Cerpen: Widya Astuti []
Ni Sulasih mempercepat langkahnya. Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang melihat atau mengikutinya. Pekerjaan di sawah sudah diselesaikan. Makanan sapi sudah disediakan. Diapun sudah membuat alasan pada ibunya tidak pulang ke rumah sampai sore. Tidak sulit untuk membuat ibunya percaya.
Agar cepat sampai, dilompatinya beberapa pematang sawah sekaligus. Beberapakali pula dia harus menghindari orang-orang yang sedang mengobrol atau berjalan menuju sawah. Dia tak ingin menjawab pertanyaan yang akan membuatnya terlambat ataupun salah kata.
Matahari berada di atas kepala. Panas membakar ubun-ubun. Untung saja angin bertiup sedikit kencang, setidaknya bisa sedikit menetralisir udara panas siang itu. Hari ini adalah hari Sabtu, saat yang selalu ditunggu Ni Sulasih untuk memadu asmara dengan kekasihnya. Di sebuah pondok tua dekat hutan pinggiran desa, di sanalah surga mereka. Dan Ni Sulasih sudah tidak sabar.
Dari jauh kini terlihat pondok yang akan dituju. Pondok kecil yang ditinggalkan penghuninya beberapa tahun yang lalu untuk transmigrasi. Dulu pondok itu ditinggali oleh sebuah keluarga yang tergolong miskin. Suami istri dan empat anak mereka. Lalu semenjak pemerintah mulai menggalakkan program transmigrasi maka keluarga tersebut ikut transmigrasi ke Lampung.
Semenjak itu pondok tersebut kosong. Kondisinya sudah tidak layak. Atapnya hampir jebol. Dindingnyapun penuh lubang. Tapi itu adalah tempat ternyaman bagi Ni Sulasih. Jauh dari kampung, jauh dari lahan sawah dan kebun penduduk kampung.
Ni Sulasih mendekati pintu pondok. Sejenak itu celingukan melihat ke kiri kanan. Siapa tahu ada yang mengintip atau mengikuti perjalanannya sampai disini. Itu akan sangat berbahaya. Setelah dirasa aman dia membuka pintu pondok lalu segera menutupnya kembali. Sejenak hening. Tak ada suara apapun. Hanya terdengar desir angin dan suara dedaunan yang bergerakan. Lamat-lamat terdengar suara mendesah yang halus dari dalam pondok
***
“Mana fotonya Mang ?” Ni Sulasih sudah tidak sabar ketika bertemu dengan kawannya di pasar malam.
“Sabarlah ..” jawab Mang Yani sambil merogoh tas slempang yang dibawanya
“Aduh kok tidak ada ya,” serunya mengejutkan.
“Jangan main-main kamu, Mang. Kamu kan sudah janji. Lagipula kamu sudah menerima upahnya,” kata Ni Sulasih
Mang Yani tertawa cekikikan. Ternyata dia hanya menggoda.
“Nih…” Diserahkannya sebuah kertas dengan foto seorang lelaki ke tangan Ni Sulasih.
Ni Sulasih menerima dengan senang. Segera foto itu diletakkan di dadanya.
“Gila kamu Asih,“ kata Mang Yani.
Ni Sulasih menatap sahabatnya.
“Aku mencintainya Mang. Sangat mencintainya!”
“Tapi..”
“Diamlah.. jangan berisik!” Ni Sulasih memotong kalimat sahabatnya.
Sejak itu kemanapun Ni Sulasih pergi, foto itu ada bersamanya. Mungkin dia memang tergila gila dengan lelaki itu. Lelaki yang sejak masa remajanya begitu mencuri hatinya. Membiarkan memenuhi hatinya, mengisi harapan harapannya sebagai gadis remaja.
Dia bukan gadis yang cantik, bukan juga anak orang kaya atau berkasta. Dia hanya seorang gadis biasa. Kedua orang tuanya bertani dari sawah warisan turun temurun yang tidak banyak. Dia hanya bisa bersekolah hingga SMA, itupun susah sangat bersyukur.
