Sebelum digital, lontar diselamatkan dengan cara membacanya. Makin sering dibaca, makin sering lontar diusap-usap. Makin sering diusap, makin awet lontar itu. Bahkan selain mengusap-usap, lontar juga bisa diperjelas dengan menambahkan ludah saat mengusapnya. Jika belakangan ditemukan lontar yang tidak awet lagi, artinya lontar itu sudah tidak dibaca lagi.
Mengapa tidak dibaca? Karena sulit sekarang membaca lontar. Bukan karena tulisannya yang tidak jelas, tapi karena buta aksara. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh kakawin Dharma Putus, bahwa penglihatan bisa hilang tapi bukan karena buta. Selain kesulitan aksara, juga kesulitan bahasa. Lebih parah dari itu, adalah kesulitan menumbuhkan keinginan membaca. Jika keinginan membaca sudah tumbuh, masalah lain akan muncul. Di antaranya adalah permasalahan akses pada lontar.
Masalah akses ini, menurut pengamatan saya dalam kasus Bali, terjadi karena kata tenget. Kata ini lebih seram dari gambaran Leak yang dituturkan orang-orang pada saya. Karena tenget, tidak sembarang orang boleh membacanya di sembarang waktu dan tempat. Tapi hal itu bukannya tanpa solusi, sebab dalam banyak kasus, kondisi seperti itu diselesaikan dengan ritual dan etika. Hal ini terbukti dari penelusuran beberapa kawan-kawan yang terhimpun dalam Penyuluh Bahasa Bali, lontar yang awalnya tenget, kini bisa dielus-elus, ditiup-tiup, diminyaki, dipotret, lalu disimpan kembali. Tidak ada yang salah dengan kata tenget dan tidak tenget. Saya pribadi percaya, bahwa kata tenget pada batas tertentu telah berhasil menjaga isi lontar dari hal lain selain ngetnget.
Kenyataan bahwa imbas tenget itu menjadi salah satu penyebab rusaknya beberapa lontar tidak bisa ditampik. Tapi bukankah tengetitu bisa dilenyapkan jika orang memantaskan diri untuk menembus ketengetan? Bukankah kini orang-orang yang sudah banyak belajar, bisa mengakses lontar-lontar itu dengan leluasa setelah melewati ritual dan etika? Jadi, saya rasa ada sesuatu yang belum terlihat yang menjadi sebab musabab rusaknya lontar selain ketengetan yang diwarisi. Mata saya tidak bisa ditipu dengan kata tenget.
Apakah tengethanya ada di Bali? Tidak. Tenget juga ada di luar negeri yang bahkan dalam kamusnya tidak ada kata tenget dan bermakna sedemikian rupa diwarisi di Bali. Dalam sebuah studi, Palguna [1999: 266] menyampaikan “karena sistem keamanannya, tidak begitu saja lontar itu bisa dilihat-lihat”. Demikian dicatat oleh Palguna, saat ada orang yang datang ke Belanda dan meminta untuk diantar melihat-lihat lontar. Saya tidak tahu, bagaimana cara lontar-lontar itu disimpan dan diamankan dengan sebuah sistem. Yang saya tahu, di luar sana lontar juga dilindungi dan tidak mudah diakses. Hanya orang yang mengerti sistem yang boleh mengaksesnya. Paling tidak dia tahu kelengkapan apa saja yang diperlukan dan bagaimana caranya. Kelengkapan bagi saya adalah ritual, cara adalah etika. Sampai disana, saya mendapat kesimpulan yang serupa dengan yang terjadi di Bali. Tenget bagi saya adalah sistem pengamanan tradisional.
Ada beberapa naskah Nusantara [ada dari Bali] di luar negeri dan sampai saat ini saya pribadi belum bisa mengaksesnya. Saya ketahui keberadaan naskah-naskah itu dari membaca beberapa sumber katalog yang kebetulan saya dapatkan. Di antaranya adalah katalog:
- Indonesian Manuscripts in Great Britain. Katalog ini terbit pertama kali pada tahun 1977 dan 1982. Pada terbitan pertama, ada dua nama di dalamnya yakni M.C. Ricklefs dan P. Voorhoeve. Cetakan selanjutnya, berbahasa Indonesia diterbitkan pertama kali pada tahun 2014 dengan tambahan nama Annabel Teh Gallop. Dalam katalog ini, kita diberikan informasi keberadaan naskah Jawa dan Bali yang diistilahkan sebagai Javano-Balinese [Middle Javanese] MSS. Dari katalog ini, didapat informasi bahwa ada satu naskah Tuturdi The Bristol City Museum And Art Gallery. Satu naskah di Cambridge University Library diberi nama A Panji story. Ada lima di John Rylands University Library, Manchester.
