Sejak 2019 lalu, Februari bagi masyarakat Bali bukan sekadar bulan berhari 28 atau 29. Bulan penentu tahun kabisat ini telah dipilih Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sebagai bulan memperingati bahasa Bali –meski hanya memperingati, sewajarnya ia dapat digunakan untuk berpesta, dalam tataran formal maupun nonformal.
Di tahun perdana penetapan Peringatan Bulan Bahasa Bali, berbagai acara terkait upaya pelestarian, pemertahanan, dan pengembangan bahasa Bali dihelat. Bahkan, Gubernur Koster turun langsung nyastra, menulis aksara Bali di atas daun lontar. Sementara, di tahun 2020 peringatan digelar semakin dahsyat. Peringatan dilaksanakan sebulan penuh dengan berbagai kegiatan, mulai dari lomba, workshop, hingga diskusi.
Entitas bahasa, aksara, dan sastra Bali di era kepemimpinan Gubernur-Wakil Gubernur Bali, Koster-Ace, memang mendapat banyak perhatian. Kehadiran Peraturan Gubernur (Pergub) 80/2018 menjadi monumen cukup penting dalam upaya tersebut. Melalui pergub ini bahasa Bali diarahkan dapat digunakan sebagai sarana komunikasi hingga ke ruang-ruang formal. Tentunya, hanya pada hari-hari tertentu.
Kepada aksara Bali, pergub ini mengamanatkan agar setiap institusi pemerintah maupun swasta di Bali wajib memasang aksara Bali pada papan namanya. Tempatnya harus di atas aksara Latin, besarnya juga harus sama. Konon, ini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur yang telah mencipta aksara Bali. Penciptaan aksara ini bukan perkara gampang, sebab dari 600-an bahasa daerah di Indonesia, yang memiliki aksara hanya sebagian kecil.
Nasib sastra Bali di tangan gubernur asal Sembiran juga tak kalah mengembirakan. Sastra dan sastrawan Bali setahun belakangan lebih banyak diberikan ruang untuk tumbuh, termasuk dalam Festival Seni Bali Jani 2019. Dalam bidang penerbitan buku sastra Bali, melalui proses kurasi yang dilakukan Prof. Darma Putra (Universitas Udayana) untuk Penghargaan Sastra Rancage 2019, tercatat ada 13 buku sastra Bali terbit sepanjang tahun.
Melihat upaya-upaya itu, perlu sekiranya kita mengangkat topi kepada pemerintah atas segala usahanya. Namun, membanggakan berlebihan sama dengan racun. Nalar harus terus menakar dan mengakar, berupaya bersama agar apa yang dilakukan ke depan semakin baik dan mengembang.
Tentang Etis
Menyoal penggunaan bahasa Bali era ini, saya mendapati dua cabang kemungkinan. Dalam lingkar pergaulan yang saya hadapi, pada satu sisi saya melihat bahasa Bali semakin tertata dan semakin percaya diri digunakan. Namun, di sisi yang lain saya melihat ada kosakata yang terhimpit, lantaran adanya standar anggah-ungguhing basa Bali.
Lingkungan kelahiran saya adalah kawasan pegunungan yang eksis dengan dialek Bali Aga. Salah satu karakter awalnya, tak banyak klaster kata. Saya masih ingat betul, ketika masih kecil, kata-kata yang mendapat predikat sebagai kata kasar dalam ranah bahasa Bali “baku” seperti ngamah ‘makan’, mamecek ‘tidur’, poles ‘tidur’, dan lain-lain sangat biasa digunakan dalam percakapan.
Lantaran dianggap kasar, kata-kata ini kini menjadi tabu untuk digunakan. Mereka tampak kalah bersaing seiring adanya mitos etika komunikasi yang diproduksi melalui hubungan dengan masyarakat Bali yang lebih luas. Persoalan etis juga diproduksi melalui pendidikan yang diterima anak-anak kami sedari kecil. Alhasil, jika sekarang seorang anak berujar, poles malu ma! ‘tidur dulu sana’, orang tuanya akan turun tangan melarangnya dengan segera. Terlebih, jika kalimat itu keluar dalam keramaian.
Kegelisahan saya tentang kata-kata terhimpit itu semakin meluas. Dalam pengamatan saya, kata-kata yang semakin jarang digunakan telah merasuk pada sejumlah kata yang menjadi ciri khas daerah kami, yakni kata ganti oke dan bee.
Okeadalah kata ganti untuk orang pertama tunggal, sedangkan bee digunakan untuk kata ganti orang kedua tunggal. Keduanya sangat khas di daerah saya. Saking khasnya, kedua kata ini sering digunakan bahan lelucon, entah dalam panggung bebondresan, maupun dalam ranah pertemanan.
