Ini bulan sudah Februari. Bulan perayaan cinta. Yang dalam dunia muda-mudi dirayakan setiap tanggal 14 sebagai hari Valentine. Di hari Valentine inilah begitu banyak macam cinta bisa kita saksikan, mulai di jalanan, taman kota, kafe, hingga beranda facebook. Mengamati muda-mudi yang merayakan cinta di hari Valentine. seperti menonton teater dengan berjibun lakon romantis di dalamnya. Cerita boleh jadi berkisar tentang persiapan, pertemuan, atau perjalanan cinta dengan segala macam persoalan yang menyertai. Sedang tokoh utamanya, tentu saja adalah pasangan pemuda dan pemudi itu sendiri.
Bagaimana para pemuda dan pemudi menanti hari Valentine, barangkali akan sama kualitasnya seperti perasaan Sampek dan Engtay menanti hari perjanjian tiba untuk bertemu menjalin cinta. Melihat para pemuda yang lalu lalang sepanjang jalan, keluar masuk toko bunga, menggendong sebungkus besar kado boneka dan kotak coklat, seperti menyaksikan Romeo yang mabuk kepayang pada Juliet. Sementara membayangkan pemudi memilih pakaian yang pas, berkaca, menata dan merias diri menanti kekasihnya adalah membayangkan rasa gugup, kangen, dan haru Dewi Sita yang campur aduk menunggu datang jemputan Rama di Alengka.
Situasi-situasi tersebut, jika ingin dipertentangan, tentu akan banyak ditemukan perbedaannya. Namun jika ingin dicari kemungkinan dalam konteks pemanggungan teater, perasaan cinta yang bertebar di hari Valentine ini sesungguhnya dapat menjadi bahan belajar aktor dalam melatih kesadaran, khususnya tentang laku manusia sebagai makhluk yang senantiasa memiliki hasrat mencintai dan dicintai. Mengingat dalam lakon teater itu sendiri, sedikit banyak pasti menghadirkan cinta di dalamnya. Walau bukan sebagai tema utama, minimal menjadi pemanis cerita. Mulai dari cinta tak terbalas, cinta beda kelas, cinta segi tiga, cinta pura-pura, cinta eksistensialis dan berbagai jenis cinta lainnya.
Perihal adegan percintaan, Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu Lampung sempat menunjukan bagaimana cara membangun impuls dalam diri aktor dengan menggunakan pendekatan akting Stanislavsky. Ceritanya kebetulan adalah dua orang kekasih yang akan berpisah. Diputarkan oleh Iswadi sebuah musik romantis kepada hadirin. Sementara kedua peserta lain yang berperan sebagai tokoh dibiarkan melakukan tindakan bebas sewajarnya. Pada menit selanjutnya, kedua aktor mulai diberi arahan yang runut dalam rangka membangun situasi adegan. Dengan pelan dan sabar, dituntunnya mereka untuk menghayati segala tindakan satu persatu untuk kemudian sampai pada adegan perpisahan.
Begitu berkesan latihan tersebut sampai kini. Bukan lantaran akting kedua aktor yang mengharu biru. Melainkan dalam workshop yang digelar di Kampus Padjajaran, Jawa Barat 2013 lalu itulah, untuk pertama kalinya benar-benar dibuat ngehakan pentingnya metode latihan pemeranan. Pada sederet kasus, seringkali pertunjukan hanya menyoal konsep pemanggungan dan spektakel pentas. Sedang kerja-kerja mempersiapkan peran adalah urusan kesekian. Karena itu juga motif-motif tentang cinta yang notabene begitu sederhana sekalipun biasanya luput pula dibedah dan didiskusikan dalam dapur kelompok teater.
Pada pentas semacam ini, cinta cenderung diintrepretasi sebatas menerima dan menolak perasaan. Lebih-lebih segala tindakan yang dihadirkan adalah laku-laku klise. Apabila tokoh-tokohnya saling menerima, saling mencintai misalnya, laku yang dihadirkan umumnya ditandai dengan berpengangan tangan, berpelukan, sampai ciuman kening. Sementara pada adegan menolak cinta, biasanya akan ditunjukan dengan bloking pemain yang saling berjauhan, tatapan sinis tokoh yang menolak dengan melipat tangannya penuh keangkuhan. Semua seperti dibuat-dibuat. Palsu. Tak wajar.
