Nyepi 1942 Saka barangkali menjadi perayaan Nyepi paling berbeda dengan Nyepi tahun-tahun sebelumnya. Bukan hanya karena Nyepi yang jatuh berbarengan dengan Buda Kliwon Pahang –rangkaian terakhir perayaan Galungan, maupun berhimpitannya panglong ke-15 Kasanga dan pananggal ke-1 Kadasa di hari yang sama. Nyepi tahun ini menjadi agak serius, sebab dirayakan pada kondisi krisis di tengah pandemi Covid-19 yang terus menyelinap senyap ke kerongkongan-kerongkongan manusia. Nyepi dijadikan momentum mengisolasi diri.
Suasana Nyepi pun masih terasa pada Ngembak Geni yang umumnya dilakukan dengan beramah-tamah ke sanak keluarga atau berwisata bersama keluarga. Tahun ini, semua cukup di rumah, amati lelungan. Jalanan sepi, tempat wisata sejak sepekan sebelumnya juga sudah ditutup.
Di rumah saya yang letaknya berada di dekat rimbun hutan pinus, penyemarak sejak pagi hanya kicauan burung, kokok ayam, dan gemerincing lonceng milik tiga ekor anjing penjaga rumah kami. Sesekali memang terdengar suara kendaraan di jalan raya, namun benar-benar sangat jarang.
Nyepi di Ngembak Geni itu pun turut berimbas pada dua pasang mempelai yang terlampau mengambil hari itu sebagai pelaksanaan upacara makelaci (menikah). Upacara semacam itu biasanya berjalan semarak, diantar banyak orang. Namun, karena pandemi ini mereka harus rela diantar hanya maksimal oleh 20 orang.
Dua hari sebelumnya, Tawur Kasanga juga cukup sepi. Momen yang seyogyanya disemarakkan pawai ogoh-ogoh tahun ini juga mendadak senyap. Tidak ada arak-arakan ogoh-ogoh sejauh lima km yang setiap tahun dilakoni dan menjadi ajang bertatap muka ribuan penduduk tua-muda desa saya. Pemuda, anggota sekaa teruna yang sejak beberapa bulan lalu mendadak sering ke balai banjar melawan hawa dingin, harus mengubur angannya. Patung-patung anyaman bambu itu “dibalaibanjarkan” untuk meredam kerumunan, memutus mata rantai sebaran Covid-19 yang mungkin saja telah berada di sekiling mereka. Meski demikian, sore itu tradisi ngerebeg tetap dijalankan usai tawur, hanya saja dengan jumlah peserta yang sangat minim.
SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19, telah berhasil menjadi “buta kala” baru. Dari sekian banyak virus dan bakteri yang sejatinya sama dekat dan berbahayanya, bahkan lebih mematikan bagi manusia. Ia berhasil hadir sebagai kuman paling seram di era ini. Orang mungkin lebih takut virus ini dibanding leak gunduljelmaan I Lendi dalam kisah Calonarang. Ia berhasil mengubah tata sosial hingga tata laku. Orang-orang mendadak lebih sering cuci tangan, menganggap pentingnya keberadaan masker dan hand sanitizer.
Hebatnya lagi, virus ini berhasil menuntut hak buruh untuk lebih banyak bercengkrama di rumah bersama keluarga. Meski tak dapat ditampik, di luar sana masih banyak buruh yang tetap bekerja di saat Nyepi. Ayah teman saya, seorang Hindu Bali tulen, tiada amati karya, sebab harus melayani wisatawan yang sudah terlampau booking paket Nyepi di Pulau Surga –sebuah paket wisata yang lebih digjaya mengalahkan penonaktifan internet. Semua itu ia dilakoni atas nama loyalitas, sebuah mitos yang selama ini memoles dan membedaki pariwisata Bali.
Kita Sudah Terbiasa
Pada sebuah rapat pemuka agama Hindu di Denpasar, tepat sepekan sebelum Nyepi 1942 Saka, sulinggih, Ida Pedanda Gede Wayahan Wanasarimengingatkan masyarakat agar tidak terlampau panik menghadapi Covid-19. Menurutnya, Bali sejak masa lampau sudah sering menghadapi krisis akibat serangan wabah. Oleh karenanya, langkah-langkah mitigasi telah dimiliki masyarakat Bali untuk menghalau dan meredam wabah
Pernyataan ida pedanda mengingatkan saya pada narasi-narasi yang dinyatakan sejumlah guru saya di rumah. Mereka sempat menuturkan rangkaian mata rantai ritus-situs yang mengarah pada persoalan-persoalan pengingat wabah. Hanya saja, kelemahan kami –mungkin juga kelemahan kita semua, cenderung melupakan persoalan paling penting dalam pelaksanaan ritus dan pengadaan situs, yakni tingkat gagasan dan nilai yang terkandung di dalamnya. Kami –mungkin juga kita semua— acapkali terlalu asyik beromantisme pada wujud fisik dan kemeriahan kebudayaan.
