2 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Jiwa-Jiwa Laut

Livia HildabyLivia Hilda
January 17, 2020
inCerpen
Jiwa-Jiwa Laut

Jiwa-jiwa Laut/ Ilustrasi karya Made Dwita Kartini

26
SHARES

Cerpen: Livia Hilda / Ilustrasi: Made Dwita Kartini


Ibu duduk menghadap laut di depan rumah seperti biasa. Di dekat kakinya terdapat canang berisi bunga warna-warni dan dua batang dupa tertancap di pasir. Senja sore itu terlihat berbeda. Tak ada langit kemerahan, tak ada burung camar yang terbang di atas permukaan laut, bahkan matahari juga tak terlihat di langit. Gumpalan awan gelap menghiasi langit sore itu. Ombak liar dan besar mendekat, lalu dengan cepat menggulung canang dan dupa di dekat kaki ibu. Kaki ibu basah. Pasir hitam yang terbawa ombak menempel di kakinya. Namun ibu tetap duduk dengan tenang sambil memejamkan mata, seolah ia menikmati senja yang tak ramah sore itu.

“Ibu kok masih di sini? Anginnya kencang, Bu. Nanti masuk angin lho!” kataku dari balik punggung ibu. Matanya masih terpejam. Roknya basah. Ibu gemetar kedinginan. Kudekati ibu, lalu kutarik tangannya. Kuajak Ibu masuk ke rumah. Ibu malah menatapku tajam dan menarik kembali tangannya.

“Masuk yuk, Bu? Tuh lihat, rok ibu sudah basah!” kataku lagi.

“Ibu masih menunggu seseorang,” kata ibu akhirnya.

“Kakek, ya? Kan nenek bilang kakek sudah diambil laut, Bu?”

Dulu setiap malam kakek selalu pergi ke tengah laut. Saat senja, kakek mendorong sampannya ke lautan, menaiki sampan itu, dan kembali di tengah malam dengan sampan penuh ikan berbagai ukuran, udang, cumi, kepiting, sampai gurita. Namun pada suatu malam laut di depan rumahku menjadi liar. Ombak hampir masuk ke rumah. Angin keras merubuhkan pepohonan di belakang rumah dan membawa lari atap rumah warga. Pantai di depan rumahku jadi berantakan. Sampah berserakan di bibir pantai. Ranting pohon, dedaunan, atap rumah, dan sampan nelayan yang rusak akibat diterjang ombak juga tergeletak di mana-mana. Tetanggaku menangis karena rumah mereka rusak. Keluargaku juga menangis. Tetapi bukan menangisi rumah yang rusak, melainkan karena kakek tak kembali.

“Ombaknya makin besar! Ayo masuk, Bu!” Aku menarik tangan ibu lagi. Tapi ibu malah balas menarik tanganku sampai aku jatuh terduduk. “Kau tahu apa yang membuat ibu betah duduk di sini walau ombaknya besar?” tanya ibu. Aku diam. Aku tak tahu.

“Ombak ini adalah jiwa-jiwa manusia yang sudah meninggal, Jet,” kata ibu seraya menyentuh ombak yang berdatangan ke kakinya.

“Tubuh orang yang sudah meninggal akan dikubur atau dikremasi, lalu jiwanya akan dibawa malaikat ke laut dan menjadi bagian laut. Kau tahu? Laut sebenarnya bukan berisi air. Setiap tetes air di laut adalah jiwa orang-orang yang sudah meninggal. Kita ditipu laut. Ia menutupi tubuhnya dengan jubah agar terlihat seperti air. Sengaja begitu, agar kita tak sedih ketika melihat jiwa orang yang kita sayang.

“Jiwa yang tinggal di tubuh laut berwarna putih seperti manekin di toko baju. Kulitnya tak berwarna coklat, kuning langsat, atau hitam seperti saat jiwa itu masih hidup di bumi. Malaikat kematian mengecat mereka menjadi putih bersih agar mereka lupa dari ras, etnis, atau golongan mana mereka berasal. Mereka menjadi seragam di sana.” Aku terperangah. Ombak datang silih berganti membasahi kakiku. Aku jadi membayangkan jiwa-jiwa laut itu membelai kakiku.

 “Ombak besar itu adalah bentuk dari mereka yang berlomba mencapai pesisir, Jet. Mereka semua merindukan pasir karena pasir adalah batas antara laut, tempat mereka hidup, dan daratan, tempat manusia tinggal. Mereka berharap bisa bertemu dengan manusia yang mereka sayang di pasir itu. Jiwa-jiwa itu bergerak seperti perenang. Tangan kanannya dinaikkan ke atas, diturunkan, lalu ia memegang kepala jiwa yang ada di depannya dan mendorong badannya ke depan dengan kepala itu sebagai tumpuan. Begitu juga dengan tangan kirinya. Kedua tangan itu bergerak bergantian sampai ia berhasil mencapai pasir. Tetapi ketika jiwa itu sudah mencapai pasir, ia hanya bisa mengelus kaki orang yang ia rindukan untuk beberapa detik. Lalu ia akan kembali ke tengah laut dengan cepat karena kakinya ditarik jiwa-jiwa lain.

