Sebagai teman satu jurusan, satu kampus, meski bukan satu desa, saya senang ketika membaca berita Ari Anggara memenangkan pemilihan perbekel (pilkel) di Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Dan tiba-tiba, saya jadi terkenang bagaimana ia menjadi Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di Undiksha, Singaraja, saat sama-sama menjadi mahasiswa beberapa tahun lalu.
Awal mengenal dia terjadi di tahun 2011, lebih kurang sembilan tahun lalu. Perkenalan dengannya terjadi bersamaan dengan pekernalan saya bersama dunia kampus. Saat itu dia, Ari Anggara, adalah salah seorang panitia Orientasi Kehidupan Kampus (OKK) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja. Saya adalah mahasiswa baru di sana. Sebagai mahasiswa baru, makna kenal saat itu hanya sekadar kenal. Tanpa imbuhan apapun kecuali kesan yang menjengkelkan. Sebagaima umumnya perasaan seorang mahasiswa baru terhadap panitia OKK waktu itu.
Berjalan beberapa waktu, ternyata ia adalah kakak tingkat di jurusan yang sama, Jurusan Pendidikan Biologi. Lambat laun, karena ada di atap yang sama, tidak ada pilihan lain kecuali membaur, termasuk dengan kakak tingkat. Makna sekadar kenal perlahan memudar.
Kedekatan dengannya berawal dari keikutsertaan saya dalam seleksi calon anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undiksha. Saat itu, dia ketua BEM-nya. Dia mewawancarai saya dengan melontarkan beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang sebenarnya ditujukan kepada dirinya sendiri untuk yakin menerima saya atau tidak. Pada akhirnya, saya diterima.
Satu tahun menjadi anggota BEM yang dikepalai olehnya, bagi saya, punya sisi menariknya tersendiri. Banyak hal, sebagai adik tingkat, yang saya dapat darinya. Dia sosok yang memiliki kemampuan manajemen organisasi yang memadai, tekadnya kuat, inovatif, terampil berbicara, dan perfectionist.
Satu hal yang masih saya ingat hingga saat ini tentang ke-perfectionist-an itu adalah ketika saya dan seorang teman sekitar tengah malam dimintanya mencari kain ke Pasar Tingkat (nama lain Pasar Anyar) di Singaraja. Hal itu hanya karena ada noda kecil pada kain yang telah terpasang di panggung. Panggung yang esok harinya akan menggelar kuliah umum Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik, saat itu. Satu hal yang mungkin saja masih dapat dimaklumi ketua organisasi-organisasi lain. Tapi, ia melakukan yang seharusnya.
Sebagai ketua BEM, bagi saya, dia adalah sosok yang selalu berusaha agar seluruh jalannya roda organisasi ada di bawah kontrolnya. Memastikan agar semua sesuai dengan harapannya. Bahkan, soal surat menyurat sekalipun. Tidak jarang para sekretaris kepanitiaan harus bolak balik, mencetak ulang surat yang bahkan sudah ditandatangai oleh ketua panitia, karena ada sesuatu yang kurang pas dalam surat itu. Kalau sudah begitu, ketua panitia pun mesti menandatangani ulang. Di waktu-waktu semacam ini, saya merasa beruntung. Beruntung karena saya bukan sekretaris. Sekali lagi, satu hal yang mungkin saja masih dapat dimaklumi oleh orang lain. Namun, sekali lagi juga, ia melakukan yang sepantasnya.
Ia juga punya andil atas keterlibatan dan pengalaman saya di dunia organisasi kampus. Mental saya cukup banyak dilatih oleh tugas yang diberikannya. Menjadi seorang koordinator lapangan kegiatan OKK bersama satu teman lainnya yang mengatur ribuan mahasiswa baru bukan perkara sederhana bagi seorang mahasiswa semester tiga. Tapi, ia percaya saya. Ia melatih saya hingga tugas tuntas. Sampai di sini, ia adalah pelatih yang baik, juga pembagi tugas yang baik, setidaknya untuk saya. Saya selalu mendapat tugas yang saya suka darinya, kendati tidak selalu mudah.
