata” jalan kaki dari Tirtagangga menuju Trunyan melalui Tianyar, Karangasem.
Dini hari itu kami didrop di depan Taman Tirtagangga dengan bemo. Dari sini kami mulai jalan kaki menuju Tianyar.
Kami berangkat dengan membawa bekal bahan makanan seadanya, seperti beras, minyak goreng, dan sedikit bumbu dalam ransel di punggung. Juga alat masak, panci dan penggorengan, serta persediaan air minum dalam botol peples.
Perjalanan ini tanpa persiapan matang. Modal kami hanya semangat, didorong oleh hasrat muda yang spontan, yang ingin memiliki pengalaman berpetualang di alam yang menantang, walau dengan bekal seadanya.
Tapi kami memang sudah punya pengalaman berpergian seperti ini. Kami pernah mendaki beberapa gunung dan bukit, menyusuri pantai, memasuki hutan atau melalui jalan desa-desa di pegunungan.
Kami menenteng bedil untuk berburu burung di perjalanan. Kami rata-rata jagoan menembak. Di masa itu, kalau hari libur, kami sering jalan-jalan berburu tupai di kebun-kebun kelapa di luar desa.
Hari masih gelap dan sepi. Sisa-sisa sinar bulan yang samar-samar di langit Tirtagangga memandu perjalanan kami, selangkah demi selangkah, melewati bengang demi bengang.
Kami terus berjalan, melewati Desa Ababi, Abang, Culik, Amed dan seterusnya. Setiap momen kami nikmati sebagai pengalaman mengesankan.
Siang hari kami melintas di kawasan sabana Tianyar. Kami bergerak memasuki wilayah tandus di tepian timur Pulau Bali itu.
Pemandangan sekitar hanya bentangan tanah luas terhubung ke Gunung Agung, dengan onggokan bebatuan hitam-kecoklatan, semak-semak, serta siluet pohon-pohon rontal yg kurus menjulang di kejauhan. Tidak ada pohon rindang. Sejauh mata memandang hanya ada kesunyian di bawah langit biru.
Suasana sekitar sepi jampi. Tidak ada orang di luar rombongan kami. Kendaraan hanya jarang-jarang belaka lewat di jalan yang menghubungkan Singaraja dengan Amlapura ini.
Di sekitar daerah ini tidak ada rumah penduduk. Hanya ada satu dua sisa-sisa gubuk lapuk tak berpenghuni.
Cuaca sangat berdebu. Semak-semak dan rumput hangus oleh cuaca yang keras. Di kiri, puncak Gunung Agung tampak dekat, mengilap seperti warna tanah-pasir disengat matahari.
Kami terus berjalan, menempuh alam yang keras sambil menutupi kepala dengan ransel, tanpa keluh.
Kami, anak-anak muda Gelulung di masa itu, memang dikenal sebagai generasi tangguh, tak banyak bicara tapi tekun dan gigih. Sebagian besar di antara kami adalah anak-anak pendiam tapi memiliki mental petualang, tangkas, ulet, dan tak mudah menyerah. Itulah sebabnya, perjalanan di sabana itu dapat kami lewati dengan asyik saja.
Kami sempat berdiri memandangi satu sungai buatan yang cukup lebar yang membelah sabana dari arah gunung menuju laut di belakang kami. Konon saluran itu sengaja dibangun untuk aliran lahar bila Gunung Agung meletus.
Di tengah perjalanan, kami beberapa kali berpencar, masuk ke pelosok sabana, berburu burung.
Siang kian terik. Kami mulai dehidrasi dan perut kosong. Lalu, di tempat yang agak teduh kami bertemu kembali dan mengaso. Di sini kami membuka bekal, membuat bubur dan menggoreng burung hasil buruan tadi untuk makan siang.
Bagi kami ini momen yang indah sekaligus mengharukan. Di saat kelaparan di tempat terpencil, gersang dan panas, lalu bisa berbagi makanan yang kami masak bersama walau sangat sederhana, kami nikmati itu sebagai bagian dari perjalanan hidup yang menguatkan hati dan jiwa kami ke dalam ikatan persaudaraan yang sangat dekat tanpa batas.
