- Judul: Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite
- Penulis: Putu Supartika
- Penerbit: Pustaka Ekspresi
- Cetakan Pertama: Januari 2018
Menurut beberapa kalangan, khususnya anak milenial (remaja), terkadang jika mendengar kata tersebut mereka menganggap bahwa membaca cerpen atau cerita pendek, adalah kegiatan yang sangat membosankan. Mereka yang beranggapan, membaca cerpen adalah ativitas yang kurang menarik dibandingkan dengan aktivitas lainnya.
“Ah membosankan sekali!” Kalimat itu sering terdengar di kala mereka yang kurang gemar membaca (dalam hal ini cerpen) dituntut untuk membaca sebuah cerpen, entah tujuannya karena tugas ataupun tujuan lainnya. Mungkin dengan kata lain, jika karena tugas, misalnya tugas kuliah, mereka dengan terpaksa harus membacanya.
Namun, tidak semua orang (remaja) beranggapan demikian. Mereka yang gemar membaca tentunya akan senang jika mengetahui banyak bermunculan judul cerpen-cerpen terbaru. Tidak hanya untuk menambah wawasan, membaca sebuah cerpen juga dapat melatih imajinasi seseorang, dimana orang tersebut seolah-olah ikut merasakan kejadian atau berada dalam kondisidalam sebuah cerita tersebut.
Belum lama ini terbit buku kumpulan cerpen berbahasa Bali dengan judul “Joged lan Bojog Lua ane Setata Ngantiang Ulungan Bulan rikala Bintange Makacakan di Langite”. Penulisnya I Putu Supartika, seorang sastrawan muda yang sedang naik daun, Selain menulis dalam Bahasa Bali, Supartika juga menulis karya sastra berbahasa Indonesia.
Dalam buku Joged dan Bojog Lua itu terdapat berbagai judul cerpen dengan tema yang berbeda-beda di setiap judulnya. Dari sekian banyaknya judul cerpen, terdapat tiga judul cerpen yang sangat menarik untuk dibahas, khususnya menurut pandangan atau dari sisi psikologis sastra. Cerpen tersebut berjudul “Api Ane Ngabar-abar di Umahne Wayan Dana”, ada pula “Munyin Sangihan di Beten Bulane”, dan “Alih Tiang Rikala Bulane Ngenter lan Bintange Makacakan di Langite”.
Ketiga cerpen tersebut terdapat satu kesamaan yakni pada tokoh utamanya yang merupakan seorang laki-laki, hal tersebut menjadi alasan mengapa mengambil ketiga judul tersebut, tidak lain karena tertarik ingin mengulik sisi lain dari seorang laki-laki saat dihadapkan dengan suatu kondisi tertentu.
Baik, judul yang pertama “Api Ane Ngabar-abar di Umahne Wayan Dana”. Mendengar judul tersebut, akanmuncul berbagai macam tanggapan tentang jalan ceritanya. Untuk itu sangat penting bagi kita memahami isi dari sebuah cerpen. Dalam cerpen tersebut terdapat berbagai jalan cerita yang membuat kita (pembaca) ikut seolah-olah merasakan ketakutan atau kepanikan yang amat sangat, dimanasalah satu kutipan ceritanya “Wayan Dana ngejer. Munyin wargane totonan “enjut, tunjel” ngaenang bulun cikutne jering. Takut. Takut tan kadi-kadi. Awakne karasa kambang, tusing marasa apa. Peluh nenyerekcek, angkihane noos”.
Bisa dibayangkan bagaimana takutnya Wayan Dana dalam cerita tersebut, tidakdapat dijelaskan lagi, berada didalam rumah yang dibakar, pikiran yang terbayang jika dirinya akan ikut terbakar. Ya, suasana yang sangat mencekam bukan?
Cerpen kedua yang berjudul “Munyin Sangihan di Beten Bulane”, sama halnya dengan cerpen lainnya, dalam cerpen ini terdapat berbagai macam situasi,salah satunya situasi yang menggambarkan bagaimana takutnya Wayan Ranten ketika melihat ayahnya yang dianiaya begitu kejam, namun ia tidak dapat menolongnya karena terhalang usia yang masih sangat belia (lima tahun).
Kutipan ceritanya “Seket tiban anesuba liwat, kenken ia nepukin bapane. Tjejeka. Cangklinga tur paida…..?”
Bisa dibayangkan bagaimana takutnya, kesalnya Wayan Ranten melihat ayahnya diperlakukan demikian. Sungguh, keadaan dimanapsikologis seorang anak pada waktu itu sudah dapat dibayangkan akan sangat terganggu, misalnyasaja dapat memicu munculnya rasa trauma dengan sesuatu, kebencian, penyesalan, hingga dendam.
Cerpen ketiga sekaligus terakhir berjudul “Alih Tiang Rikala Bulane Ngenter lan Bintange Makacakan di Langite”. Diawal ketika kita membaca cerpen ini, terbesit di pikiran kita bahwa cerpen ini menceritakan tentang peristiwa kemalingan. Tak hayal karena awal ceritanya terdengar seolah-olah menceritakan tentang ketakutan seorang pencuri yang hendak ditangkap.
Berikut kutipannya “Maling… maling… maling… Anake ane nglanting di temboke totonan ngenggalang makecos lantas malaib”
Namun, setelah dibaca hingga akhir ternyata dugaan tersebut keliru. Berbeda dengan kedua cerpen sebelumnya, pada cerpen ini menukik tentang sebuah kisah cinta anak muda. D imana wanita yang amat dicintai akan menikah dengan pria lain. Hhhmm… Kisah cinta yang tragis. Adanya janji akan bertemu ketika dini hari dimana bulan bersinar terang, dan bintang bertaburan di langit. Namun saat waktunya tiba, ternyata mendung, tidak nampak bulan bersinar ataupun bintang yang bertaburan dilangit.
Begitu mengcengkamnya situasi tersebut, berani menaiki tembok rumah berharap sang kekasih menghampirinya, namun kenyataannya berbeda pria itu diteriaki maling oleh warga. Lengkap sekali bukan? Berada dalam situasi tersebut bisa dirasakan bagaimana paniknya diteriaki maling sekaligus merasakan kekecewaan yang amat sangat karena sebuahjanji yang mustahil untuk dia tepati.
Permainan imajinasi sang pengarang Putu Supartika sangatlah apik. Dimana ceritanya sangat sulit ditebak. Cerpennya cenderung membahas masalah-masalah atau kehidupan sosial masyarakat. Jalan cerita dari cerpen-cerpennya seolah-olah mengajak kita (pembaca) berada pada peristiwa yang terdapat dalam cerpen tersebut. Lahirnya cerpen-cerpen dari sastrawan muda Putu Supartika tentunya menambah khasanah cerpen yang ada khususnya cerpen berbahasa Bali. [T]