Berdiskusi dengannya juga menyenangkan. Ia terbuka sehingga banyak ide yang tertukar, banyak pikiran yang tumbuh baru. Kendati tidak selalu sependapat dalam pandangan terhadap suatu hal, diskusi dengannya selalu membelajarkan. Keterbukaannya dalam diskusi membentuknya menjadi seorang yang terbuka dengan kritik.
Secara personal, ia orang baik. Saat di Jogjakarta, saya tinggal di rumah kost yang sama dengannya. Di sana, dia memperlakukan saya seperti bukan sekadar adik kelas, tapi adik kandung. Ia sangat membantu saya mengenal kota dengan segala macam suasananya. Sangat baik.
Di dunia kepemimpinan atau dunia politik dan demokrasi, ia menempuh karir yang unik dan langka. Saat SMA jadi Ketua OSIS, lalu di kampus jadi Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Biologi dan Ketua BEM. Lalu, sebentar lagi ia menduduki kursi kepala desa alias perbekel.
Bekal pengalamannya di OSIS, HMJ, BEM dan pekerjaan yang ia lakoni sebelumnya saya yakin akan memudahkan jalannya memimpin Desa Batuan beberapa tahun ke depan. Kendati tidak akan sama persis dengan memimpin BEM, karena yang dipimpin bukan lagi mahasiswa, melainkan warga desa dengan karakteristik beraneka rupa, saya tetap yakin. Saya percaya dia akan berusaha dengan segala daya dan upayanya mewujudkan visi-nya dalam membangun desa dan untuk memajukan segala sendi kehidupan masyarakatnya.
Setelah tulisan ini, saya akan kirimkan pesan WhatApppadanya yang kurang lebih berisi ucapan selamat dan mengingatkannya agar tidak korupsi. Karena, kebijakan anggaran dana desa yang jumlahnya tidak sedikit sebentar lagi akan berada di ujung pulpennya.
Dalam hal lain, agar tulisan ini menjadi adil, saya mencoba menerka satu kekurangan yang akan dimiliki oleh Desa Batuan setelah ia menjadi kepala desa definitif. Adalah ketiadaan sosok calon Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), yang biasanya adalah istri Kepala Desa. Barangkali ini akan menjadi tugas tambahan di daftar pertama baginya karena peran ketua Tim Penggerak PKK di suatu desa cukup vital. Saya, dalam hal ini, hanya bisa mendoakan.
Walaupun sampai hari ini belum ditemukan bakal calon Ketua Tim Penggerak PKK, tetap ada satu hal yang sangat perlu dibanggakan. Saya hampir lupa, bahwa Ari Anggara adalah Kepala Desa terpilih dengan usia termuda di Kabupaten Gianyar. Menurut berita yang saya baca, usianya 28 tahun, kendati versi saya usianya mungkin lebih dari itu. Mungkin.
Jadi, jika Presiden Jokowi punya staf khusus anak muda, Gianyar punya kepala desa anak muda. Jadi, sekali lagi, meneruskan tren yang dibuat oleh Presiden Jokowi dengan menempatkan anak-anak muda di posisi strategis, Ari Anggara adalah contoh lebih dekatnya. Dia adalah sinyal terdekat bahwa hari ini anak muda sudah bisa memegang peran di lingkungannya. Berperan dengan segala macam bentuk ide dan inovasi sesuai keadaan yang harus diakusi telah berubah deras. Berperan untuk kemajuan kehidupan masyarakat.
Apakah setelah ini saya akan menjadi Kepala Desa? Saya juga anak muda. Saya dua tahun lebih muda darinya. Juga mengingat sepertinya saya punya beberapa kesamaan dengan Ari Anggara. Dia pernah jadi ketua OSIS, saya juga. Dia pernah jadi wakil ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Biologi Undiksha, saya juga. Dia mendapat beasiswa untuk lanjut studi magister ke Jawa, saya juga. Dia menang di pemilihan ketua BEM, saya kalah.
Maaf, yang terakhir ternyata bukan persamaan, mungkin perbedaan itu yang mengharuskan saya tidak mengikuti jejaknya dalam hal ini.
Tunggu dulu, ada satu hal yang ternyata lebih penting, yang sama sekali tidak mengizinkan saya dengan alasan apapun untuk jadi Kepala Desa. Status tempat tinggal saya bukan desa, tapi kelurahan. Haha. [T]