Barisan pengalaman tetua Bali dalam menghadapi wabah sejatinya dapat dirunut dalam berbagai peristilahan yang saat ini dapat kita temui dalam teks tradisional usang berdebu maupun ingatan komunal. Ada banyak varian yang merujuk pada wabah. Ada disebut gerubug, gering agung, tatumpur agung,sasab merana, dan lain-lain.
Dalam kandung tradisi lisan turun-temurun di desa saya, ada tuturan yang menyatakan bahwa desa kami awalnya disokong oleh desa-desa yang lebih kecil di kawasan kaki Gunung Batur. Tiga di antaranya tampaknya merupakan komunitas dengan jumlah penduduk cukup besar, yakni Desa Cempaga, Sinarata, dan Tampurhyang. Cempaga dan Tampurhyang terekam dalam Prasasti Cempaga Tampurhyang Batur A-C berangka tahun 1103-1246 Saka, yang kini disimpan di Pura Penataran Cempaga di Desa Adat Cempaga, Bangli.
Sementara itu, sejumlah tetua kami yang suntuk membaca sejarahnya sendiri meyakini Sinarata sebagai pecahan Cempaga, yang wilayahnya kemudian dipisah oleh Bukit Payang, dimana bagian Sinarata masuk di daerah utaranya, sedangkan Cempaga tetap berada di bagian selatannya. Ada pula yang berpendapat, penduduk Sinarata adalah pengusung Pura Alas Arum Batur, pura yang menjadi bagian tidak terpisah dari Pura Ulun Danu Batur hingga saat ini.
Semua desa itu telah memiliki tatanan sendiri, namun sama-sama memuja dewa yang berstana di Gunung Lebah. Suatu ketika, tatumpur agung secara bertubi-tubi menyerang desa-desa kaki gunung itu. Wabah meluas, hingga akhirnya hanya menyisakan beberapa warga. Manusia-manusia yang lolos seleksi alam kemudian menghimpun diri dan berjanji menyatukan diri dalam komunitas lebih besar dengan pusat episentrum pemujaannya bernama Pura Tampurhyang di kaki Gunung Batur sebelah barat daya. Komunitas-komunitas inilah yang mungkin mencatatkan dirinya sebagai “pemberontak”, yang meletupkan perlawanan pasca tumbangnya kekuasaan Bali Kuno oleh Majapahit pada 1343 sebagaimana tercatat dalam sejumlah babad. Perlawanan itu konon baru berhasil diredam pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong, yang sekaligus menata ulang Batur. Oleh Dalem Waturenggong, desa ini kemudian dinamakan Batur, sedangkan puranya disebut sebagai Pura Ulun Danu Batur. Sebagai penanda jasanya, Raja Bali tersohor di masa klasik itu dibuatkan palinggih penghormatan berupa meru tingkat sembilan dan dipuja hingga kini.
Istilahtatumpur agung yang menghujam desa kami di masa silamternyata merujuk pada wabah lepra. Situs daring beritabali.com (akses Kamis, 26 Maret), merilis bahwa penyakit ini memang beberapa kali sempat mewabah di Bali. Dijelaskan, wabah itu muncul pada tahun 1521 Saka (1599 Masehi) dan 1524 Saka (1602 Masehi). Artinya, ada kemungkinan di tahun-tahun itu pula tata sosial masyarakat kaki Gunung Batur turut diubah.
Menurut tuturan tetua kami, hanya 45 kepala keluarga yang bertahan dari wabah –dan mungkin perang. Kepada 45 kepala keluarga ini pula tatanan desa yang baru kembali dibangun. Mereka menjadi tulang punggung utama desa, disebut sebagai Maraga Desa Sareng Setimahan. Seperti namanya, sistem ini masih mewariskan 45 jabatan dengan fungsi dan tugas berbeda yang masih digunakan sampai saat ini –saat ini jumlah pejabatnya ditambah mengikuti tuntutan zaman. Angka 45 juga digunakan sebagai tanda pemukulan Hyang Iswara (kentungan keramat) saban subuh sebanyak 45 pukulan.
