Kemiskinan adalah suatu kenyataan yang belum dan takkan pernah terhapuskan dari muka bumi ini. Hal itu dikarenakan konsep dan pengertian kemiskinan itu sendiri terus mengalami perkembangan, seiring dengan perkembangan zaman.
Dahulu, seseorang dikatakan miskin bila tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Tetapi kemudian berkembang dengan masuknya unsur kesehatan, pendidikan, kemampuan melaksanakan fungsi kemasyarakatan, akses informasi, dan lainnya. Belum lagi bila yang dikatakan miskin adalah kelompok masyarakat berpenghasilan terendah dari suatu kumpulan, maka ketika kesejahteraan semua masyarakat dalam kumpulan itu meningkat, tetap saja akan ada orang miskin, yaitu mereka yang termasuk dalam kelompok berpendapatan terendah.
Potret kemiskinan terbaru yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Bali pada Maret 2019 mencapai 163,85 ribu jiwa (3,79 persen). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 sebanyak 171,76 ribu jiwa, maka selama satu tahun terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 7,91 ribu jiwa. Berita ini mungkin menggembirakan karena angkanya menurun yang mengindikasikan keberhasilan program pemerintah. Tapi, jika dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, ternyata selama kurun waktu satu tahun terjadi pertambahan penduduk miskin di perkotaan sebanyak 3,95 ribu jiwa sedangkan di daerah perdesaan terjadi sebaliknya ada penurunan angka kemiskinan sebanyak 11,86 ribu jiwa.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini dapat mengurangi atau mengentaskan kemiskinan. Oleh karenanya, pembangunan ekonomi konvensional diarahkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi hingga mencapai level yang tinggi. Namun, pertumbuhan ekonomi tidak selamanya berdampak positif terhadap kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi Bali yang mencapai rata-rata 6 persen ternyata hanya menguntungkan segelintir orang. Pertumbuhan yang tidak pro poor ini tercermin dari distribusi pendapatan Bali yang tidak merata.
Bila merujuk data yang dirilis BPS Provinsi Bali, pada Maret 2014 tercatat 40 persen penduduk terbawah hanya menikmati 15,79 persen dari total pendapatan di Bali, sedangkan kelompok 20 persen teratas menikmati jauh lebih besar, yaitu sebesar 47,98 persen. Pada September 2014, kue pembangunan yang dinikmati oleh 20 persen penduduk teratas semakin besar, yaitu mencapai 50,01 persen, sedangkan kue pembangunan yang dinikmati oleh kelompok 40 persen terbawah semakin berkurang, yaitu 14,29 persen. Ketimpangan distribusi pendapatan diakibatkan dari pertumbuhan ekonomi Bali yang dominan diperankan oleh sektor tersier (jasa), dibanding sektor primer (pertanian).
Pendapatan asli daerah (PAD) yang besar dan cenderung meningkat setiap tahunnya, ternyata tidak menjadi jaminan sebuah daerah tersebut terbebas dari masyarakat miskin. Warga yang tergolong berada di garis kemiskinan masih ditemukan di Kota Denpasar. Sebagai kota metropolis, Denpasar tidak bisa terlepas dari masalah kemiskinan. Data yang dimiliki BPS menyebutkan, tahun 2013 penduduk miskin di Kota Denpasar sebesar 1,72 persen. Walau selama 3 tahun terakhir, yakni dari tahun 2011-2013 Kota Denpasar selalu menjadi daerah dengan jumlah persentase kemiskinan paling kecil dibandingkan kabupaten lainnya di Bali, tapi tahun 2013 angka kemiskinannya meningkat sebesar 0,20 persen dari tahun 2012.
Denpasar sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan, serta tempat berkumpulnya aktivitas perekonomian memberikan dampak terhadap munculnya kaum urban. Serbuan kaum urban ke Denpasar memicu timbulnya berbagai persoalan. Penyumbang angka kemiskinan di Denpasar datang dari kaum urban ini. Inilah salah satu persoalan kota Denpasar menjadi kota urban. Namun sayangnya, pemerintah kesulitan melarang masyarakat untuk tidak datang ke kota. Pasalnya, perpindahan seseorang dari satu daerah ke daerah lainnya merupakan hak pribadi.
Selama ini kota Denpasar telah menjadi tujuan banyak orang untuk mendapatkan kesejahteraan dan kenyamanan hidup. Tidak heran jika setiap tahun jumlah penduduk kota Denpasar semakin bertambah, hal ini bukan karena jumlah kelahiran penduduk kota tergolong tinggi, namun justru sebagian besar penduduknya merupakan warga migran yang berasal dari desa. Banyaknya warga desa yang melakukan urbanisasi ini bisa terjadi karena berbagai alasan. Diantaranya, terbatas dan homogennya pekerjaan yang ada di desa, dan tidak memadainya fasilitas yang ada di desa. Namun dengan banyaknya jumlah migran desa ini justru menimbulkan berbagai masalah diperkotaan karena umumnya ketika mereka hijrah ke kota mereka tidak membekali diri dengan keterampilan yang dibutuhkan untuk dapat bekerja di kota.
Banyaknya kaum urban yang tidak memiliki keterampilan menyebabkan mereka kembali harus menanggung status sebagai orang miskin. Masalah yang kemudian muncul dari kaum miskin urban ini adalah meningkatnya tindak kriminal, meningkatnya pekerja sektor informal yang mencari penghasilan lewat mengemis, memulung dan sejenisnya. Masyarakat urban ini memilih kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik, tapi kenyataanya mereka mengalami dan merasakan keadaan yang sebaliknya. Keluar dari kemiskinan desa, mereka kemudian masuk dalam kemiskinan perkotan yang justru semakin parah.
Banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat urban ini, membuat tingkat kecemasan dan kegelisahan mereka akan meningkat. Jika di desa mereka hanya cemas memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan makan, ketika di kota mereka juga merasakan kecemasan akan penggusuran tempat tinggal. Kecemasan akibat kesenjangan ekonomi dan sosial yang nyata terlihat, pendidikan yang semakin tidak terjangkau akibat biaya pendidikan yang lebih mahal diperkotaan serta kecemasan-kecemasan lainnya.
Konflik yang terjadi secara horisontal dapat terjadi antar personal maupun antar komunitas, yang umumnya berkaitan dengan wilayah tempat tinggal dan wilayah kerja. Sedangkan konflik vertikal lebih terlihat ketika terjadinya penggusuran di daerah-daerah yang ditempati oleh masyarakat miskin urban yang sebenarnya terlarang untuk ditempati. Solusi untuk mengatasi semua permasalahan ini adalah pemerintah provinsi dan kabupaten harus bersinergi menciptakan lapangan kerja serta menyediakan fasilitas yang memadai di perdesaan. Jika hal ini tidak dilakukan maka permasalahan yang selama ini dihadapi perkotaan tidak akan terselesaikan. [T]