Kawan lihatlah di ujung perkampungan
Perempuan desa beriringan
Di desa yang bersemi warna warna indah
Rebah di ladang bunga
Suara Jane Sahilatua yang melengking khas mengiringi perjalanan saya pulang dari Singaraja kembali ke gunung tempat saya berdiam . Satu setengah jam tak terasa bersama alunan lagu lagu merdu dari duo kakak beradik Franky and Jane Sahilatua. Vokal mereka yang khas tak saya temui pada penyanyi lain di blantika musik tanah air .
Barangkali tak banyak yang ingat pada mereka, penyanyi lagu balada, lagu lagu desa. Mengapa saya bilang desa, karena lagu mereka banyak bercerita tentang suasana desa. Panen bunga, rumah kecil pinggir sungai, lelaki telanjang dada di tengah sawah dan banyak lagi. Mereka yang seumuran dengan saya pun rasany tak banyak yang suka lagu Franky and jane.
Tapi bukan itu satu satunya alasan saya menyukai lagu lagu mereka. Saya mendengarkan lagu mereka sejak masih kecil, usia sekolah dasar. Kakak yang sekolah di kota rajin menyetel lagu mereka di rumah saat pulang kampung. Lagu rumah kecil di pinggir sungai membuat saya berkhayal ingin punya rumah kecil diatas tebing di tepian tukad Sungi yang berada tak jauh dari rumah asal kami di Tabanan. Khayalan yang terbawa sampai sekian puluh tahun kemudian saat saya sudah berkeluarga.
Franky sahilatua berasal dari keluarga keturunan Maluku yang lahir dan dibesarkan di kota Surabaya. Banyak menghabiskan waktu remaja nya di daerah Grobogan, yang menjadi sumber inspirasi dari lagu lagu mereka yang indah (setidaknya menurut saya). Begitu banyak tema yang mereka sampaikan . Dari tema alam, cinta, kemanusiaan dan yang paling mendebarkan, lagu yang menunjukkan cinta mereka yang penuh pada tanah airnya Indonesia.
Tak banyak penyanyi lain dengan tema seperti mereka, Iwan Fals dan Leo Kristi barangkali yang cukup mewakili dalam tema dan produtivitas lagu. Gombloh dengan lagunya kebyar kebyar, seingat saya cuma lagu itu yang bertema cinta tanah air. Lagu Diatas 7000 kaki menginspirasi saya untuk mecintai pendakian gunung dan sudah saya tularkan kepada anak dan keponakan saya.
Satu kata yang paling menggambarkan keseluruhan lagu lagu mereka barangkali adalah kesederhanaan lirik liriknya. Coba kita simak syair lagu berikut:
Lihatlah disana gadisku
Perahu para penggali pasir
Anak anak gembala bertopi koran
Berjalan pulang ke rumah
Saya membayangkan Franky adalah Sapardi yang sedang mendendangkan puisi puisinya, Sapardi dengan cintanya, Franky dengan rumah kecilnya di pinggir sungai.
Saya mengatakan syair syair Franky sederhana, dan itu bisa bermukim lama di ingatan saya yang juga sederhana ini. Kalau berbicara keindahan syair dan aura puitisnya, barangkali Ebiet G ade dan Katon bagaskara lebih mewakili. Lagu Kapankah kita kan berlabuh- nya Ebiet G adae, atau Jiwa merapuh-nya Katon membuat kita merasakan keagungan dan keindahan kata kata yang tersaji di lagu itu.
Kalau disuruh memilih, saya pribadi lebih menikmati lagu mereka dibandingkan misalnya musikalisasi puisi puisi Sapardi yang dinyanyikan oleh duet Ary Reda yang terkenal dan banyak penikmatnya juga. Karena menurut saya proses pembuatan lirik lagu yang dikombinasikan dengan musik itu lebih komplek sehingga bisa kita rasakan keharmonisan dari syair dan musiknya dibandingkan puisi aku inginyang di musikalisasi misalnya, yang menurut saya terkesan dipaksakan. Itu pandangan awam saya seorang penikmat lagu sekaligus sastra yang masih amatir ini.
Sebuah tantangan, atau minimal kebesaran hati dari komunitas sastra kita di tanah air untuk memberikan apresiasi terhadap lirik lirik lagu mereka yang indah tersebut. Berkaca di dunia internasional pun, seorang Bob Dylan yang notabene musikus pernah mendapat nobel sastra dengan pertimbangan keindahan syair syair lagunya.
Tak ada salahnya kita di tanah air melakukan hal yang sama , meskipun dalam bentuk lain. Hal ini akan memicu penyanyi penyanyi lain untuk mengikuti jejak mereka. Sehingga akan tercipta lagu dengan lirik yang indah dan tak terdengar picisan seperti yang terjadi selama ini, dan diharapkan karya mereka akan bisa melintasi zaman. Dalam artian bisa dinikmati dalam rentang waktu yang panjang dan lintas generasi. Kita tak ingin yang terjadi pada Bondan Winarno terulang lagi. Dia yang merasa sudah banyak menghasilkan cerpen, dimuat di media massa terkemuka, tapi tak mendapat apresiasi yang cukup dari kalangan sastra, sehingga beliau pernah bertekad untuk tak menulis cerpen lagi.
Kembali pada pokok pembicaraan yang ingin saya ungkapkan disini, kesederhanaan, kehidupan bersahaja. Sebuah anti dote untuk zaman yang kian bergegas dan materialistik seperti saat ini. Seorang ikon seperti Gandi pun rasanya tak punya banyak pengikut andai dia dilahirkan di zaman ini. Tapi bagi saya pribadi lagu lagu Franky seakan sudah mengurat di nadi saya. Dalam bentuk sederhana , saat minum kopi di pagi hari saya akan memilih pisang goreng, walaupun punya uang cukup untuk beli Dunkin donutmisalnya. Dan nanti andai uang saya lebih dari cukup, saya tak akan berpikir dua kali untuk melancong ke Yogyakarta bersama keluarga dibandingkan tawaran ke negeri Singa yang katanya sangat nyaman dan modern itu.
Tapi tantangan terbesar kita sebenarnya adalah menularkan sikap bersahaja itu kepada anak cucu penerus kita nanti. Saat perjalanan saya menyetel lagu lagu franky and jane, semua anak saya termasuk ibunya pasti meneriaki saya dan saya pasti kalah votting untuk pilihan lagu. Pada kesempatan lain saat anak anak disiapkan sarapan pagi dengan menu tradisional seperti pisang goreng, lempog atau yang sejenisnya. Mereka akan selalu bertanya dengan nada tak sabar, rotinya mana ? Melihat kenyataan ini saya hanya bisa mengurut dada.
Untuk sedikit melipur lara, saya akan mengenang rayuan saya pada mantan pacar yang sudah jadi pendamping hidup sekarang. Bukankah hidup ini sederhana sayang ? Seperti cintaku padamu. [T]