Lelaki itu biasanya keliling kota Singaraja, masuk satu kantor ke kantor lain. Ia berpakaian adat, naik sepeda motor. Yang selalu jadi perhatian, pada sadel belakang motornya terdapat grantang atau rindik (sebutan untuk perangkat gamelan joged bumbung).
Tentu saja ia bukan orang gila.
Ia masuk ke halaman Polres Buleleng, tak distop penjaga. Ia meluncurkan sepeda motornya hingga ke halaman belakang. Di tempat parkir, ia berhenti. Sendirian, dengan begitu semangat, sembari bersenandung tabuh jejogedan, ia membuka tali yang mengikat grantang di sadel belakang.
Grantang atau rindik itu terlepas dari ikatan. Lalu ia gotong sendiri, dengan begitu enteng, ia membawa grantang itu masuk, lewat pintu belakang, ke sebuah gedung. Ia masuk lorong menuju lobi depan, lalu menaruh grantang itu di sebuah sudut. Ia kemudian duduk bersila di belakang grantang, lalu memukul bilah-bilah bambu di grantang itu, dan terdengarlah alunan musik joged bumbung khas Buleleng, kadang juga terdengar familiar di telinga seperti musik joged bumbung di lobi-lobi hotel berbintang.
Lelaki itu cuek saja. Sejumlah polisi yang ngantor di lantai dua itu seakan tak terganggu. Beberapa polisi bahkan menonton sekilas sembari lalu begitu saja.
Mungkin sekitar seperempat jam, lelaki itu menaruh panggul (alat pemukul) di atas grantang, kemudian berdiri sembari mengusap-usap kancutnya yang tak kotor. Ia pergi begitu saja, sembari dan menyapa sejumlah polisi yang berpapasan dengannya. Ia menuju motor, menstarternya, lalu pergi.
Lha, grantangnya? Grantang itu ditinggalkan begitu saja, ditinggalkan di lobi kantor polisi itu.
***
Peristiwa itu terjadi ketika saya baru beberapa tahun bertugas jadi wartawan di Buleleng. Mungkin sekitar tahun 2005 atau sekitar-sekitar tahun itu. Lelaki yang membawa grantang itu adalah Ketut Jingga. Ia adalah seniman joged bumbung dari Desa Sari Mekar, atau biasa juga disebut Desa Runuh di Kecamatan Sukasada, Buleleng.
Saya mengingat peristiwa itu setelah mendengar dari teman wartawan di Buleleng, bahwa seniman yang nyentrik dan banyak senyum itu meninggal Selasa, 10 Maret 2020, sekitar pukul 18.00 wita.
Sebagaimana ditulis Denpost, Ketut Jingga menderita sakit diabetes dan TBC. Sakitnya itu sebenarnya tak pernah mengurangi semangatnya untuk berkarya. Namun setelah jatuh di ruang tamu sekitar 6 bulan lalu, kondisinya drop. Setelah diperiksa, kakek enam cucu ini mengalami patah di bagian pinggul. Hal inilah yang menjadi beban pikiran seniman yang selalu energik ini sehingga kondirinya terus menurun sampai kemudian meninggal dalam usia 68 tahun.
“Pinggulnya yang patah itu yang menjadi pikiran bapak sehingga terus kepikiran,” tutur Komang Adya Yana (42) anak ketiga almarhum, sebagaimana dikutip Denpost.
***
Saya mungkin sudah sering melihat Ketut Jingga pada awal-awal saya bertugas di Buleleng, namun perhatian pada lelaki itu menajdi lebih lekat ketika ia saya lihat membawa grantang di Mapolres Buleleng, sebagaimana yang saya ceritakan di awal tulisan ini.
Seorang polisi saat itu mengatakan bahwa Ketut Jingga memang sengaja menaruh grantangnya di lobi Mapolres agar para polisi bisa memukulnya di saat-saat istirahat. Sesekali Jingga akan datang ke lobi itu, lengkap dengan pakaian adat, lalu duduk di belakang grantang, memukulnya sambil senyum-senyum sendiri. Jika ada polisi yang berniat belajar, ia tak segan mengajarinya dengan sabar.
