Baca juga:
- Melawat ke Flores [1] : Perjalanan Dimulai Dari Labuan Bajo
- Melawat ke Flores [2]: Mengarungi Perairan Komodo
- Melawat ke Flores [3] : Masih di Perairan Komodo
- Melawat ke Flores [4]: Enam Jam di Atas Motor
—-
DALAM lawatan ke Flores, saya memang berencana akan mengunjungi Wae Rebo. Sebuah kampung tradisional di Desa Satar Senda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai.
Mulai dari Denge
Siang itu, saya bertemu dengan Rhapael Safiro. Lelaki 25 tahun ini berasal dari Denge. Kampung terakhir yang bisa diakses kendaraan bermotor sebelum mendaki ke Wae Rebo.
Ia berprofesi sebagai tukang ojek. Yang naik turun dari Denge ke ujung aspal terakhir, sebelum setapak ke Wae Rebo. Kadang ia menjadi pemandu juga.
Jika kita berkunjung ke kampung tradisional ini, kita diwajibkan mengajak pemandu. Atau orang setempat yang bisa bahasa Manggarai. Selain menjadi penunjuk jalan, juga untuk menjadi penerjemah saat melakukan upacara nantinya.
Leon yang saya ajak akhirnya memastikan diri untuk ikut serta. Mendaki ke Wae Rebo, menyusuri setapak di tengah hutan. Awalnya ia ragu. Karena melihat cuaca yang tak begitu baik. Mendung, gerimis, sepi, dan di dalam hutan.
Bersiap
Tengah hari. Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Setelah istirahat beberapa menit, saya mulai bergerak. Menyusuri setapak tanah yang becek dan berlumpur. Ditemani oleh Leon dan Raphael.
Hujan selalu turun seminggu terakhir ini, kata Raphael. Begitu juga dengan kabut, selepas siang selalu turun dan tebal. Pemandangan alam tak pernah tampak jelas. Hutan menjadi sedikit lebih garang.
Ujung aspal Kampung Denge berlokasi di ketinggian 800 meter dari permukaan laut (mdpl). Sementara Wae Rebo terletak di ketinggian sekitar 1.150 mdpl. Ditempuh sejauh empat sampai lima kilometer. Elevasinya sedang. Di atas kertas, ini artinya tak terlalu ekstrem. Tapi kita lihat saja.
Saya memang sudah menyiapkan beberapa peralatan untuk kondisi-kondisi di pedalaman seperti ini. Jas hujan, tali, senter, korek api, pisau lipat, dan lain-lain. Leon saya minta untuk membawa serta jas hujannya. Jangan sampai ia basah kehujanan dalam perjalanan. Apalagi ia tak bawa pakaian ganti.
Mulai Mendaki
Jalan setapak ke Wae Rebo ini sebenarnya cukup jelas. Jika biasa mendaki gunung dan membaca peta, maka bisa dipastikan jalurnya cukup aman. Dalam artian kemungkinan tersesat kecil.
Yang berbahaya adalah kondisi tanah yang labil. Apalagi dalam kondisi hujan. Membuatnya rawan longsor. Tadi waktu masih dalam perjalanan menuju Denge, saya banyak melihat papan-papan pengumuman dari BNPB tentang bahaya longsor.
Suasana perjalanan menuju Wae Rebo ini mengingatkan saya akan Ciwidey di Bandung. Dulu, saya sering blusukan di hutan-hutannya. Hutan di Wae Rebo ini sedikit mirip dengan Ciwidey.
Pepohononannya sangat rapat. Aliran air melimpah. Lembab. Banyak pacet. Banyak lumut. Hanya saja pepohonan besar tak banyak di hutan Wae Rebo ini. Sebagian besar pepohonan berukuran sedang.
Kopi Wae Rebo
Saat menjelang tiba di ketinggian seribuan meter, jalanan tak banyak mendaki lagi. Hampir semuanya sekarang melipir di pinggang gunung. Hutan pun berubah menjadi perkebunan kopi.
Kita sudah memasuki kawasan Desa Wae Rebo, kata Rhapael sambil mengunyah biji-biji kopi kemerahan. Sepertinya ia lapar.
Wae Rebo adalah salah satu penghasil kopi terbaik di Indonesia. Lokasinya yang berketinggian seribuan meter sangat cocok untuk tanaman kopi. Dua spesies kopi utama arabika dan robusta tumbuh baik di sini.
Selamat Datang
Akhirnya saya tiba di Wae Rebo. Bangunan pertama yang harus saya kunjungi adalah Rumah Kasih Ibu. Ada semacam alat musik pukul dari bambu. Mirip kentongan. Sesuai adat setempat, saya harus membunyikannya. Pertanda warga Wae Rebo akan kedatangan tamu.
Dari Rumah Kasih Ibu, jalan kemudian menurun. Menuju pemukiman utama. Sampai tibalah saya di bentangan dataran hijau yang diselimuti kabut. Tak ada pemandangan latar pegunungan yang pernah saya lihat di gambar-gambar di internet. Kabut benar-benar menutup pemandangan di sekitar saya.