Oke-bee mulai tampak semakin jarang digunakan dalam pergaulan, meskipun dalam komunikasi antar personal yang sepadan. Jika membandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, kadarnya tampak menurun. Mungkin saya salah melihat, atau jangan-jangan lingkungan pergaulan saya yang justru mendesrupsi kata itu.
Penyebabnya kembali terkait persoalan etis. Penggunakan kata oke-bee dalam paradigma masyarakat saat ini dipandang tak cukup sopan. Hal ini didukung dengan semakin banyak orang di desa saya yang mawinten. Ketika seorang warga telah melakukan proses mawinten, ia dipandang atu taraf lebih suci, seakan-akan ia tak boleh lagi dipanggil dengan bee atau menyatakan dirinya oke.
Sebagai gantinya, kata oke kini diarahkan dengan penggunaan tiang, sedangkan untuk merujuk makna bee diarahkan menggunakan kata raganeatau memanggil nama langsung. Langkah itu dipandang lebih netral dan tak menabrak tatanan etis yang tengah terbangun sedemikian rupa.
Maju atau Mundur?
Menemui fenomena yang tampak, saya jadi banyak berpikir. Apakah yang kami lakukan sebuah lompatan atau jangan-jangan keterperosokan?
Merenungkan hal tersebut, saya jadi ingat sejumlah kata yang juga sudah sangat jarang digunakan dalam tatanan komunikasi, namun ada dalam teks yang kami warisi dan junjung tinggi. Tiga kata yang saya ingat diantaranya adalah mel ‘ladang’, ceheng ‘alat ukur beras’, dan kalu ‘tembat barang dari anyaman bambu’.
Ketika saya pertama kali berjumpa dengan mereka, saya benar-benar merasa asing. Gawatnya, kata-kata ini banyak digunakan untuk mengacu hal-hal penting dalam teks. Akibatnya, saya harus bertanya apa itu mel, ceheng,dan kalu kepada orang tua. Dan, saya masih cukup beruntung karena mereka masih mengetahui. Bayangkan jika yang bertanya itu anak atau cucu saya kelak, dan saya tak pernah menanyakannya.
Persoalan ini bisa dianggao penting atau tak penting. Bisa dipandang penting lantaran kita percaya bahwa setiap kata ada untuk merujuk makna tertentu. Pun, jika ada padanannya dalam bahasa yang sama, dalam bahasa serumpun, maupun dalam bahasa yang lain, tampaknya makna yang dihadirkan tak akan sama persis. Contoh, coba bandingkan kata-kata nyrokcok, nyrekcek, dan nyrikcikdalam bahasa Bali. Jika kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia semuanya mengarah pada pergerakan air, namun ketiganya mengandung makna yang lebih spesifik satu sama lain.
Kembali pada persoalan kata-kata mel, ceheng, dan kalu. Seandainya, suatu saat pembaca teks itu tidak paham makna ketiganya kata itu. Pembaca ini telah bertanya ke seseorang, namun orang itu juga tak tahu. Karena mengalami kebuntuan, pembaca ini akhirnya menafsir sendiri. Saat inilah perkara besar bisa lahir.
Di desa saya contoh yang telah tempak terkait kata mel. Ada sebuah ritus bernama Ngusaba Dimel yang saya curigai berasal dari kata usaba, di, dan mel. Ketika dirangkai, dapat merujuk makna ‘upacara selamatan di ladang’. Makna ini tampaknya cocok dengan pola ritusnya yang memang dirayakan di sebuah pura yang berada di perladangan desa dan secara mitologis tirta-nya diyakini sebagai tirta pertanian.
Namun, dalam perkembangannya, Ngusaba Dimel telah ditafsir dengan berbagai penafsiran. Saya tak menyatakan itu liar, tapi terkesan dicocokologi, dengan mencarikan padanan dalam bahasa lain yang mirip. Satu diantaranya menafsir dimel sebagaidobel ‘ganda’, sebab realitanya upacara ini memang digelar dua tahun sekali. Sehingga, Ngusaba Dimel adalah upacara yang ganda.
Melihat itu, kegelisahan saya membuncah. Saya sok menerawang masa depan. Tampaknya bukan tak mungkin jika suatu saat setelah lama kata oke tak digunakan, kata oke nanti akan dimaknai sebagai ‘ya’ selayaknya ok dalam bahasa Inggris. Lalu, kira-kira makna apa yang akan ditujukan untuk merujuk kata bee?
Selamat memperingati bahasa Bali. [T]