Ingatan masyarakat tentang cacar juga masih ditata dan diperingati dengan baik. Cacar yang pernah menjadi wabah serius di Bali dalam bahasa masyarakat desa saya disebut ngogong. Diistilahkan ngogong (memanggul Ida Bhatara), karena diyakini ketika seseorang terkena cacar, ia sedang dipilih oleh Ida Bhatara. Maka, jika seorang ngogong ia wajib melakukan brata (pengekangan diri), ia tidak boleh ke tempat-tempat kotor atau cemer. Selama mabrata, tubuhnya akan diolesi dengan campuran tumbukan beras dan bawang, kadang-kadang ada pula yang mencampur dengan daun adas. Olahan itu akan dipercikkan ke tubuh penderita menggunakan pucuk dapdap (kayu sakti).
Seseorang yang sempat terkena cacar dan sembuh, pada tilem (bulan mati) Kapitu wajib melakukan upacara ngantukang di Pura Jaba Kuta. Ngantukang artinya mengembalikan. Pesannya, penyakit cacar yang pernah diderita dikembalikan ke asalnya, dengan tujuan tidak lagi datang menghampiri.
Pura Jaba Kuta sendiri merupakan situs sekaligus simbol penting dalam tatanan beragama di Batur. Pada purnama (bulan terang) Kapitu, di tempat inilah disambut bhatara-bhatara bergelar dalem(raja) yang gelarnya merujuk pada penguasa “luar negeri”. Mereka adalah Bhatara Dalem Mekah, Bhatara Dalem Mas Siem, Bhatara Dalem Madura [Mathura?], dan Bhatara Dalem Majapahit. Mereka berempat datang pada purnama Kapitu, dipersembahkan upacara penyambutan, kemudian akan kembali “ke asalnya” pada tilemKadasa. Pada tilem Kapitu dan tilem Kaulu, mereka dipersembahkan bakti mamosa.
Pertanyaan yang semestinya dijawab setelahnya, mengapa ngogong dikembalikan ketika para dalem telah berstana di Jaba Kuta? Mungkinkah ritual ngantukang penanda di masa silam, bahwa penguasa dari luar pernah menyelamatkan penduduk dari wabah cacar? Atau jangan-jangan masyarakat percaya wabah itu berasal dari orang luar? Tiada seorang pun dapat menjawab dengan tepat, yang pasti, interaksi kami dengan orang luar sudah terjalin sedari lama.
Ingatan tentang kehadiran merana, atau wabah yang menyerang tanaman juga masih dirawat cukup baik oleh masyarakat Batur. Bahkan, ingatan itu kemudian dicandikan dalam sebuah ritus penolak wabah (nangluk merana) yang sangat penting di medium tahun Saka, yakni pada Sasih Kalima, yang disebut Ngusaba Kalima.
Ritus tersebut merupakan persembahan kehadapan Ida Ratu Ayu Kentel Gumi, personifikasi Tuhan yang berkuasa atas segala macam wabah. Bhatara yang lebih akrab disebut sebagai Ratu Kalima ini distanakan di palinggih meru tingkat tiga, yang berada di satu areal dengan Pura Puseh Batur. Tetua kami percaya, Ngusaba Kalima adalah wahana “negosiasi” manusia dengan segala bentuk hama yang mulai menyerang tanaman, mungkin juga manusianya. Sebab, secara fakta ilmiah saat ini, Sasih Kalima adalah musim pancaroba, peralihan kemarau ke hujan. Mulailah berhati-hati, agar tanaman, manusia, dan segala isi bumi selamat hingga panen berhasil. Berlimpah.
Upacara Ngusaba Kalima didasari tuturan lisan serta catatan tetua kami, yang sampai saat ini pun masih dituturkan para tetua ke generasi selanjutnya. Konon pada suatu ketika, Ida Bhatara Gunung Agung (Ida Bhatara Putrajaya) dan pengikutnya yang berwujud babi bertandang ke kawasan Kaldera Batur, stana adiknya, Ida Bhatari Dewi Danuh. Namun, pengikutnya tanpa sengaja merusak tanaman pangan yang merupakan abdi setia Ida Bhatari Danuh.