Tapi gadis remaja tetaplah gadia remaja. Hatinya mulai dipenuhi bunga cinta kepada lelaki tetangganya. Tapi dia perempuan. Tak mungkin mengutarakan perasaan terlebih dahulu. Itu memalukan dan tabu bagi seorang gadis jika mengutarakan cinta lebih dulu. Lagipula lelaki itu belum tentu menerima. Harga dirinya akan porak poranda.
Tapi menunggu pujaan hatinya agar mengerti sama sulitnya dengan mengharap hujan di musim kemarau. Made Suarta tidak kunjung mengerti isi hatinya. Pun tak mengerti isyarat halus yang dia lakukan. Tidakkah lelaki itu memiliki rasa terhadapnya ? Begitu tanya hatinya putus asa. Mengapa lelaki itu tak juga kunjung mengerti.
Telah dilemparkannya isyarat dengan segala perhatian. Dengan basa basi dan senyum manis saat kebetulan bertemu di depan rumah atau di jalan. Diberanikan juga dirinya bertanya . Tapi Made Suarta menanggapi datar saja, biasa saja, seperti kebanyakan orang lain. Seperti waktu itu saat Ni Sulasih keluar halaman rumah untuk pergi ke warung membelikan kopi buat ayahnya.
“Eh.. Luh mau ke mana?“ tanya Made Suarta yang kebetulan ada di depan rumahnya.
Hati Ni
Sulasih berdebar debar
“Mau ke warung sebentar, Bli. Bapa minta dibelikan kopi,” jawab Ni Sulasih.
Lalu diberanikan dirinya bertanya, “Mungkin Bli mau nitip membeli sesuatu, biar tyang belikan sekalian!”
“Oh.. tidak, Luh. Bli hanya ingin tanya apakah Bapa ada di rumah. Soalnya ada yang ingin Bli bicarakan. Bli mau minta tolong.”
“O. Ada, Bli. Kebetulan Bapa hari ini kerja setengah hari. Silakan! “
Setelah berterimakasih, Made Suarta masuk ke halaman dan Ni Sulasih melanjutkan perjalanan ke warung. Dibelinya pesanan ayahnya. Tak lupa dibelikannya juga beberapa kue kering untuk sangu Made Suarta yang ada di rumahnya. Hatinya bertanya tanya gerangan apa yang hendak dibicarakan Made Suarta dengan ayahnya.
Setelah selesai bergegas dia kembali ke rumah. Ternyata sampai di rumah Made Suarta sudah pulang. Rupanya hanya sebentar. Hatinya sedikit kecewa. Kenapa lelaki itu tidak mau menunggunya sebentar saja sampai ia kembali dari warung. Apa yang harus dilakukannya agar lelaki itu mengerti. Ah entahlah, dia merasa putus asa.
***
Meskipun Ni Sulasih bukan tergolong gadis cantik tapi bukan berarti tidak ada yang menggoda atau menyukainya. Keremajaannya seperti bunga yang sedang mekar mengundang kumbang datang mendekat. Dalam keputusasaan akan harapan harapan dan cintanya pada Made Suarta dia melabuhkan diri pada janji manis seorang lelaki. Berusaha untuk mencinta meski jauh di lubuk hatinya Ni Sulasih tetap merindukan Made Suarta yang kini kuliah di kota.
Dicobanya untuk menghapus segala perasaannya pada lelaki itu. Dicobanya untuk memberikan cinta sepenuhnya kepada lelaki yang kini menjadi kekasihnya dengan segala upaya. Tapi cinta itu aneh. Hati itu penuh misteri. Tak dapat dimerngerti bahkan oleh pemiliknya sendiri.
Cinta akan berlabuh pada hati yang mana atau kepada siapa tak ada yang mampu mengendalikannya. Begitu juga hati Ni Sulasih. Masih tidak bergeser dari Made Suarta. Lelaki itulah yang dirindukannya siang malam. Itu mungkin sebab kekasihnya tak tahan lalu kisahnya pun berakhir hanya beberapa bulan.
Lalu pada waktu sesudahnya seringkali Ni Sulasih mencoba melabuhkan hatinya lagi dan lagi pada lelaki yang satu ke lelaki yang lain . Tak ada yang mampu bertahan lama. Paling lama setahun, setelah itu selesai. Ibunya mulai tak suka dengan tingkah lakunya.
