Dalam gaguritan Katuturan Ki Balian Batur, karya Made Sanggra, diceriterakan Luh Wali menjual nasi. Luh Wali berjualan di Desa Cau. Ada judi sabungan ayam ketika itu. Sedang sibuk melayani pembeli, tiba-tiba seorang lelaki bertubuh pendek tetapi kekar datang ke tempatnya berjualan.
Lelaki itu berjalan terhuyung-huyung. Kata-kata tidak enak didengar berhamburan dari mulutnya. Tiba di depan tempat Luh Wali berjualan, setelah meludahkan dahak berkali-kali, laki-laki itu menyemburkan kata-kata. Kata-kata mana tersembur dengan nada keras.
“Hai kalian yang berbelanja di sini, apa kalian tidak tahu, perempuan ini menjual daging manusia?”
Diam sesaat. Lelaki itu menatap Luh Wali dengan pandangan tajam. Masih dengan nada keras setelah meludahkan dahak berkata, “Mengapa perempuan laknat ini menjual daging manusia? Ayahnya Raja Ngiwa. Setiap malam menggali kuburan dan membawa jenazah yang ada di dalamnya pulang.”
Judi sabungan ayam itu geger seketika. Para penjudi meninggalkan gelanggang menuju tempat Ni Luh Wali berjualan. Di depan tempat Luh Wali berjualan mereka berdiri melingkar memandang dengan tatapan kebencian. Agar tidak dituduh menjual daging manusia, dengan sekuat tenaga Luh Wali menjelaskan. Bukan rasa maklum yang dia terima, tetapi sorakan bernada mempermalukan.
Dalam gaguritan Basur, yang ditulis Ki Dalang Tangsub diceritakan. I Gede Basur datang ke rumah I Nyoman Karang. Tujuannya meminang Ni Sokasti menjadi menantu. Ni Sokasti menolak. I Gede Basur murka. Dengan kekuatan teluh terangjana, Ni Sokasti disakiti.
Hikmah apa yang bisa dipetik dari kedua gaguritan di atas?
Melakukan tindakan kekerasan, bukan saja terjadi sekarang di Bali. Sejak dulu sudah dilakukan. Terbukti, Luh Wali dan Ni Sokasti mengalami hal itu. Bedanya, Ni Sokasti mengalami tindakan kekerasan di rumahnya. Luh Wali ditimpa tindakan kekerasan di tempat umum. Alat yang digunakan tindakan kekerasan juga berbeda. Yang pertama dengan tuduhan menyakitkan. Ini dialami Ni Luh Wali. Lalu dengan teluh terangjana. Ini menimpa Ni Sokasti.
Boleh jadi, terhadap yang diuraikan di atas, muncul pertanyaan. Bukankah indikasi melakukan tindakan kekerasan itu adalah pukulan, tendangan, menyetrika badan, menyiram dengan air keras, memukul dengan benda tumpul, membegal dengan paksa, dan menyiksa? Bisakah mempermalukan dan menyerang dengan ilmu yang pembuktiannya sulit dilakukan bisa dikategorikan dengan kekerasan?
Mempermalukan dengan kata-kata menyakitkan di depan umum, bisa dikategorikan tindakan kekerasan. Sebab, secara langsung membuat sakit hati yang dipermalukan. Tindakan ini lebih keji dari pencemaran nama baik. Pada umumnya, tindakan mencemarkan nama baik, dilakukan tanpa sepengetahuan yang dikenai. Bisa saja melalui fitnah, atau penggunaan sarana informasi teknologi informasi yang tersebar secara luas.
Walau sulit dibuktikan, tindakan menyakiti melalui teluh terangjana dan sejenisnya juga termasuk tindakan kekerasan. Bukankah tindakan ini, menyebabkan yang diserang sakit bahkan nyaris menemui ajal.
Makna apa lagi bisa dipetik?
Dilihat dari sudut korban, perempuan Bali, sejak dulu mengalami kekerasan di ruang publik (masyarakat) dan di ruang pribadi (rumah) pelakunya adalah laki-laki Bali. Gaguritan ini menunjukkan, perempuan Bali adalah sasaran tembak kekerasan yang dilakukan laki-laki Bali. Dan ini, sejak dulu terjadi. Hal ini, hingga kini, walau sudah berkurang, masih terjadi.
Dilihat dari sisi pelaku, lelaki Bali, menempati posisi sebagai tokoh antagonis yang tega, telah termodifikasi sejak dulu. Sebagai figur antagonis yang tega melakukan kekerasan telah tercatat sejak dulu. Tertunjukkan pula, betapa kuasa patriarki telah berurat berakar. Betapa kuasa patriarki yang menyebabkan lahirnya tindakan kekerasan telah lama tertanam di tanah Bali. Tertanam dan tumbuh dengan subur sebagai pohon.
Hingga kini, pohon itu masih ada, tetapi secara perlahan tumbang. Ditumbangkan oleh kemajuan pendidikan. Ditumbangkan oleh pengertian lelaki Bali yang semakin terbuka: perempuan Bali juga makhluk ciptaan Tuhan yang harus diberi tempat yang layak. Tempat yang layak di sisi lelaki Bali terhadap hak-hak azasi manusia yang menempatkan insan ciptaan Tuhan dalam posisi sejajar. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ditumbangkan oleh kesadaran: kuasa patriarki di Bali adalah kuasa untuk melindungi. [T]