Apa yang dilakukan pengikut Bhatara Putrajaya membuat Bhatari Danuh murka. Dibunuhlah abdi itu. Mengetahui abdinya terbunuh, Bhatara Putrajaya balik murka, kemudian mengutuk bangkai abdi itu agar berbau. Sekejap kawasan Batur mengeluarkan bau tak sedap. Bangkai ditenggelamkan ke danau, namun tak mempan dan akhirnya dibuang ke laut. Di laut, bangkai itu dikutuk Dewa Baruna menjadi hama penyakit, menyerang tanaman, membuat rakyat Bali sengsara. Dalam kondisi labil akibat kurang pangan, maka turun Bhatara Pasupati, menitahkan Ida Ratu Ayu Kentel Gumi menetralisir segala macam wabah.
Dasar tuturan itu membuat upacara ini cukup berbeda. Statusnya dewa yadnya (persembahan yang ditujukan ke Tuhan), namun menggunakan damar kurung, sebuah sarana upacara yang umum digunakan dalam ngaben (pitra yadnya). Lalu, apa relasi perusakan tanaman, bangkai, danau, laut, dan hama? Tidakkah narasi itu hendak mengantarkan pesan jika tanaman rusak, jika air tercemar, maka wabah akan datang?
“Nyomya” Buta Kala
Dalam tradisi Bali, kekuatan-kekuatan menakutkan disebut sebagai Buta Kala. Mereka digambarkan seram, bertaring, mata melotot, lidah menjulur, rambut gimbal, hitam-besar. Mereka berkeliaran saat sandyakala, bersemayam di tempat-tempat angker. Di bawah pohon besar, di hulun pangkung, di kuburan, di batu besar. Orang yang berperilaku serong dapat dilahap tanpa ampun. Orang makan tanpa tatanan, termasuk yang memakan bukan haknya, akan ditelan.
Saya tidak paham, mengapa Buta Kala diwujudkan dan dipercayai sebagai sesuatu yang seram. Padahal, keduanya adalah hal-hal yang dekat di kehidupan. Buta adalah ruang, sedangkan kala merupakan waktu. Buta dibangun oleh lima unsur dasar. Ada tanah, air, api, udara, dan angkasa ruang. Sementara,kala merupakan penguasa atas keadaan dan ketiadaan kelima unsur dasar.
Di Bali ada tradisi meruwat Buta Kala agar somya(damai), tak mengganggu lagi. Kehadiran wabah juga sering kali diyakini sebagai ulah Buta Kala. Jika ingin wabah mereda, redakan sumbernya: Buta Kala. Persembahkanlah labaan (sesajian) untuk meruwatnya. Setelah itu ditempuh, sifat Buta Kala yang disruptif niscaya akan berubah jadi dewa yang kontruktif. Dunia selamat.
NarasiKala Tatwa barangkali menarik disimak menyoal peruwatan pada sosok Kala. Teks ini menuturkan Kala sebagai putra Siwa yang lahir dalam “ketidaksengajaan”. Kala lahir dari benih Siwa yang jatuh ke samudera tanpa melalui proses pertemuan dengan telur Uma. Meski lahir dari kondisi yang salah, Kala tetaplah bagian semesta yang membawa elemen Siwa. Ia lahir tak terkalahkan, bahkan oleh para dewa. Untuk nyomya Sang Kala, Siwa harus turun tangan meruwatnya. Setelah diruwat, Kala diberi anugerah “memakan” orang di wuku Wayang, serta orang-orang yang berlaku salah terhadap ruang dan waktu. Cerita sesudahnya, kita tangguhkan.
Sementara itu, Kakawin Purwaning Gunung Agung memberikan narasi agak berbeda tentang putra Siwa yang lahir dalam kondisi tak sepatutnya. Namanya Maya Bahni, lahir dari benih dan telur Siwa-Parwati yang jatuh di samudera. Seperti Kala, Maya Bahni ini lahir tiada tanding, mengalahkan para dewa dengan bermacam gelar. Singkat cerita, Maya Bahni berhasil di-somya dengan ruwatan Siwa. Layaknya Kala, ia diperkenankan melahap orang-orang salah ruang dan waktu, termasuk orang yang salah mencaci kayu bahan bangunan. Atas anugerah itu, ia bergelar Sang Kala Mretyu, yang sangat berkuasa atas kematian. Hanya tawur Eka Dasa Rudra saban 100 tahun yang dapat diambil sebagai wahana negosiasi dengannya.
