Akibat Covid-19, siswa dirumahkan, eh, diputuskan untuk belajar di rumah. Banyak cerita yang terjadi saat anak-anak sekolah harus belajar mandiri di rumah masing-masing.
Misalnya guyonan saat resah kadang bisa sadis. Misalnya, ada yang berkata, “Siswa tidak ke sekolah, belajar di rumah. Bagaimana dengan guru dan pegawai? Guru dan pegawai yang belum meninggal, tetap ke sekolah?” [Guyonan yang keterlaluan seperti itu, kadang bikin stress hilang].
Terjadi juga perdebatan, yang boleh juga disebut guyonan. Misalnya perdebatan mengenai tidak ke luar rumah dan bekerja dari rumah. Lalu, mengapa guru harus ke sekolah? Ada juga yang menanggapi, “Paginya buru-buru dan siangnya menunggu!”
Itu karena guru dan pegawai diolah [baca: diatur] oleh satu barang digital yang bernama finger scan. Benda “pembunuh” satu itu, memang menjadi momok tersendiri sejak mulai diberlakukan. “Pembunuh”? Iya, konon, jika benda itu tidak menyimpan data kehadiran guru di sekolah, tunjangan hidupnya akan ditiadakan.
Tunjangan hidup ditiadakan, bukankah akan merobohkan hidupnya?
Ahh, hanya guyonan kecil yang tampak serius saja bagi beberapa orang. Tapi, ada juga yang menafsirkan, bagi sebagian besar orang, bahwa itu hal serius. Guyonan yang serius.
Dan begitulah, ketika siswa diputuskan oleh pemerintah untuk belajar di rumah, guru-guru tetap pergi ke sekolah. Di sekolah saya juga, di sebuah sekolah terpencil di sebuah desa kecil yang begitu dekat dengan alam di pedalaman Karangasem, Bali.
Sebagai guru, saya masuk juga. Ritual dijalankan. Paginya buru-buru untuk absen finger scansebelum jam tujuh. Lalu, memang harus menunggu, minimal sampai jam 13.15. Jika tidak, kehadiran mereka akan dicatat tidak wajar oleh alat tersebut.
Kadang-kadang geli sendiri dibuatnya. Olah barang bangka, diatur benda mati — begitu kata sedikit orang.
Berbagai kegiatan dilakukan mengisi waktu sunyi tersebut. Mulai dari menyapu, menggantikan tugas piket siswa. Ada juga mengambil cangkul untuk membuat tempat berkebun di belakang sekolah. Salah satunya, ke dapur, membuat air hangat untuk membuat kopi dan teh bagi yang lainnya.
Tidak ada yang aneh pada semua kegiatan itu. Masyarakat sekitar yang melintas pun tidak ada yang heran, karena pemberitaan sudah mereka dapatkan melalui media sosial. Semua berjalan wajar dan normal, walau tidak biasa.
Waktu istirahat pun tiba. Menikmati kopi dan teh yang disajikan sehabis bekerja. Di meja taman depan kelas-kelas yang ditutup rapat. Tak banyak cerita yang muncul. Semua sibuk dengan kopi dan tehnya masing-masing. Temannya, tentu saja gadget di tangan yang mulai sibuk menerima sajian aktivitas beraneka ragam hari ini. Tidak lupa membalasnya dengan unggahan aktivitasnya hari ini.
Setelah tidak ada lagi guyonan, atau tak ada juga yang serius dibicarakan, satu per satu akhirnya masuk ke ruang guru untuk mengerjakan tugasnya masing-masing. Mengecek tugas yang diberikan melalui media daring. Ada juga yang sibuk menyiapkan tugas-tugas berikutnya.
Waktu terasa lama dan membosankan, sebelum akhirnya dari balik jendela melihat ke halaman sekolah. Ada sesuatu yang tak biasa. Lalu, saya alihkan perhatian teman-teman yang tampak sangat serius.
“Bu Mang, ada yang mencari.”
“Siapa?”
“Itu di halaman sekolah!”
Semuanya menoleh ke halaman, lalu meledaklah tawa semua yang ada di ruang guru, ketika melihat dua ekor anak sapi dengan santainya melenggang di halaman sekolah. Bahkan, ketika didekati untuk diambil foto, anak-anak sapi itu bukannya lari, malah mendekat. Padahal belum kenal. Ha ha ha.
Tidak lupa, salah satu diantaranya memberi “imbalan” untuk sekolah. Mungkin hadiah karena diijinkan masuk dan tidak diganggu. Hadiah berupa gundukan kotoran yang dikeluarkannya tanpa beban apalagi malu.
Mungkin juga karena tak tega melihat tanah lapang yang tidak ditumbuhi rumput, lalu berinisiatif untuk menyuburkannya. Jika selama dua minggu dilakukan secara teratur, bukan tidak mungkin, rumput akan tumbuh subur apalagi didukung oleh musim hujan saat ini.
Saya ingat teori pembelajaran yang mengatakan bahwa pembelajaran yang baik adalah mendekatkan siswa dengan lingkungan nyata. Artinya siswa bisa belajar dengan mendekat bahkan menyatu kepada alam.
Tetapi, selama ini, pembelajaran tentang alam justru lebih banyak dilakukan di dalam kelas, dengan teori-teori dan nama serta istilah-istilah asing.
Ketika sapi masuk sekolah pada saat siswa belajar di rumah, membuat saya kembali merenung soal pembelajaran di alam. Saat kelas-kelas itu kosong, maka sapi [baca; alam] itu datang ke sekolah untuk memberi pelajaran, untuk mengingatkan bahwa sekolah sebenarnya tak bisa dipisahkan dari alam.
Siswa yang belajar di rumah (bukan liburan) kini mungkin bisa belajar pada alam bebas. Apalagi siswa yang rumahnya di tengah tegalan, atau di sebuah desa di balik bukit, di lembah yang alami, dan tak punya koneksi dengan guru-guru secara online.
Mereka bisa kembali mengenal daun-daunan di sekitar rumahnya, misalnya daun yang bisa dijadikan loloh untuk meredakan demam, flu atau sakit kepala.
Ketika dunia begitu modern, sekolah seakan punya sekat kuat antara sekolah dengan alam. Sekolah dipagar tinggi-tinggi agar orang luar, apalagi hewan, tak bisa masuk ke sekolah.
Dan, pada saat merebak kasus Covid 19, kita baru ingat hal-hal yang pernah kita pelajari dari alam, dari leluhur yang begitu dekat dengan alam. Misalnya, loloh, daun-daunan semak yang bisa dijadikan obat.
Sapi yang masuk ke sekolah, ketika banyak anak-anak tak tahu lagi bagaimana sapi menjadi tulang-punggung kehidupan masyarakat Bali di masa lalu, adalah sebuah peringatan, sebuah pelajaran. Ia jadi renungan.
Oh, ya, peristiwa ini bisa juga jadi renungan tentang alam dan pariwisata atau pariwisata dan alam. Sapi itu mungkin minta perhatian. Bahwa pada saat-saat banyak yang cemas akan ambruknya pariwisata, sapi [baca: alam] yang dulu kerap dilupakan, kini sebaiknya diperhatikan dengan amat-amat serius. [T/editor Adnyana Ole]