Di sinilah lagu Berita Kepada Kawan dari Ebiet ini mulai menuliskan kenangan di hati saya. Saat itu salah seorang teman selalu menyanyikan lagu ini di sepanjang perjalanan: “Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan. Banyak cerita yang mestinya kau saksikan, di tanah kering bebatuan…”
Ia menyanyikan lagu itu berulang-ulang sambil terus berjalan di sabana ini. Sejak itu, tanpa saya sadari lagu tersebut memahatkan sesuatu kenangan yang dalam di benak saya.
Sekarang setiap kali mendengar lagu ini maka ingatan saya akan segera hanyut kembali kepada suasana perjalanan di sabana Tianyar.
Kami tiba di Desa Tianyar ketika hari sudah gelap. Setelah melapor kepada kelihan setempat, kami numpang tidur di balai nelayan di pinggir jalan. Laut memang dekat saja di pinggir desa. Malam-malam, saat rebahan di balai nelayan ini, kami bisa mendengar desah ombak datang dari arah pantai.
Besoknya, pagi-pagi buta kami terbangun karena para nelayan sudah berdatangan dan bersiap turun melaut.
Pagi itu kami meninggalkan desa ini, menyusuri jalan setapak, mendaki bukit gersang ke arah barat menuju Trunyan, Batur. “Tubuhku terguncang dihempas batu jalanan. Hati tergetar menampak kering rerumputan…” teman saya bernyanyi lagi, kali ini di tengah remang pagi.
Selain Berita Kepada Kawan dari Ebiet G Ade, saya juga punya kenangan tersendiri dengan lagu Huma di Atas Bukit dari Godbless. Lagu ini terbit pertengahan 70-an. Saya memilikinya setelah nonton film-film yang dibintangi penyanyi Godbless, Achmad Albar, seperti Laila Majenun dan Duo Kribo yg saat itu sangat populer sebagai film genre musik, tak kalah populer dari film Dunia Belum Kiamat yang dibintangi Muchsin Alatas dan Titiek Sandhora.
Di pagi yg masih buta itu kami meninggalkan Desa Tianyar. Dari balai nelayan kami berjalan dengan penerangan lampu senter yang kami bawa, di sepanjang jalan desa ke arah barat, melewati rumah-rumah penduduk yang gelap, diiringi gonggongan anjing-anjing kampung.
Semakin pagi kami semakin jauh meninggalkan desa, dan jalanan setapak yang kami lalui semakin terang dan mendaki bukit.
Di bukit kami berhenti sejenak, menikmati pemandangan puncak Gunung Agung yang memerah oleh limpahan matahari terbit. Sangat cantik. Saat itu saya sadar kalau posisi kami kini sudah berada di perbukitan di bagian utara kaki Gunung Agung.
Kami terus berjalan dan bertemu petani yang baru tiba di ladangnya. Kami bertanya apa benar ini menuju Trunyan? Petani ini membenarkan sambil meminta kami terus saja mengikuti jalur ini maka kami akan sampai di Trunyan.
Di bukit ini kami melihat kandang-kandang sapi di tengah ladang yang tidak terawat. Tanaman di areal bukit ini tampak tidak subur, daunnya jarang-jarang. Saya tidak ingat pohon apa yg ditanam di sini. Mungkin karena pengaruh musim atau memang tanah perbukitan ini tidak subur, ladang di sini tampak murung.
Saat itu kami mau mencari daun-daunan untuk disayur, tapi di sepanjang tepi ladang kami tidak menemukan apa-apa. Di sekitar tidak ada tanaman seperti kelor, bayam, daun kacang atau semacamnya. Jadi tidak ada yg bisa kami petik untuk disayur. Ladang di sini sepertinya hanya untuk pohon jenis tertentu yg batangnya dipanen untuk dijadikan kayu bakar dan dijual.
Di sini kami kemudian masak dan makan dengan kacang saur bekal dari rumah.
Siang hari, saat matahari pas di atas kepala, kami tiba di bagian bukit yg menanjak tajam. Kami berjalan pelan-pelan di jalan yang licin oleh debu yang panas. Kami kehabisan air. Kami kelelahan dan haus. Tapi kami tak boleh berhenti. Kami terus berjalan, walau pelan-pelan.
Di atas bukit, di bagian yg sedikit rindang di sebelah kanan, kami menemukan pelinggih berbentuk asagan sederhana. Di sini kami berhenti sebentar dan berdoa bersama dengan mencakupkan tangan. Kemudian kami melanjutkan perjalanan. Berusaha mencapai puncak bukit.