- Literatur of Java: catalogue raisonné of Javanese manuscripts in the library of the University of Leiden and other public collections in the Netherlands. Katalog ini terbit sebanyak empat volume. Volume I terbit tahun 1967, isinya adalah sinopsis dari teks Jawa [Synopsis of Javanese Literature]. Volume II terbit tahun 1968, isinya berupa daftar deskripsi dari naskah Jawa [Descriptive List of Javanese Manuscripts]. Volume III terbit tahun 1970, isinya tentangIllustrations and Facsimiles of Manuscripts, Maps, Addenda and a General Index of Names and Subjects. Volume IV terbit tahun 1980, isinya Supplement. Khusus untuk Volume IV, saya belum pernah melihat isinya, jadi saya belum mengerti apa yang dimaksud dengan Supplement. Pada terbitan Volume I pun, keterangan yang diberikan hanya “The work is complete in three volumes”. Berpijak pada kalimat itu, saya sungguh mengalami jalan buntu untuk mendapatkan penjelasan tantang Volume IV. Dari Volume I-III, kita bisa melihat daftar naskah Jawa yang menjadi koleksi perpustakaan Universitas Leiden dan juga koleksi Publik di Belanda. Meskipun judulnya adalah Javanese Literature, tapi di dalamnya terdapat penjelasan tentang naskah-naskah yang tidak hanya berasal dari Jawa. Penjelasan Theodore G. Th. Pigeud terhadap kasus ini adalah “In several cases it is difficult to make a distinction between Balinese texts on the one hand and Javanese-Balinese on the other, because since many centuries the literary idiom in Bali has been influenced by Javanese culture [1968: 6]. Itu sebabnya, Pigeud memutuskan “As a rule in the present book all Javanese texts from Bali are registered as Javanese-Balinese”. Tidak hanya itu, Pigeud juga menyatakan “Only texts wholly written in an idiom showing indubitable Balinese characteristics are left out of the present book”. Berdasarkan keterangan itu, kita tahu bahwa Pigeud melakukan klasifikasi yang ketat, dan atas keketatan itu pula, ia menyatakan ada naskah yang ‘left out of the present book’. Informasi yang sangat penting bisa kita dapatkan dari keterangan itu. Pertama, Pigeud menggolongkan teks-teks dari Bali dengan Javanese-Balinese. Kedua, Pigeud ‘mengeluarkan’ teks-teks yang dengan pasti menunjukkan karakteristik Bali dari katalognya. Apakah yang dimaksud Pigeud dengan ‘Balinese characteristics’?, saya juga belum bisa memastikannya. Bagi saya, yang terpenting untuk saat ini di suatu tempat di negeri Belanda, naskah-naskah yang berasal dari Bali sedang disimpan.
Mengapa ada lontar di luar negeri? Desertasi Ida Bagus Made Dharma Palguna berjudul Dharma Sunya: Memuja dan Meneliti Siwa [1999] bisa menjadi rujukan yang sangat penting. Kenapa penting? Karena di dalamnya terdapat penjelasan mengapa ada lontar di luar negeri. Salah satu bagian dari Desertasi itu akan saya ringkas seperlunya sebagai berikut.
Dalam usahanya untuk melacak teks Dharma Sunya, Palguna memulainya dengan membuka-buka katalog. Katalog yang dibuka adalah Pigeud [1967, 68, 70, 80, 85], Ricklefs dan Voorhoeve [1977], Daftar Naskah KBG [1933], Daftar Naskah Perpustakaan Nasional Jakarta, Daftar Naskah Gedong Kirtya, Bundel Daftar Naskah Proyek Tik Universitas Leiden. Hasil dari membuka-buka katalog, Dharma Sunya ditemukan tersimpan di India Office Library di London, Rijksuniversiteit Bibliotheek di Leiden, Perpustakaan Nasional di Jakarta, Staatbibliotheek di Berlin, Gedong Kirtya di Singaraja dan Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali di Denpasar.
Tidak sampai disana, pelacakan Dharma Sunya masih berlanjut, dan Palguna menyebutkan ada hubungan langsung antara naskah Dharma Sunya dengan Penyerbuan. Keraton Yogyakarta diserbu pada tahun 1812. Arsitek penyerbuan itu adalah Colin Mackenzie, seorang periwira yang gemar mengumpulkan barang antik. Hasil dari kegemarannya, berhasil mengumpulkan lontar dan dijual kepadaEnglish East India Company, berapa jumlah dan harganya tidak diketahui. Yang diketahui, lontar-lontar itu diangkut lewat laut sampai ke negeri Britania. Menurut Palguna berdasarkan informasi dari katalog Ricklefs dan Voorhoeve, lontar itu yang kemudian menjadi koleksi India Office Library.