Rumah-rumah kerucut yang disebut mbaru niang berdiri agak di pinggir. Di tengah, ada bebatuan yang disusun sedemikian rupa berbentuk altar. Namanya compang. Tempat pemujaan yang disucikan oleh orang Wae Rebo. Sebuah bambu dengan hiasan daun enau terpancang di tengahnya. Mirip seperti sanggah cukcuk di Bali.
Rhapael mengajak saya dan Leon untuk masuk ke mbaru niang utama. Ketua adat menyambut kami. Lalu mengadakan upacara kecil. Wae Lu’u namanya. Ketua adat merapalkan mantra-mantra dengan bahasa setempat. Berdoa kepada leluhur dan sambutan kepada saya yang baru datang.
Maka, menjelang sore itu saya resmi menjadi warga Wae Rebo. Dipersilahkan untuk berbaur sebagaimana adanya di sana.
Hujan Menyambut
Baru saja selesai mengikuti upacara selamat datang, gerimis yang sedari tadi turun berubah menjadi hujan yang deras. Kabut menutupi sebagian besar pemandangan di luar.
Saya buru-buru masuk ke mbaru niang yang khusus diperuntukkan bagi tamu. Di dalamnya, sudah ada satu kelompok pengunjung yang sedang beristirahat. Saya pun berbaur. Patrice Siusandi, warga asli Wae Rebo menyambut hangat. Menyuguhkan kopi dan makan seadanya.
Saya sudah lapar, kata Raphael berbisik pada saya. Sama. Kami memang belum makan siang. Leon hanya nyengir ketika melihat nasi putih dengan sayur labu dan telur dadar disajikan. Sementara udara begitu dingin. Rasanya tentu nikmat.
Walaupun statusnya adalah warga Denge, Rhapael ternyata masih memiliki hubungan kekerabatan dengan warga di Wae Rebo. Ialah yang menjadi jembatan bagi saya dan warga asli di kampung tradisional ini. Maka tak heran jika ia ikut bantu-bantu di dapur.
Rumah Adat Mbaru Niang
Usai makan, saya melihat suasana di dalam mbaru niang ini. Sambil menikmati secangkir kopi dan potongan-potongan kecil ubi goreng.
Mbaru niang yang berbentuk kerucut ini berkonstruksikan bambu dan kayu. Beratapkan daun lontar yang dilapisi ijuk. Memiliki lima lantai. Tinggi totalnya sekitar 15 meter.
Tingkat pertama atau yang paling bawah disebut lutur. Melingkar dan paling luas. Digunakan sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Di atasnya atau tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo. Berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari.
Lalu tingkat ketiga adalah lentar untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan. Tingkat keempat lempa rae disediakan untuk stok pangan apabila terjadi kekeringan. Dan tingkat kelima atau yang paling atas disebut hekang kode, tempat sesajian persembahan pada leluhur.
Rumah adat ini dinilai sangat langka karena hanya terdapat di Wae Rebo saja. Yang terpencil di atas pegunungan.
Usaha untuk melestarikan mbaru niang telah mendapatkan penghargaan tertinggi kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO pada tahun 2012 lalu.
Kini Wae Rebo perlahan-lahan mulai mengembangkan eko wisata berdasarkan keunikannya ini. Di samping mata pencaharian sebagian besar warganya sebagai petani kopi.
Berasal dari Tanah Minang
Dulu, Wae Rebo tak terkenal seperti sekarang ini. Kata Rhapael, seorang warga asing berkebangsaan Belanda yang diingatnya dulu sering ke sini. Yang tertarik dengan kehidupan pedalaman di Flores.
Hal lain yang saya dengar adalah kisah bagaimana Wae Rebo ini ada. Konon nenek moyangnya yang bernama Ampu Maro merantau dari Tanah Minang di Sumatera. Yang sebelum sampai di Flores, pernah menyinggahi Makassar sampai akhirnya tiba di Labuan Bajo.
Dari Labuan Bajo, cerita perjalanan Ampu Maro ini masih panjang sampai ia mendirikan kampung di sebuah mata air yang dinamai Wae Rebo. Salah satunya adalah ia sempat akan diangkat menjadi ketua adat di Kampung Todo, kampung yang menjadi pusat Kerajaan Manggarai di masa silam. Tempat di mana peradaban Minang bermula di daratan Flores.
Wae Rebo Menjadi Tempat Eko Wisata
Di luar, hujan masih turun. Masih deras. Ada beberapa pengunjung yang berdatangan di tengah hujan. Suasana hujan dan dingin ini menggoda saya untuk meringkuk di dalam saja.
Saya lebih memilih membungkus badan dengan selimut di atas tikar. Enggan untuk berbasah-basahan di luar. Sambil melanjutkan minum kopi. Juga menulis catatan perjalanan saya sebelumnya, di handphone yang tak ada sinyalnya.