Jingga memang sudah sempat menaruh grantang di lobi Mapolres itu beberapa bulan sebelumnya, namun grantang itu diambil kembali karena mengganggap suara bumbungnya sudah tak bagus lagi. Setelah diperbaiki, grantang itu dibawa kembali ke Mapolres. Atau mungkin saja grantang yang dibawa itu memang grantang baru, karena Jingga juga dikenal sebagai pembuat grantang yang piawi.
Apakah Mapolres memang memesan grantang untuk ditaruh di lobi?
Dari seseorang saya mendengar bahwa grantang di lobi itu adalah inisiatif Ketut Jingga sendiri yang kemudian disetujui oleh pihak Mapolres. Mungkin maksud Ketut Jingga tak sepenuhnya berniat berdagang, namun pihak Polres memberi dia penghargaan dengan membayar grantang itu dengan jumlah yang layak.
Saya menduga Ketut Jingga punya niat mulia untuk memasyarakatkan tabuh-tabuh joged untuk semua lapiran masyarakat. Ia ingin semua orang bisa megambel joged, sehingga musik bambu terdengar bukan hanya di desa-desa, melainkan juga di kantor-kantor. Jika pun kemudian ia mendapat bayaran, itu hal yang sah.
Dugaan saya makin kuat ketika saya menyadari kemudian bahwa hampir di setiap lobi di kantor-kantor pemerintahan di Buleleng terdapat grantang milik Ketut Jingga, termasuk di lobi Kantor Bupati. Jingga menaruh grantang itu di lobi, ada yang karena memang dipesan oleh kepala kantor, ada yang ditaruh dengan inisiatif sendiri, meski mungkin saja empunya kantor tak menginginkannya.
Hampir setiap hari Ketut Jingga keliling naik motor. Secara bergiliran ia singgahi kantor-kantor itu, untuk sekadar menengok grantangnya di lobi kantor. Jika tak ada yang memainkannya, ia sendiri memainkannya. Atau, jika ada pegawai pada jam istirahat iseng-iseng memainkannya, ia akan senang melihatnya, bahkan ikut membagi ilmu megambel joged.
Maka, tidak heran jika pada masa-masa itu ketemu seseorang naik motor, berpakaian adat, kadang dengan udeng prada seperti penabuh joged yang sedang pentas, dia dipastikan adalah Ketut Jingga. Mungkin ia sedang membawa pesanan grantang di rumah seseorang, mungkin juga grantang itu bakal ditaruh dengan cuma-cuma di lobi sebuah kantor.
***
Saya beberapa kali bertemu Ketut Jingga, terutama di Kantor Bupati atau pada acara-acara seni di Buleleng. Ia memang punya komitmen besar untuk melestarikan kesenian joged bumbung. Di desanya di Sari Mekar, ia juga mengasuh sekaa joged bumbung, selain juga di desa-desa lain di Buleleng dan di luar Buleleng.
Tercatat 33 sekeha seni joged se-Bali telah dibinanya. “Penghargaan sudah banyak, hanya satu penghargaan yang belum diraih, yakni Dharma Kusuma Propinsi Bali. Sudah tiga kali bapak mengajukan,” kata Adya..
Ketika merebak joged porno yang mengundang polemik berkepanjangan, Ketut Jingga termasuk seniman yang marah besar terhadap berkembangnya joged porno, baik di Buleleng maupun di kabupaten lain di Bali. Selain memberi pesan kepada sekaa joged yang dibinanya, ia juga menolak dengan cara terus-menerus memperkenalkan joged asli, sebagaimana pada awalnya diciptakan di Bali Utara.
Kata-kata yang sering ia ucapkan adalah, “Ngegol joged itu ke samping, bukan ke depan angkuk-angkuk!”
Berbagai pengalaman dan penghargaan sudah diterimanya dalam upaya melestarikan Joged Bumbung. Namun, kini sang “pembonceng rindik” ini sudah berpulang. Menurut rencana, jenasah akan di aben pada tanggal 17 Maret 2020 di Setra Runuh, Sukasada. [T]