Peristiwa penyerbuan yang lain terjadi di Lombok. Lombok diserang pada tahun 1894 oleh pemerintah kolonial Belanda. Ratusan lontar dirampas dalam penyerbuan itu. Brandes yang bertugas menjadi penjaga menuskrip juga terlibat. Kita tahu bersama, nama Brandes sering disebut-sebut dalam pembahasan mengenai naskah Kakawin Nagarakertagama. Lontar hasil rampasan itu disimpan di Batavia, lalu dikirim ke Leiden pada tahun 1906 dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Di Bali, penjelajahan untuk mengumpulkan lontar dimulai pada tahun 1846. Ahli Sanskerta bernama Friederich yang ditugaskan melakukan penjelajahan itu berdasar hasil rapat direksi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Lontar hasil penjelajahan itu diangkut dengan kapal perang ke Batavia. Pemeriksaan isi lontar dan pendaftarannya, dilakukan oleh beberapa orang Bali. Mereka dibawa ke Batavia pada tahun 1866. Nama-namanya: Ida Ketut Anom, Ida Ketut Bagus, dan Ida Made Buleleng. Selain tiga orang itu, juga ada tiga nama lain yakni: Ida Kompyang, I Ranta, dan I Lempog. Semua orang itu berasal dari Buleleng. Lontar-lontar yang telah didaftar itu sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Menurut catatan Palguna [1999: 275], banyak koleksi lontar telah terkumpul, terutama dari Puri Denpasar.
Van der Tuuk adalah ahli bahasa yang dikirim ke Bali sebagai misionaris. Dia mengumpulkan banyak lontar dan memesan salinannya. Lontar koleksi Van der Tuuk berpindah tangan menjadi koleksi Universitas Leiden [Palguna, 1999: 279]. Sebelum dibawa ke Belanda, lontar-lontar itu dibawa ke Batavia. Palguna menyebutkan sebagian dari koleksi Van der Tuuk konon asli.
Keterangan yang diberikan oleh Palguna [1999] menjelaskan mengapa ada lontar di luar negeri. Bagi saya tidak ada masalah dengan itu. Perpindahan lontar semacam itu biasa terjadi, sebagaimana yang dicatat oleh Palguna, banyak lontar yang berpindah tempat dengan berbagai cara. Salah satunya melalui jual-beli sebagaimana dilakukan Colin Mackenzie yang menjual naskah hasil penyerbuannya kepada English East India Company. Kenyataannya, penjualan itu tidak hanya dilakukan oleh ‘orang luar’ tapi juga ‘orang dalam’ [Palguna, 1999: 294—295]. Kita sama-sama tahu, apa yang dimaksud dengan orang luar dan orang dalam. Sebagaimana kebanyakan proses penjualan lontar, biarkan itu menjadi rahasia yang tetap umum.
Ketertarikan terhadap lontar kini bukannya surut, malah semakin deras. Ketertarikan itu diwujudkan dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan digitalisasi. Sepengetahuan saya, ada beberapa digitalisasi yang pernah dilakukan. Informasi perihal digitalisasi saya dapatkan dari berbagai sumber. Beberapa di antaranya:
- Pemerintah Provinsi Bali, dalam hal ini Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali pada tahun 2011-2012. Digitalisasi tersebut terselenggara atas kerjasama Pusat Dokumentasi dengan Archieve Foundation. Dari hasil kerjasama itu, 1.600 cakep lontar berhasil didigitalisasi. Hasilnya dapat dilihat pada halaman https://archive.org/.
- Menurut berita, Universitas Udayana pada tahun anggaran 2013 akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 150 juta untuk proses digitalisasi [https://tekno.kompas.com/read/2012/11/29/14581717/universitas.udayana.bertekad.kawal.lontar.kuno]. Konon, Universitas Udayana memiliki koleksi lontar sebanyak 950 cakep. Apakah semua koleksi itu telah didigitalisasi? Saya kekurangan data untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi berdasarkan penelusuran singkat, saya mendapatkan informasi sebanyak 1000 lembar lontar telah berhasil didigitalisasi pada tahun 2016 [http://www.balisaja.com/2016/09/selamatkan-lontar-melalui-digitalisasi.html]. Menurut keterangan dalam sumber yang sama, konon ada delapan cakep lontar yang telah berhasil didigitalisasi, di antaranya: Usana Bali miwah Jawa, Babad Brahmana Kemenuh, Pariagem Taman Bali, Kidung Tantri Pisacarana, Kakawin Ramayana, Sarasamuscaya, Tenung Sarwa Gering dan Pawacakan. Saya berasumsi, dari delapan naskah inilah muncul hitungan seribu lembar lontar. Setelah tahun 2016, saya belum mendapat informasi apa-apa lagi tentang digitalisasi naskah Universitas Udayana. Bagi orang atau masyarakat yang ingin mengakses hasil digitalisasi ini, konon tetap mesti mengikuti ketentuan yang ditetapkan.