Sebagai kampung tradisional yang sedang mengembangkan eko wisata, Wae Rebo telah berbenah untuk menyambut tamunya. Tikar dan selimut untuk mereka yang datang memang telah disiapkan. Begitu juga dengan makanan dan minuman yang disuguhkan. Ada harga yang harus dibayar.
Kata seorang teman, inilah imbas pariwisata. Kapital sudah menyentuh kampung tradisional ini. Dikenal dan dijadikan kegiatan sehari-hari oleh warga asli. Dulu, hanya pertanian yang menjadi pekerjaan warga Wae Rebo. Tapi kini, kunjungan wisata ikut mengambil bagian. Bahkan diharapkan.
Pagi di Wae Rebo
Malam pun berlalu. Tidur saya cukup nyenyak. Pagi-pagi benar saya sudah bangun. Keluar rumah dan melihat suasana. Hari belum terang benar. Sesekali angin berhembus agak kencang. Menyapu kabut yang menyelimuti Wae Rebo.
Saya naik agak ke atas. Melihat sembilan rumah adat di Wae Rebo ini, seperti yang diceritakan oleh Patrice semalam. Satu ada di atas sebagai puskesmas dan perpustakaan. Delapan sisanya di bawah. Dari delapan ini, satu sebagai tempat menerima tamu. Dan tujuh sisanya ditinggali warga setempat.
Rumah yang ditinggali warga agak berbeda dengan yang ditinggali tamu. Yang ditinggali tamu di dalamnya lapang terbuka. Lebih rapi. Sedangkan yang ditinggali warga ada tungku perapian di dalamnya. Tungkunya berada di tengah rumah. Menjadi tempat memasak sekaligus tempat berkumpul anggota keluarga. Jika memasak, ruangan menjadi pengab karena banyak asap. Begitulah.
Anak-anak Wae Rebo tersenyum malu-malu. Mereka sedang libur sekolah. Di mana mereka bersekolah? Mereka bilang di Denge. Setiap akhir pekan, mereka pulang ke Wae Rebo. Jika waktunya bersekolah, mereka tinggal di rumah-rumah kerabatnya di Kampung Kombo.
Kampung Kombo adalah kampung yang dihuni oleh warga Wae Rebo juga. Lokasinya yang tak jauh dari Denge. Pertambahan jumlah warga di Wae Rebo menyebabkan Kampung Kombo ini ada. Hanya beberapa warga saja yang menetap di Wae Rebo, menghuni tujuh mbaru niang yang ada.
Di Rumah Mama Veronika
Saya berjalan berkeliling. Di salah satu rumah, saya melihat ibu-ibu. Namanya Mama Veronika. Ia sedang menumbuk kopi. Melepaskan kulit luar kopi dari bijinya.
Ia tersenyum pada saya yang datang menghampiri. Bibirnya kemerahan. Giginya tersungging memperlihatkan pinang yang sedang dikunyahnya.
Inilah kami. Sehari-hari mengolah kopi, katanya. Hanya kopi yang sudah merah yang dipanen. Supaya kopi rasanya enak. Direndam semalam. Lalu ditumbuk seperti ini. Kemudian dijemur atau diangin-anginkan.
Mendengar cerita itu, kopi yang diolahnya pasti berkualitas dan bercita rasa khas. Orang Wae Rebo terkenal kuat minum kopi. Dalam sehari, mereka biasa minum sampai sepuluh gelas.
Ke mana kopi-kopi ini dibawa selanjutnya? Biasa dijual dalam bentuk biji. Atau dalam bentuk bubuk juga. Ke Pasar Kombo di Kampung Denge. Atau lebih jauh lagi ke Dintor. Di bawah, di pertigaan jalan yang akan ke Ruteng itu.
Selain kopi, warga juga menghasilkan madu. Hutan di sekitar Wae Rebo banyak dihuni lebah yang bersarang dalam tanah. Awalnya dipanen untuk kebutuhan sendiri, sampai akhirnya dijual kepada pengunjung atau ke pasar di Denge juga.
Kembali ke Denge
Saya duduk di batu depan mbaru niang. Menghirup nafas dalam-dalam. Udara pagi itu mengirim aroma tanah basah. Juga aroma biji-biji kopi yang baru saja ditumbuk oleh Mama Veronika. Udara dingin menembus sela-sela pakaian.
Banyak kepingan yang menyusun mosaik Wae Rebo : mata air, hutan tropis, kopi, madu, tradisi, arsitektur bangunan, sistem kekerabatan, kepercayaan, dan perkembangan zaman.
Saya memanggil Leon dan Rhapael untuk bersiap. Usai sarapan, kami akan kembali turun ke Denge. Tak lupa, saya menyeruput segelas kopi lagi.
Berikutnya, sambil memberikan salam pada beberapa warga, saya pun pamit meninggalkan Wae Rebo. [T]
Manggarai, Juni 2019