Setelah susah payah bergerak di jalan setapak yang terjal, licin, kering dan penuh debu itu akhirnya kami sampai di atas bukit.
Di puncak bukit ini kami berdiri menghadap ke barat dan menyaksikan lembah menghampar di hadapan kami. Ini pemandangan yang sangat indah yang bersembunyi jauh di pedalaman.
Lembah ini tersambung dengan bebukitan di seberang yang menghijau dengan bayangan pohon-pohon cemara di kejauhan. Berbeda dengan bebukitan gersang yang telah kami lewati tadi.
Kami sempat terkejut. Di bawah bukit, sebelum lembah, agak ke kiri, kami melihat satu pemukiman, berlindung di ceruk bukit yang landai.
Dari atas bukit ini kami lihat rumah-rumah itu berjajar rapi, atapnya menghitam dan berlumut, dindingnya dari anyaman bambu. Rumah itu berjejer, sekitar 10 jumlahnya, menghadap ke timur. Areanya tidak cukup luas, hanya beberapa are.
Ada asap mengepul keluar dari wuwungan rumah. Mungkin ada yang sedang memasak. Halaman depannya tanah dan terlihat bersih.
Sepintas saya berimajinasi suasana pemukiman itu mirip perkampungan penduduk pedesaan di film-film perang Vietnam. Hanya saja rumah di sini tampak terawat. Tapi sekian saat kami mengamati permukiman itu kami tidak melihat satu orang pun di sana. Suasananya sunyi. Tak ada pergerakan. Suwung mamung. Angin kering melintas pelan, meniup rumput gersang dan debu di kaki kami.
Di bagian belakang deretan rumah itu ada huma atau ladang, menyatu ke lembah yg jauhnya berakhir di batas kaki bukit sebelah barat. Ladang ini terlihat cukup hijau.
Karena heran, kami sempat saling pandang dengan teman-teman. Kami sama sekali tiada menduga, di tempat terpencil ini ternyata ada kehidupan, ada perkampungan penduduk, walau kecil. Kalau tidak salah, pemukiman ini masuk wilayah Dusun Madya.
Saya sendiri terpaku dng pemandangan ini dan merasakan suasana yang indah walau ada sedikit perasaan heran, seakan kami sedang berada di alam antah berantah. Nah saat itulah saya tiba-tiba ingat lagu Huma Di Atas Bukit dan spontan saya menyanyikannya keras-keras:
“Seribu rambutmu yang hitam terurai.
Seribu cemara seolah mendera.
Seribu duka nestapa di wajah nan ayu.
Seribu luka yang nyeri di dalam dadaku:
Di sana kutemukan bukit yang terbuka.
Seribu cemara halus mendesah.
Sebatang sungai membelah huma yang cerah.
Berdua kita bersama tinggal di dalamnya.
Nampaknya tiada lagi yang diresahkan.
Dan juga tak digelisahkan.
Kecuali dihayati.
Secara syahdu bersama.
Selamanya, bersama selamanya….”
Kenangan itu yang kemudian membuat saya fanatik dengan lagu ini. Walau kemudian Godbless mengaransemen ulang lagu ini dan merekamnya dengan sound yang lebih bagus dan modern tapi jiwa saya tidak bisa berpaling dari lagu aslinya yang klasik.
Setelah itu, setiap kali saya ingin mengingat lagi suasana di puncak bukit itu saya pasti memutar lagu ini. Kasetnya bertahun-tahun saya jaga betul. Saya pernah keliling di Denpasar untuk mencari lagi kaset tersebut sebagai cadangan tapi saya tak pernah menemukannya.
Kami memutuskan menyinggahi permukiman ini. Kami turun dari bukit, mengambil jalan ke kiri, masuk pemukiman. Di halaman belakang terlihat beberapa ekor ayam berkeliaran dan anjing-anjing tertidur kalem di tangga depan pintu rumah.
Pintu-pintu rumah dari gedek bambu itu tertutup rapat dan kami mencoba memanggil-manggil dari halaman depan.
Sesaat kemudian ibu-ibu membuka pintu dan menyapa kami. Kalau tidak salah ingat, ada tiga orang menemui kami. Semuanya menderita gondok. Mereka sangat ramah, menyambut kami dengan senyum lebar. Bibir mereka merah merekah karena mengunyah sirih.