Suatu hari ketika malam tiba dan ayahnya tidak di rumah ibunya mulai berbicara. Mereka berdua sedang membuat jejahitan dari dari daun lontar sebagai sarana upacara. Daun lontar sebagai pengganti janur yang bisa bertahan lama.
“Nak, kamu sudah dewasa. Sudah pantas untuk menikah. Tidakkah kamu ingin memilih satu di antara lelaki di desa ini untuk menjadi suamimu? Tidakkah kamu ingin menikah?” tanya ibunya sambil memotong dan menggurat daun lontar.
“Ibu..tyang belum terpikir untuk menikah, Bu” jawab Ni Sulasih . Tangannya sibuk menjahit daun lontar yang sudah dipotong ibunya menjadi sampian dan sarana upacara lainnya.
“Tidak baik untuk perempuan menikah terlalu tua, Nak. Nanti susah melahirkan dan kelihatan tua saat anak anak masih kecil kecil,” sambung ibunya
“Nanti, Bu. Nanti tyang pikirkan lagi. Lagipula siapa yang tyang ajak menikah?” sahut Ni Sulasih sambil tersenyum.
“Pilihlah satu dari lelaki teman dekatmu itu. Cinta akan datang pada saat kita selalu bersama. Jangan menunggu yang tidak mencintai kita. Bagi perempuan lebih baik dicintai daripada mencintai!”
Ni Sulasih tercekat. Menunggu. Apakah ibunya tahu bahwa hatinya memang menunggu Made Suarta, atau jangan-jangan ibunya pernah melihat foto lelaki itu tersimpan di tasnya seperti kekasih-kekasihnya yang marah dan memutuskan hubungan dengannya. Ni Sulasih diam. Pura-pura tenggelam dalam pekerjaannya.
Kini usia Ni Sulasih sudah menginjak dua puluh enam tahun. Ibunya semakin risau. Ni Sulasih semakin diam. Semakin sibuk dengan segalla urusan di rumah. Mencari makanan babi dan sapi, mengumpulkan daun daun pisang kering untuk di jual, memetik sayur yang akan dibawa ke pasar. Semua pekerjaan itu ia selesaikan dengan baik.
Beberapa pemuda mendekatinya tapi Ni Sulasih seolah mati rasa sejak Made Suarta menikah beberapa bulan lalu. Ibunya cemas. Anaknya mungkin tak bicara apapun tapi seorang ibu sangat tahu bagaimana perasaan anak saat sedih atau bahagia. Meski hanya menduga, ia yakin dugaannya benar. Anaknya, Ni Sulasih, patah hati.
Ni Sulasih menahan kepedihannya seorang diri. Sakit hatinya mendengar pujaan hatinya menikah dengan seorang gadis dari kota teman kuliahnya. Ia masih ingat saat mendengar kabar itu. Dunia seakan runtuh menimpa kepalanya. Tidak tahu harus mengadu pada siapa. Dipeluknya foto Made Suarta sambil berjalan cepat menuju sawah. Dia ingin menangis sepuasnya di sana.
Tapi di tengah perjalanan dia berubah pikiran. Dia berbelok ke arah hutan batas desa. Disana pernah dilihatnya pondok kecil, mungkin di sana akan lebih leluasa untuknya menumpahkan segala tangis yang menyesak di dada. Hari ini seolah menjadi hari kiamat baginya. Dia tumpahkan semua tangisan di pondok kecil itu. Sambil mendekap foto Made Suarta.
Tapi ibunya begitu gigih berusaha. Seorang pemuda dari desa tetangga yang kerap membantu ayahnya bekerja sebagai tukang, rupanya menaruh hati pada Ni Sulasih. Dan ibunya tahu itu. Tanpa setahu Ni Sulasih mereka bertiga, ibu, ayah dan Wayan Punia, pemuda itu membuat kesepakatan. Dan di suatu hari yang muram, semuram wajah Ni Sulasih, ia dinikahkan.
***
Menikah tanpa cinta apalah artinya bahagia? Ni Sulasih tak bahagia, wajahnya selalu muram. Ia seperti tak bernyawa melayani suaminya. Semua yang dilakukan hanya sebuah kewajiban.
