Buku kumpulan puisi penyair GM Sukawidana, “Upacara Terakhir” (Pustaka Ekspresi, Desember 2019) diluncurkan di Jatijagat Kampung Puisi (JKP) pada hari Sabtu, 14 Maret 2020, pukul 19.00 Wita. “Upacara Terakhir” akan dikupas oleh penyair Tan Lioe Ie dan budayawan Gde Hariwangsa alias Hartanto dipandu Wayan Jengki Sunarta. Selain itu, acara dimeriahkan dengan pembacaan puisi oleh Mira MM Astra, Imam Barker, Kardanis Mudawi Jaya, dan Laksmi Padma Kamala, serta musikalisasi puisi oleh Sanggar Cipta Budaya SMPN 1 Denpasar.
GM Sukawidana juga memaparkan proses kreatifnya ketika menulis dan menyiapkan “Upacara Terakhir” dan akan membacakan tiga puisi berjudul “Aku Menulis Puisi”, “Meme Janger”, dan “Upacara Terakhir” (duet bersama Elsye Suryawan).
Gusti Made (GM) Sukawidana adalah seorang penyair yang merasa bangga disebut sebagai gelandangan. Penyair yang suka mengangkat lokalitas dan menggunakan diksi-diksi arkaik dalam puisi-puisinya ini lahir di Bali, 16 Juli. Selain penyair dia juga adalah guru senior di SMPN 1 Denpasar, pernah pula menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah.
Salah satu cucu maestro perupa I Gusti Nyoman Lempad ini mulai menekuni puisi tahun 1979. Bersama penyair seangkatannya, dia digembleng di Pos Remaja Bali Post oleh Umbu Landu Paranggi hingga berhasil menjajal arena Pos Budaya yang sangat bergengsi saat itu. Gm, Sukawidana adalah salah seorang pendiri Sanggar Minum Kopi (1985 – 1995) dan Sanggar Cipta Budaya (SMPN 1 Denpasar).
Ketika mengasuh Sanggar Cipta Budaya, Gm. Sukawidana banyak melahirkan sastrawan dan penulis mumpuni, seperti Oka Rusmini, Sri Jayantini, Ika Permata Hati, Aan Almaidah, Candra Yowani, Dewa Putu Sahadewa.
Puisi-puisi Gm. Sukawidana dimuat di Bali Post, Nafiri, Swadesi, Simphoni, Berita Buana, Republika, juga terangkum dalam banyak antologi bersama. Buku puisi tunggalnya yang telah terbit adalah “Upacara Tengah Hari” (1993), “Upacara Senja Upacara Tanah Moyang” (2000), “Upacara-upacara” (2015).
Buku “Upacara Terakhir” adalah kelanjutan dari serial buku upacara sebelumnya. Dalam “Upacara Terakhir” semakin tampak kegelisahan dan keprihatinan Gm. Sukawidana terhadap tanah kelahirannya. Dia adalah penyair yang sangat peduli pada perubahan yang terjadi di tanah kelahirannya.
Puisi-puisinya banyak melontarkan protes dan kritik terhadap persoalan-persoalan sosial, budaya, ekologi yang terjadi di Bali. Hal itu, misalnya, tampak dalam serial puisi tentang Teluk Benoa, seperti puisi “Upacara Muara Teluk Benoa”, “Upacara Pesisir Teluk Benoa”, Di Atas Jalan Layang Teluk Benoa”, dan tampak pada puisi-puisi lainnya.
“Seperti buku-buku sebelumnya, buku Upacara Terakhir ini adalah bentuk keprihatinan saya pada tanah Bali. Setelah buku ini, mungkin saya akan menggarap tema-tema yang agak berbeda sebagai representasi kegelisahan saya sebagai penyair,” ujar Gm. Sukawidana. [T][*]