Parade Lagu Daerah Bali selalu menjadi salah satu primadona di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) setiap tahunnya. Untuk memantapkan parade Lagu Daerah Bali pada PKB yang tahun ini memasuki pelaksanaan ke-42, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menyelenggarakan kriyaloka atau workshop mengenai Lagu Daerah Bali, di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Jalan Nusa Indah, Denpasar, Rabu (11/3).
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Wayan ‘Kun’ Adnyana mengatakan, hilirisasi penguatan dan pemajuan kebudayaan yang paling dinikmati masyarakat adalah lagu daerah Bali. Pulau Dewata memiliki kebanggaan bahwa budaya Bali juga dilestarikan lewat lagu-lagu yang mudah diterima oleh berbagai kalangan usia. Lewat parade lagu daerah Bali ini juga menjadi wahana pembangunan karakter generasi muda Bali ke depan.
“Dulu mungkin kaum muda atau kaum milenial itu risih mendengar lagu daerah Bali, apalagi menyanyikannya. Tapi sekarang itu justru menjadi habit atau kebiasaan, dan malah menjadi kebanggaan. Banyak penyanyi muda dan mengusung lagu berbahasa Bali,” ungkapnya.
Untuk parade Lagu Daerah Bali, Kadis Kun Adnyana berharap, materi lagu yang diciptakan tidak hanya bertutur tentang keindahan, tapi di dalamnya juga harus diselipkan tuntunan, etika, motivasi kehidupan yang optimistik, kegairahan semangat masyarakat. “Kami ingin tema-tema yang diangkat membangkitkan optimisme. Lagu seperti juga di masa lalu, memiliki peran menyemangati perjuangan kemerdekaan, persatuan dan pembangunan bangsa. Harapannya lagu daerah Bali juga ada pada titik itu,” kata Kadis Kun Adnyana.
Workshop menghadirkan narasumber I Gusti Putu Rakadhanu, tokoh pencipta lagu daerah Bali yang telah puluhan tahun berkarya. Dalam workshop tersebut, Rakadhanu banyak menceritakan sejarah perkembangan lagu daerah Bali. Diawali dengan terbentuknya Band Putra Dewata, pimpinan AA Made Cakra pada awal tahun 1960. Kemudian disusul I Gede Darna (Singaraja), dan pencipta-pencipta lainnya. Perkembangan lagu Bali tahun 1960 oleh Band Putra Dewata berlangsung hingga bulan September 1965. Sempat terhenti karena ada peristiwa G30S/PKI.
Beberapa tahun kemudian, antara 1969 dan 1970 bermunculan siaran langsung lagu-lagu ciptaan AA Made Cakra lewat stasiun-stasiun radio swasta yang hanya diiringi gitar tunggal. Perlahan band Putra Dewata kembali dibangkitkan. Semua lagu AA Made Cakra tersebut sangat kental dengan nuansa Bali dengan notasi pentatonis. Barulah kemudian muncul pencipta-pencipta milenial menggebrak Bali dengan lagu-lagu diatonis berbahasa Bali.
Pada tahun 1978, Prof Dr Ida Bagus Mantra yang saat itu menjabat Gubernur Bali mengadakan Lomba Cipta Lagu Bali. Dari lomba tersebut, lagu-lagu yang menang dijadikan lagu wajib dan lagu pilihan pada Pesta Kesenian Bali. Kriteria lomba diwajibkan notasinya memakai laras pelog atau selendro, sesuai dengan laras gamelan Bali. Hal ini bertujuan agar identitas Bali tetap terjaga atau tidak punah. “Pendapat saya pribadi, juri harus peka dengan lirik. Liriknya harus berbahasa Bali, karena ini adalah parade lagu daerah Bali,” ungkapnya.
Terkait juri parade lagu daerah Bali, Rakadhanu berharap juri yang terpilih tidak boleh merangkap menjadi pembina atau pelatih untuk menjaga independensi. “Juri tidak boleh menjadi pembina, juri tidak boleh menjadi pelatih. Kalau juri jadi pembina atau pelatih, bisa kacau,” katanya.
Rakadhanu pun bersyukur dengan diadakannya workshop, karena yang hadir adalah para peserta dan pembinanya langsung. Dengan demikian kriteria penciptaan dan penilaian akan lebih sampai kepada peserta yang akan mengikuti parade lagu daerah Bali. “Dulu sewaktu saya menjuri, saya khawatir. Sebab saat technical meeting, yang datang malah kepala dinasnya, bukan peserta atau pelatihnya. Sehingga saat technical meeting terjadilah perubahan kriteria, dan itu pun tidak disampaikan kepada peserta dan pelatih di daerahnya. Akhirnya saat tampil, mereka masih menggunakan kriteria lama,” tandas Rakadhanu. [T][*]