- Judul : Dongeng Bahagia dari Sebelah Telinga
- Penulis : Gunawan Tri Atmodjo
- Penerbit : DIVA Press
- Tahun Terbit : 2019 (Cetakan Pertama)
- Jumlah Cerpen: 17
- Jumlah Hlm. : 192
____
Apa jadinya bila seseorang menerima kabar bahagia hanya dari sebelah telinganya? Kita sepakati dulu bahwa telinga adalah instrument, maka kata “dari” tepat dalam konteks ini. Meski berita baik, mungkin tidak baik menerimanya dari sebelah telinga saja. Sama dengan membawa hanphone tanpa daya, hanphone hanya menjadi hiasan yang sungguh merepotkan. Tapi, bagaimana bisa kita mendapat kabar dari sebelah telinga sementara kabar biasa kita dapat dari ucapan yang berasal dari mulut? apa tujuan Gunawan Triatmodjo memilih Dongeng Bahagia dari Sebelah Telinga sebagai judul buku?
Saya pikir bukan sebuah cerita pendek yang paling menarik dari kumpulan cerpen terbukukan, tetapi sebagai sebuah judul “Dongeng Bahagia dari sebelah telinga” mampu mewakili isi buku ini secara garis besar.
Apa yang membahagiakan? Secara sederhana, “cinta” lah jawabannya. Siapa yang tidak ingin dicintai atau mencintai? “aku” dalam cerpen “Foto Keluarga” pun rela naik bus bolak-balik meski membuatnya mabuk dengan jarak tempuh berjam-jam demi bertemu keluarga yang dicintainya. Mungkin sebuah hal yang tidak wajar bila seseorang justru marah-marah ketika dicintai atau sebaliknya. Tetapi bagaimana bila benar cinta itu berjalan secara tidak normal seperti halnya kita mendengar kabar gembira dari sebelah telinga?
Kumpulan cerpen yang terdapat dalam buku Dongeng Bahagia dari Sebelah Telinga ini sebagian besar berbicara masalah cinta. Tetapi, jangan berharap bertemu dengan kisah cinta sebagaimana Serial film bersambung pada saluran Tv komersial. Dalam cerpen ini, Gunawan Triatmodjo merajut cerita dengan sangat lihai. Cerita cinta berusaha ditampilkan secara utuh dari berbagai sudut pandang serta kejutan yang menyebabkan pembaca cengar–cengir sendiri.
Cerpen “Dongeng dari Sebelah Telinga” misalnya, bercerita tentang seorang gadis yang tidak memiliki daun telinga kiri namun sangat cantik. Orang-orang yang merayu gadis itu dengan berbuih kabur setelah mengetahui sebelah telinganya tidak ada. Suatu hari, perempuan itu bertemu dengan seseorang yang menerima keadaannya dan justru melamarnya dengan sebuah telinga kiri pinjaman sebagai Mas Kawin. Cerita ini bisa dikatakan sebagai sebuah cerita romantis yang penuh dengan nilai kemanusiaan dan tepat dengan konteks hari ini.
Coba bayangkan, seandainya manusia dilahirkan dengan sebelah telinga saja, pria yang mendekati perempuan tanpa daun telinga kiri itu tidak akan kabur setelah tahu keadaannya. Begitulah kita melihat sesuatu yang asing. Kelompok berbeda adalah tidak normal. Liyan. Maka sikap yang muncul ketika berhadapan dengan sesuatu yang asing adalah sikap diskriminatif. Para pria mendiskriminasi gadis itu dengan sikapnya yang berbalik 180 derajat setelah tahu ia tak punya daun telinga kiri.
Sementara itu, usaha menampilkan keutuhan sudut pandang dalam sebuah fenomena bisa dilihat pada cerpen dengan judul “Pohon Merah di Bandara”, “Dandelion dan Juru Taman”, “Lelaki Tak Bermata dan Anjing Kudisan”, “Buku Harian Kinan”, “Telepon dan Pisau” “Romantika Kereta”, dan “Pulang”. Menampilkan berbagai sudut pandang dilakukan dengan cara menjalankan cerita berdasarkan perspektif satu tokoh, lalu oleh tokoh lain, dan begitu seterusnya.
Bila realita begitu rumitnya untuk diungkapkan secara utuh, barangkali menjadi sebuah tantangan yang terjal dan menarik untuk didekati terlebih melalui cerita pendek. Namun, bila benar hal itu yang dikejar, penulis harus siap berada pada bibir jurang kegagalan, tetapi begitulah hakikat tantangan terjal itu sendiri.
Gaya seperti ini tidak jarang ditemui dalam novel, tetapi penulis cerpen tidak banyak menggunakan bentuk ini. Barangkali mengingat kelemahan seperti berikut: cerpen dituntut sebagai cerita dengan bentuk yang padat, tetapi di sisi lain untuk membuat pembaca menjadi paham, penulis memerlukan deskripsi dan/atau narasi untuk membangun perihal yang ingin dicapai penulis. Hal ini cukup menunjukkan tantangan berat bila memilih teknik bertutur seperti ini.
Beberapa tokoh memang diberi ruang untuk bercerita, semisal dalam cerpen “Pulang”. Dalam cerpen itu tokoh “aku”, “istri”, dan “mantan pacar” mendapat ruangnya masing-masing dalam hal yang berkaitan dengan kisah “aku”. Gunawan Triatmodjo begitu demokratis dalam hal ini. Tetapi sayangnya, hal ini terkesan hanya memperkaya sudut pandang dengan alur yang berkembang sedikit lamban.
Gunawan Triatmodjo sering memberi kejutan pada bagian akhir cerita. Yang paling menarik dengan tokoh sangat kuat dalam cerita ini adalah cerpen berjudul “Sesuatu yang Menggeliat di Balik Pintu”. Cerpen ini menceritakan seorang perempuan aktivis yang diperlakukan buruk oleh suaminya sendiri.
Sebagai seorang aktivis perempuan, tentu saja dia harus menjaga image-nya, dan dari sanalah cerita dimulai, di mana beberapa orang ingin datang ke rumah perempuan itu karena mengetahui masalah rumah tangganya tetapi segera ditolak. Kejutan yang sangat tidak tertebak berhasil disampaikan dengan baik pada akhir cerita.
Dari berbagai cerpen yang dimuat dalam buku ini, bila harus memilih sebuah cerpen yang paling menarik maka dengan lugas akan saya pilih “Sesuatu yang Menggeliat di Balik Pintu” sebab tokoh perempuan dibuat teguh di mata orang, tetapi tidak berdaya di rumah tangganya sendiri. Sementara suaminya dibuat menjadi seorang yang keras dan kasar. Pertemuan kedua tokoh ini merupakan sebuah masalah dan menarik untuk diikuti.
Penulis telah memberi pengalaman yang mampu menempel di kepala saya sehingga kumpulan cerpen yang berjudul Dongeng Bahagia dari Sebelah Telinga patut dibaca oleh, pun seseorang yang sedang menempuh proses menulis.[T]