Narasi sedikit berbeda diutarakan Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, sebuah teks yang sangat kental mengidentifikasi ekologi Bali. Tuturannya menyebut sosok Ni Mecaling di Nusa sebagai dalang dari ketidakharmonisan dunia, terutama soal wabah. Teks ini menyebut wabah sebagai bagian perjalanaan Ida Bhatara Tengahing Segara yang merupakan manifestasi ardanareswari Siwa-Uma dari tengah laut ke dataran Bali. Bhatara Tengahing Sagara datang dan berstana di Bale Agung pada Sasih Karo hingga Tilem Kadasa. Memasuki Sasih Kanem, Kaulu, dan Kasanga, Ni Mecaling dari Nusa lengkap dengan bala pasukannya mulai mengganggu. Maka, pada waktu-waktu itu, manusia Bali disarankan melakukan tawur di tepi laut, di alun-alun desa, dan tempat-tempat keramat lainnya. Upaya itu, konon dapat menenangkan “mereka” yang tengah “mengacau”.
Penanda Kelabilan
Kelabilan dunia –termasuk hadirnya wabah— dalam narasi-narasi di atas selalu melibatkan laut dan sedikit bumbu “kecerobohan penguasa”. Hama tanaman dari bangkai abdi Bhatara Putrajaya menurut mitos Ida Ratu Ayu Kentel Gumi tercipta lantaran emosi sesaat hyang penguasa kedua lingga utama Bali. Dalam percaturan konsep Linggacala Bali, Bhatara Putrajaya dan Bhatari Dewi Danuh adalah representasi kekuatan tertinggi Siwa. Keduanya, atas izin Hyang Pasupati, adalah penguasa dan sosok yang bertanggungjawab atas purusa (unsur rohani) dan pradana (unsur jasmani) di Bali. Karena emosi sesaat itu, ujung-ujungnya terlahir hama. Hama lahir karena bangkai itu ditenggelamkan ke laut.
UraianKala Tatwa dan Purwaning Gunung Agung, mengungkapkan hal serupa. Siwa adalah penguasa semesta, namun pada kondisi tertentu juga melakukan kesalahan fatal. Akibatnya lahir wujud disruptif yang sangat berbahaya untuk kelangsungan masa depan semesta. Lagi-lagi, Kala dan Maya Bahni lahir karena laut yang “tercemari”.
Pada tuturan Kuttara Kanda Dewa Purana Bangsul, sosok Ni Mecaling bersama pengikutnya yang menyebarkan ketidakstabilan ke Bali pada bulan-bulan tertentu tampaknya perlu dilihat lebih ke akar pada sosok Bhatara Tengahing Sagara. Adakah dalam narasi itu teks ingin mengantarkan pesan agar pemimpin mampu memanajemen dan tidak ceroboh mengelola sumber daya manusia yang unggul? Kisah ini pun masih menampilkan laut sebagai sesuatu yang harus diperhatikan secara seksama. Jika ia kotor, bersiaplah.
Menjawab Tanya
Pertanyaan besar yang perlu dijawab saat ini, dari mana sejatinya SARS-CoV-2 berasal hingga menjadi Buta Kala amat seram? Apakah ia berasal dari laut atau danau yang tercemar? Laut dan danau tidak melulu soal bentuk fisik, sebab sejumlah teks juga mengungkap ada danau dan laut yang bersemayam di dalam tubuh manusia. Laut itu mahaluas, tiada terbendung. Terletak di kepala kita masing-masing. Adakah penguasa tubuh tak berdaya menghentikan riaknya yang ingin berkuasa?
Sementara itu, jika ditarik pada kondisi ekologi era ini, adakah Covid-19 memang berelasi dengan kondisi laut dan air (dalam definisi yang nyata) kita yang kian tercemar? Pertanyaan ini patut direnungkan, sebab ada pandangan serius dari ahli epidemiologi tentang hubungan pemanasan global dan munculnya wabah. Menurut mereka, pemanasan global yang menyebabkan es di kedua kutub bumi mencair, berpotensi membangunkan berbagai penyakit purba mematikan dari tidur panjangnya di ranjang beku (lihat David Wallace-Wells, 2020).
Jika demikian, Covid-19 tampaknya bukan satu-satunya ancaman kepunahan massal. Ada banyak yang sedang mengintip, sebagian darinya memulai langkah penyerangan dari tangan kita. Untuk itu, sudahkah penguasa bumi dan penguasa tubuh bersiap? Akankah Siwa akan meruwat? [T]