- Sebuah video berdurasi sekitar 3 menit yang diunggah pada tanggal 13 Februari 2019 memperlihatkan beberapa orang sedang melakukan konservasi dan digitalisasi lontar [https://www.youtube.com/watch?v=r8pK_QU7yXw]. Video tersebut diunggah oleh TRIBUNBALI. Pada bagian bawah video, tertulis keterangan “Proses digitalisasi lontar di Banjat Alangkajeng, Pemecutan, Denpasar tepatnya di Rumah I Made Kajeng, Sebanyak 50 cakep lebih lontar didigitalisasi kerjasama UIN Syarif Hidayatulah, Penyuluh Bahasa Bali, Perpusnas, Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, dan Hamburg University, Lontar tertua berusia 241 tahun”. Meskipun kualitas video kurang bagus, tapi saya masih bisa mengenali beberapa wajah yang terekam dalam video itu dan sedikit yakin dengan pemilik suara dari orang yang merekamnya.
Penelusuran lebih lanjut, memberi saya informasi tentang digitalisasi dalam video itu. Menurut berita [https://www.nusabali.com/berita/46983/temukan-lontar-berusia-241-tahun], kegiatan itu adalah program digitalisasi naskah bernama DREAMSEA [Digital Repository Of Endengered and Affected Manuscripts in Southeast Asia]. Program ini berada di bawah naungan Centre for the Study of Manuscript Cultures [CSMC]. Lontar yang konon berusia 241 tahun ketika itu adalah Kakawin Arjuna Wiwaha. Kepastian itu turut diberitakan bersama dengan keterangan penyalinnya yang bernama Ida Pedanda Ketut Paketan yang berasal dari Klungkung. Bagaimana bisa lontar itu ada di Denpasar? Itu permasalahan lain lagi yang perlu ditelusuri. Akses terhadap naskah hasil digitalisasi ini belum saya temukan link-nya. Barangkali laman https://dreamsea.co/preserving-the-wealth-and-the-variety-of-balinese-ancient-society/bisa ditelusuri. Di dalamnya terdapat pengakuan “Because of DREAMSEA, the diverse information from these manuscripts will be accessible to the public through its repository that will contain hundreds of thousands of images from manuscripts from Southeast Asia. The program will continue until 2022 and is a cooperation between PPIM UIN Jakarta and CSMC Hamburg supported by Arcadia in London”. Beberapa hasil digitalisasi memang bisa dicek pada halaman https://www.hmmlcloud.org/dreamsea/manuscripts.php. Sayangnya, saya belum berhasil menemukan naskah Arjuna Wiwaha yang tahun ini akan merayakan ulang tahun ke 242. Barangkali saya harus menunggu dulu.
- British Library, melakukan program digitalisasi terhadap naskah koleksi Keraton Yogyakarta. Peluncuran hasil digitalisasi ini dilakukan di British Library pada tanggal 20 Maret 2018. Hasil digitalisasi naskah-naskah ini bisa dilihat secara online tidak berbayar pada halaman https://blogs.bl.uk/asian-and-african/javanese.html. British Library juga memiliki program bernama Endangered Archives Programme [EAP]. Program ini telah berhasil melakukan digitalisasi pada koleksi naskah yang ada di Indonesia. Beberapa hasil digitalisasi bisa dilihat pada halaman https://eap.bl.uk/search/site/eap. Khusus untuk teks yang diidentifikasi berbahasa Javanese bisa dilihat pada halaman https://eap.bl.uk/search/site/eap1241?f%5B0%5D=sm_languages%3AJavanese. Di Bali, program EAP ini dilakukan di Museum Dukuh Penaban [Karangasem], informasi awal tentang program ini bisa dilihat pada halaman https://eap.bl.uk/project/EAP1241.
