Tulisan ini bertujuan untuk menampilkan perbandingan (komparasi) data dan analisa sederhana terkait data yang ditampilkan. Komparasi bisa dilakukan dengan menampilkan objek yang sama tetapi dikomparasi dengan data tahun yang berbeda. Di sisi yang lain, komparasi bisa dilakukan dengan menggunakan data tahun yang sama tetapi dikomparasi dengan wilayah berbeda.
Sebelum mulai menampilkan data, saya ingin menginformasikan 1) Badan Pusat Statistik (BPS), adalah lembaga resmi negara yang bertugas untuk merilis data ekonomi, sosial, jumlah penduduk dan sejenisnya, dan 2) untuk data kemiskinan, BPS di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun tingkat pusat melakukan rilis Berita Resmi Statistik (BRS) setahun 2 kali. BRS kemiskinan dilakukan pada bulan Maret dan bulan September setiap tahunnya.
Tulisan ini diawali dengan menampilkan potret kemiskinan yang dirilis oleh BPS Provinsi Bali. BRS kemiskinan menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Bali pada Maret 2019 sekitar 163,85 ribu orang (3,79 persen). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada September 2018 sebanyak 168,34 ribu orang, maka selama enam bulan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sekitar 4,49 ribu jiwa.
Berita ini cukup menggembirakan karena jika dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, ternyata selama kurun waktu tersebut di daerah perdesaan (desa) terjadi penurunan angka kemiskinan sebanyak 4,02 ribu orang, sedangkan di daerah perkotaan (kota) hanya turun sebanyak 0,47 ribu orang.
Artinya, penurunan angka kemiskinan yang terjadi di desa jauh lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang terjadi di kota. Ini mengindikasikan bahwa program yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh kepala desa beserta warga desa dapat dinikmati dan dirasakan langsung oleh warga desa setempat. Ini bukti bahwa konsep desa membangun Indonesia berkontribusi nyata terhadap penurunan angka kemiskinan di desa.
Rabu, 15 Januari 2020, Kepala BPS Provinsi Bali, Adi Nugroho didampingi Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dw Made Indra mengadakan konferensi pers dan menjelaskan tentang profil kemiskinan di Bali. Berdasarkan data per September 2019, jumlah penduduk miskin diperkirakan sebanyak 156,91 ribu orang. Jumlah ini mengalami penurunan sekitar 6,9 ribu orang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2019. Persentase penduduk miskin bulan September sekitar 3,61 persen merupakan persentase terendah yang dicapai oleh Provinsi Bali sejak Maret 2015 (5 tahun terakhir).
Sebagai bagian dari masyarakat Bali, saya sangat bahagia membaca berita tersebut. Angka tersebut mencerminkan hasil kerja keras dan merupakan prestasi tersendiri bagi kepala daerah yang ada di Bali. Tentu ini berita menggembirakan baik bagi masyarakat luas, bagi pemerintah daerah tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota.
Benarkah berita ini menggembirakan? Mari melakukan analisa sederhana terhadap capaian angka tersebut. Seperti diketahui bahwa penduduk Indonesia termasuk Bali, ada yang tinggal di kota dan ada pula yang tinggal di desa. Data BPS Bali menyebutkan bahwa, jumlah penduduk miskin yang tinggal di kota pada bulan Maret 2019 diperkirakan sebanyak 97,98 ribu orang dan pada bulan September diperkirakan turun menjadi sekitar 91,12 ribu orang.
Artinya selama periode Maret-September 2019, jumlah penduduk miskin yang tinggal di kota mengalami penurunan sekitar 6,86 ribu orang. Di desa, jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2019 tercatat sekitar 65,87 ribu orang dan pada bulan September tercatat sekitar 65,79 ribu orang. Artinya, selama periode Maret-September 2019 jumlah penduduk miskin yang tinggal di desa diperkirakan mengalami penurunan sebanyak 0,08 ribu orang. Jika diperjelas lagi dengan menggunakan pendekatan matematika (dalam ribuan, artinya angka dibelakang koma dikalikan dengan seribu) maka akan diperoleh angka 80 0rang (atau sekitar 80 orang).
Dari data yang telah disajikan sampai dengan bulan September 2019 dapat diambil simpulan sederhana bahwa 1) jumlah penduduk miskin di Provinsi Bali lebih banyak bertempat tinggal di kota dibandingkan dengan yang tinggal di desa dan 2) Bulan September 2018-Maret 2019 penurunan angka kemiskinan lebih besar terjadi di desa dibandingkan dengan yang terjadi di kota. Sedangkan bulan Maret 2019-September 2019, penurunan angka kemiskinan lebih banyak terjadi di kota (6,86 ribu) dibandingkan dengan yang terjadi di desa (80 orang).
Jika dibandingkan dengan kondisi nasional maka kondisi kemiskinan di Bali relatif berbeda. Perbedaanya adalah 1) Secara nasional, jumlah penduduk miskin selalu lebih banyak bermukim di desa. Sampai September 2019, jumlah penduduk miskin Indonesia lebih banyak tinggal di desa (14,93 juta orang) dibandingkan dengan yang tinggal di kota (9,86 juta orang), dan 2) Penurunan angka kemiskinan yang terjadi di desa (0,22 juta orang) jauh lebih besar dibandingkan penurunan yang terjadi di kota (0,13 juta orang).
Secara nasional, penurunan angka kemiskinan di desa selalu lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan di kota. Capaian ini konsisten terjadi, sebagai bukti periode September 2018-Maret 2019 dan periode Maret 2019-September 2019 tetap penurunan angka kemiskinan lebih besar terjadi di desa dibandingkan dengan yang terjadi di kota. Ini adalah sebuah pencapaian positif secara nasional. Capaian ini berbeda dengan yang terjadi di Bali. Penurunan angka kemiskinan di desa lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan penurunan kemiskinan yang terjadi di kota (6 bulan terakhir).
Sebenarnya apa makna dibalik angka kemiskinan yang yang terjadi di Bali? Apakah angka capaian ini menggembirakan ataukah sebaliknya? Kenapa penurunan angka kemiskinan di desa jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan yang terjadi di kota? Wajarkah hal itu terjadi? Ada apa dengan desa? Ada apa dengan kepala desa? Apakah semangat kepala desa mulai turun? Apakah kepala desa terlalu sibuk menghadiri undangan perkawinan warga sehingga lupa memikirkan permasalahan yang terjadi? Seberapa pentingkah dana desa berperan dalam pengurangan angka kemiskinan?
Apakah Para bupati/walikota/Gubernur mengetahui kondisi riil seperti ini? Mungkin itulah pertanyaan sederhana yang layak dipertanyakan. Tentu pertanyaan ini relevan diajukan jika dikaitkan dengan program nawa cita ke-3 Pak Jokowi-Jusuf Kalla yakni membangun Indonesia dari desa.
Semoga data komparasi yang ditampilkan ini dapat memantik semangat para pemerhati/pejuang desa terutama anak muda untuk berkontribusi nyata dalam pembangunan desa.
Saya mengajak anak muda untuk tidak menjadi “turis pembangunan desa” artinya anak muda yang hanya mengetahui desa dari permukaan saja. Melihat desa hanya dari baliho APBDes saja atau hanya mengetahui kepala desanya saja. Caranya, mari memulai dengan data dan fakta. Data sebagai peta menuju perbaikan. Data mengarahkan langkah kaki melangkah ke jalan yang tepat.
Mari turun ke bawah untuk melihat kondisi yang sebenarnya terjadi di desa. Desa adalah masa depan Bali dan masa depan anak cucu kita. Saatnya membangun desa dengan data. [T]