Tak ada impuls dalam diri aktor. Tak ada muatan emosi yang membuat getar hati penonton. Bagaimana bisa membuat penonton bergetar? Jika dialog “aku cinta padamu” hanya dihafal lalu diucapkan sekadarnya. Bagaimana bisa menghidupkan panggung pertunjukan? Apabila buket bunga di genggaman aktor hanya disikapi sebagai properti pentas. Hal ini tentu berlainan ketika menyaksikan laku cinta muda-mudi di sekitar saat merayakan Valentine.
Sebelum dan sesampainya hari Valentine, debar cinta telah dipupuk sedikit demi sedikit. Dengan sabar sang pemuda sudah menyisihkan uangnya setiap hari untuk dibelikan bunga. Hemat makan, hemat minum, hemat rokok. Sembari menyisihkan uang, ia cari desain buket terbaik yang sekiranya mampu meluruhkan hati pujaannya. Saat uang sudah terkumpul, pemuda itu mesti merelakan diri buat berdesakan, mengantri karena saking banyaknya pembeli di toko tersebut. Usai berdesakkan, ia tersendat-sendat di jalan yang macet oleh pasangan-pasangan lain. Pemuda itu terus saja melaju menuju rumah perempuan. Kian dekat menuju rumah, kian cepat detak jantungnya. Pada buket bunga inilah, ia endapkan sepenuhnya perasaan, harapan, dan cita-cita, hingga akhirnya sampai pada pernyataan cinta pada kekasih.
Dalam konteks ini, pernyataan cinta sang pemuda kepada kekasihnya tentu akan jauh kualitasnya jika dibanding dengan ungkapan cinta ala kadar dari seorang aktor dengan lawan mainnya. Tak ada motif yang lahir dari batinnya. Padahal, menurut Iswadi, motif memiliki peranan penting dalam menentukan sasaran kreatif peran. Tiga jenis sasaran yang dimaksud adalah sasaran mekanis, sasaran naluriah, dan sasaran psikologis. Ketiga sasaran ini menjadi salah satu hal penting yang mesti dipahami aktor dalam upaya menumbuhkan impuls dalam permainan.
Sasaran mekanis merupakan kebiasaan-kebiasaan yang lazim dilakukan sehari-hari tanpa adanya muatan motif tertentu. Contohnya ketika mengucapkan sayang sehari-hari pada kekasih. Tak ada cinta di dalamnya. Tak ada getar di ucapannya. Sebab sudah terlalu sering kita menggunakannya hingga menjadi kebiasaan sehari-hari. Sementara ketika mengucap sayang pada kekasih setelah lama kita tinggalkan bekerja di luar kota adalah salah satu contoh sasaran naluriah yang di dalamnya mengandung muatan psikologis berupa rasa gembira.
Pada sasaran psikologis lebih kompleks lagi, karena mengandung motif emosi yang lebih dalam dan muncul dari kesadaran. Sasaran psikologis misalnya terjadi ketika mengucap sayang untuk meminta maaf kepada kekasih setelah kemarin malam sempat kepergok selingkuh dengan perempuan lain.
Kendati telah dipilah dan diuraikan sedemikian rupa, ketiga jenis sasaran ini memang cukup sulit untuk dibedakan terlebih saat melakukan rutinitas sehari-hari. Sebab ketiganya saling berkelindan dan kerap muncul dalam waktu yang hampir berdekatan sehingga mesti dipilah dengan hati-hati dan penuh kesadaran. Maka di sinilah pentingnya hari Valentine, khususnya bagi para aktor yang kehilangan motif bagaimana caranya mengungkapkan rasa cintanya di atas panggung.
Merayakan Valentine bersama kekasih barangkali menjadi ruang belajar untuk mengenali jenis-jenis motif dan sasaran kreatif peran. Caranya? Segeralah kau luangkan diri mengunjungi toko bunga dan coklat. Pilih satu yang cocok untuk kekasihmu. Adakah debar cinta yang masih bergelora saat menyerahkannya pada kekasih? Yang hadir sebagai motif psikologis? Atau jangan-jangan bunga, coklat dan kata cinta yang terucapkan terasa kosong? Sama sekali tak mengandung muatan motif apapun? Jika benar demikian, belilah satu lagi buket bunga untuk diserahkan kepada mantan. Rasakanlah motif emosi yang memenuhi batinmu. Jika toh masih tetap tak terasa motif yang hadir, paling tidak kau akan merasakan pukulan tiba-tiba dari kekasih baru mantanmu.
Nah! Itulah yang disebut sebagai motif dan sasaran! Motif psikologis, dengan pukulan yang merupakan sasaran naluriah sebagai tanda amarah yang ditujukan kekasih sang mantan pada dirimu! Bangsat ci! Rayu ci tunang cang! [T]
Denpasar, 2020