- Sebuah halaman https://palmleaf.org/wiki/Balibisa dikunjungi jika ingin melihat beberapa naskah lontar yang kini sudah diketik menggunakan aksara Bali dan latin. Tampaknya program pengetikan ini masih berlanjut sampai saat ini. Program pengetikan terhadap lontar Bali pernah dilakukan di bawah komando Hooykaas. Program itu bernama The Balinese Manuscript Project, di Bali dikenal dengan Proyek Tik.
Beberapa program digitalisasi yang telah maupun sedang dilakukan sebagaimana ditunjukkan di atas, dilakukan di Indonesia dan beberapa negara lainnya. Fokus saya akhir-akhir ini adalah koleksi lontardari Universitas Leiden. Saya belum tahu, berapa persisnya jumlah naskah yang tersimpan pada perpustakaan disana. Barangkali dengan membaca Literature Of Java, jumlahnya bisa kita pastikan. Sayangnya, daftar koleksi naskah yang ditunjukkan oleh Pigeud dinyatakan telah ketinggalan zaman oleh Palguna pada tahun 1999. Alasannya adalah perpindahan beberapa koleksi naskah Gedong Kirtya ke Pusat Dokumentasi [Pusdok]. Jika kasus itu digunakan untuk memikirkan ulang koleksi naskah-naskah yang ada di berbagai belahan dunia, apakah keterangan Pigeud dalam batas tertentu masih relevan?
Relevan atau tidak, yang pasti di suatu belahan dunia lain dari tempat tinggal saya hari ini [Bali], banyak naskah lontar yang konon disimpan dengan sangat baik. Website milik Universitas Leiden [https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/] bisa saya akses, tapi sampai dengan tulisan ini saya selesaikan, belum saya temukan digitalisasi lontar koleksinya. Sebenarnya saya belum tahu, apakah naskah-naskah koleksi Leiden sudah didigitalisasi atau belum. Jika sudah, artinya saya kesulitan informasi. Jika belum, mengapa? Sementara di Indonesia, digitalisasi sudah marak dilakukan.
Melalui tulisan ini, saya tidak sedang membicarakan pengembalian naskah lontar yang ada di luar negeri ke Indonesia. Saya membicarakan tentang kemungkinan kerjasama untuk melakukan digitalisasi terhadap semua koleksi naskah-naskah Nusantara sehingga bisa diakses oleh semua orang. Kerjasama itu hanya bisa terwujud, jika ada instansi yang tergerak hatinya untuk menjadi pendukung. Saya sepakat, bahwa digitalisasi lontar adalah salah satu cara untuk ‘menyelamatkan’ isi lontar selain dengan menyalinnya secara manual. Pertanyaan yang mungkin muncul dari usaha ini adalah:
- Apakah koleksi di luar itu asli? Ya. Beberapa naskah konon asli sebagaimana keterangan yang diberikan oleh Palguna tentang naskah yang awalnya adalah koleksi Van der Tuuk yang kini disimpan di Universitas Leiden. Beberapa adalah salinan, terutama hasil Proyek Tik.
- Seberapa penting digitalisasi ini dilakukan, apakah isinya berbeda dengan lontar-lontar yang ada di Bali atau pun Jawa? Sangat penting dari sudut pandang sejarah dan filologi. Sudut pandang sejarah memungkinkan kita tahu seberapa tua naskah-naskah itu dengan melihat angka tahunnya. Dari studi filologi kita bisa melacak apakah ada kemungkinan isi teks itu berbeda dengan teks-teks yang ada di Bali dan Jawa. Karena tidak jarang, satu judul yang sama berisi teks yang berbeda, begitu juga sebaliknya.
- Berapa biayanya? Saya tidak bisa memastikan berapa, yang jelas hasil usaha saya sebagai penulis dan pembaca lontar tidak akan sanggup membayarnya. Karena itu, salah satu caranya adalah menunggu keajaiban. Kalau tidak bisa ditunggu, keajaiban bisa dicari.
- Apa tujuannya didigitalisasi? Singkatnya, agar koleksi lontar di seluruh perpustakaan dan tempat penyimpanannya bisa diakses dengan lebih mudah. Kemudahan akses bisa menjadi salah satu gerbang untuk penemuan lebih mutahir, khususnya dalam bidang studi arsip kuna. Kebermanfaatannya bisa dilihat dari sudut pandang sejarah, kesehatan, religi.
Permasalahan kerjasama ini, tentu mesti mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari pihak-pihak yang bekerjasama. Jika saya berbicara pada ruang lingkup yang lebih kecil, bukan Indonesia tapi Bali, saya masih yakin akan ada jalan terbuka menuju cita-cita. Jadi, siapakah di antara orang-orang Bali yang sanggup melakukan keajaiban? Orang dusun seperti saya, hanya bisa menunggu.