“Luh besok tyang akan ikut Bapa ke Desa Ringgit, ada proyek disana. Sebuah villa milik seorang bule Perancis,” ujar Wayan Punia kepada istrinya di suatu malam setelah makan.
“Iya,“ sahut Ni Sulasih pendek.
Suaminya hanya melihatnya saja. Sudah beberapa bulan menikah belum juga perempuan itu bisa menerimanya. Tapi ia akan bersabar. Dia menduga istrinya mencintai lelaki lain. Tapi ia tidak tahu siapa lelaki itu. Sikap istrinya kadang terlihat aneh. Setiap hari Sabtu biasanya dia minta ijin ke rumah ibunya dan tak pernah mengijinkannya untuk mengantar.
Walaupun demikian Ni Sulasih melaksanakan kewajibannya dengan baik, melayani segala kebutuhanya bahkan di tempat tidur meskipun terasa hambar. Dia percaya Ni Sulasih perempuan baik-baik. Tak mungkin dia berselingkuh dengan lelaki lain.
“Tinggallah dengan ibu sementara tyang tidak di rumah!”
“Baiklah!“
Ni Sulasih berbenah, merapikan dapur lalu melanjutkan menjahit lontar. Sementara suaminya sudah pergi tidur. Ni Sulasih mengeluarkan foto Made Suarta dan menciuminya lalu mendekapnya di dada .
“Dua hari lagi kita akan bertemu sayang, kita akan bertemu kekasihku!” bisiknya dengan mata merawang.
***
Sementara suaminya pergi, Ni Sulasih tinggal dengan ibunya. Hari itu hari Sabtu, hari yang selalu dinantikan Ni Sulasih. Pagi-pagi dia sudah ke sawah. Disuruhnya ibunya untuk istirahat si rumah. Dia berjanji membereskan semua pekerjaan yang biasa dilakukan ibunya. Memetik sayur, mengumpulkan daun kering, mencari makanan babi dan mencari rumput untuk makanan sapi. Semua diselesaikannya dengan cepat.
Segera setelah semua siap, dan matahari hampir berada dia atas ubun ubun, Ni Sulasih berjalan menuju pondok kecil dekat hutan. Ni Sulasih berjalan cepat . Dilompatinya beberapa pematang sawah dan menghintar dari orang orang yang lewat. Dia tak ingin terlambat . Sesekali dia menoleh ke belakang, memastikan tak ada orang yang mengikuti langkahnya. Tak berapa lama dia sampai di pondok dekat hutan.
Sebelum membuka tak lupa dia menoleh kiri kanan. Setelah dirasa aman. Ni Sulasih segera masuk dan menutup pintu. Dalam pondok terdapat sebuah balai-balai bambu dengan sebuah tikar yang cukup bersih. Juga terdapat sebuah bantal. Ni Sulasih duduk di pinggir balai bambu
“Bli Made …, Bli Made …, peluk tyang, Bli!”
Suaranya terdengar oleh sepasang telinga lelaki di luar pondok. Sesekali terdengar rintihan. Lalu terdengar desahan Ni Sulasih dari dalam pondok.
Betapa geram lelaki itu, yang tak lain dari suami Ni Sulasih. Rupanya dia salah menduga. Ni Sulasih mengkianatinya. Menghianati pernikahan sakral mereka. Menghianati janji yang diucapkan di hadapan Tuhan, di hadapan orang tua dan adat. Semuanya sudah hancur. Yang ada di benaknya saat ini adalah membunuh lelaki yang bersama istrinya di dalam pondok. Siapapun dia, dia harus mati di tangannya. Ni Sulasih akan diurusnya kemudian.
“Bli tyang sayang sama Bli…, tyang cinta!“ desah Ni Sulasih dari dalam pondok disertai rintihan pelan.
Semakin bertambah-tambahlah kemarahan di dada Wayan Punia.
Disiapkannya pisau yang dibawanya dari rumah. Dengan penuh amarah Wayan Punia mendobrak pintu pondok. Dilihatnya Ni Sulasih sendirian setengah telanjang memeluk sebuah foto. Foto seorang lelaki, foto Made Suarta. [T]