Kami bertegur sapa dan berbicara seperlunya dan menjelaskan tujuan kami. Kemudian kami pamit untuk melanjutkan perjalanan. Mereka memberi kami bekal air. Kami sempat menolak karena khawatir itu akan menyusahkan mereka tapi mereka bilang memiliki persediaan air yang cukup.
Kami meninggalkan pemukiman ini untuk meneruskan perjalanan menuju Trunyan. Kami tidak tahu entah berapa bukit lagi yg harus kami lewati. Namun ibu-ibu tadi mengatakan Trunyan sudah cukup dekat dari sini. “Sampun nampek nika. Malih ajrigjigan, liwatin bukit nika, teked sampun ring Trunyan,” demikian ibu-ibu tadi menjelaskan.
Setelah agak jauh dari pemukiman, saya bercanda kepada teman-teman dengan mengatakan kalau rumah yang kami kunjungi tadi adalah perkampungan wong samar, penjaga kawasan keramat di sekitar ini.
Ternyata teman-teman menanggapi serius candaan saya dan malah membumbuinya dengan berbagai persepsi dan macam-macam pikiran seram yang mereka rasakan sendiri selama singgah tadi. Tentu saja saya kemudian selekasnya mengatakan kalau omongan saya tadi cuma bercanda. Kami harus bersyukur karena mereka telah memberi kami air minum saat kami sangat kehausan dan tidak lagi memiliki air.
Kami mulai meninggalkan lembah dengan memasuki bukit yang banyak pohonnya. Ini perjalanan yang teduh dan tidak sekeras sebelumnya. Suara-suara binatang hutan mulai sering terdengar dari arah pedalaman. Cuaca yang panas dengan cepat berganti sejuk. Langit juga mulai mendung. Sesekali kami mengalami gerimis di bukit ini.
Ketika sore, kami tiba di ujung jalan di ujung bukit. Di sini sungguh kami terkejut. Sama sekali tidak menyangka. Saat langkah terakhir kami terhenti, tiba-tiba kami menemukan diri kami berdiri di tepi jurang terbuka, yang tepat di hadapan kami, muncul Gunung Batur, sedangkan di bawah terlihat danau dan kaldera Batur.
Kami melongok ke bawah, jauh di dasar jurang, tampak atap-atap rumah penduduk. Ternyata kami sudah tiba di ujung tebing bukit di atas Desa Trunyan. Kami sempat bersorak riang. Ya, kami telah sampai di Bukit Trunyan. Sungguh ini membuat kami terkesan. Terkejut tapi juga senang, karena tanpa kami sangka-sangka ternyata kami telah tiba di Trunyan, dan berarti kami telah sampai di satu tujuan perjalanan kami.
Di tebing ini kami berdiri agak lama, menikmati pemandangan indah sekitar gunung dan danau yg mulai diliputi kabut senja.
Karena hari sudah sore kami kemudian segera turun mengikuti tangga-tangga batu curam di dinding tebing. Tangga batu tersebut basah oleh gerimis.
Kami turun dengan hati-hati hingga kami menjejak halaman Desa Trunyan dan bertegur sapa dengan penduduk setempat. Kemudian kami menyeberangi Danau Batur yg berkabut dengan menyewa boat menuju Desa Kedisan, lalu melanjutkan jalan kaki, naik ke Penelokan.
Pukul delapan malam kami sampai di Penelokan dan menumpang nginap di kantor polisi setempat. Dinding kantor ini terbuat dari papan kayu dan itu cukup untuk menahan suhu di luar yang sangat dingin malam itu.
Besoknya, pagi-pagi kami jalan ke arah Tampaksiring dengan beberapa kali minta tumpangan pada truk yang lewat. Tiba di tampaksiring kami menyeberangi sawah dan sungai menuju Tegalalang dan singgah di rumah seorang teman. Dari Tegalalang, kami pulang ke Sukawati dengan bemo.
Setibanya di rumah, kami disambut oleh teman-teman di balai banjar. Setelahnya, mungkin sebulan lamanya kami saling berbagi cerita pengalaman seru yg kami dapatkan dalam perjalanan ini kepada teman-teman.
Bahkan setiap sore, orang-orang tua juga senang ikut nimbrung di balai banjar mendengarkan kisah perjalanan kami yang dibumbui beragam pengalaman dan tantangan asyik itu. Teman-teman yang tidak ikut “petualangan” ini hanya bisa bengong mendengar cerita kami dan merasa sangat menyesal karena tidak ikut serta [T]