 “Ibu mempersembahkan canang berisi bunga warna-warni untuk jiwa-jiwa itu, Jet. Bunga ini akan menjadi santapan mereka. Sedangkan dua batang dupa yang menyala ini sebagai petunjuk keberadaan ibu. Ibu akan menyebutkan nama jiwa yang ingin ibu panggil sebelum dupanya ibu tancapkan ke pasir. Dari tengah laut itu, jiwa yang  ibu panggil akan melihat asap dupa dan mereka akan mengikuti asap itu untuk menuju ibu.”

“Trus kenapa dupanya ada dua batang, Bu? Bukannya satu saja cukup? Nenek biasanya ngajarin Ajet pakai satu dupa saja tiap sembahyang, Bu”

“Ibu mengirim sinyal untuk dua jiwa, Jet.”

Aku tercengang. Ternyata tak hanya kakek yang ibu tunggu kehadirannya tiap senja. Siapa lagi yang ibu tunggu? Tiba-tiba ingatanku melompat pada sebuah peristiwa yang aku simpan sendiri dalam kepala.

Malam setelah kakek menghilang, kulihat ibu sendirian di teras rumah dengan sekantong kresek hitam. Di bawah pohon kelapa, diam-diam ibu mengeluarkan isi dari kantong itu. Betapa terkejutnya aku karena yang ibu keluarkan adalah tulang belulang dan tengkorak manusia. Entah tulang siapa itu aku tak tahu. Ibu menggali tanah dan menguburkan tulang-tulang itu di sana. Ibu lalu melihat keadaan sekitar dan berjingkat memasuki rumah. Mungkinkah jiwa orang itu yang ibu tunggu?

“Yang pertama pasti kakek. Yang kedua siapa, Bu?”

“Pembuat cerita ini.”

Bulan menggantung di langit. Di luar ombak mengganas. Deburan ombak terdengar sangat dekat. Suara angin berlarian di atap rumah seperti kucing berkejaran, suara gesekan dedaunan dari pepohonan di belakang rumah, suara dahan patah dan terbanting ke tanah, suara sampan menabrak tiang rumah, dan suara deburan ombak bercampur dalam telingaku. Ingatanku jadi terseret ke malam kakek menghilang. Aku tak bisa tidur. Aku takut keadaan laut akan lebih ganas dari malam itu. Pikiranku juga masih melayang pada cerita ibu tentang jiwa-jiwa laut, orang yang membuat cerita itu, juga kuburan tulang belulang di teras rumahku. Aku sangat penasaran. Kupaksa ibu bercerita lebih banyak, tapi ibu lebih memilih merahasiakannya.

Tengah malam kubangunkan nenek untuk menanyakan rahasia itu. Nenek pasti tahu. Nenek menggeliat, ia tak mau bangun. Ia malah memunggungiku.

“Nek, nenek tau cerita jiwa-jiwa laut?” tanyaku langsung. Kulihat mata nenek terbuka. Namun mata itu terpejam lagi. Nenek merapatkan selimutnya.

“Nek, ini penting! Dulu aku lihat ibu mengubur tulang dan tengkorak di teras rumah. Tadi sore ibu juga cerita tentang jiwa-jiwa laut. Ibu juga bilang kalau ibu menunggu seseorang selain kakek.” Mata nenek terbuka lagi. Ia langsung bangun dan duduk menghadapku.

“Tolong kau rahasiakan ini dari ayahmu. Kalau ayah tahu, ayah bisa marah.” Aku bingung. Kenapa harus dirahasiakan dari ayah? Tapi akhirnya aku mengangguk, menurut.

“Tulang yang dikubur di teras rumah dan orang yang ditunggu ibu tiap senja itu Teja,” ucap nenek. “Teja itu pacar ibumu saat SMA. Dia juga yang membuat cerita jiwa-jiwa laut. Tepat sebelum ia mati, ia berjanji pada ibumu, kalau ia akan datang sebagai jiwa laut saat senja. Itulah kenapa ibumu suka duduk sendiri di tepi pantai tiap senja. Lalu saat kakek menghilang, Ibumu sangat sedih. Ia sudah kehilangan dua lelaki yang ia sayang, Teja dan ayahnya. Ia jadi tak bisa berpikir waras. Ia pun memindahkan kubur Teja ke teras rumah agar ia bisa selalu merasa dekat dengannya. Oh ya, asal kau tahu, ibumu ngotot memberimu nama Ajet karena itu kebalikan dari nama Teja. Ayahmu tidak tahu ini. Kau juga sangat mirip dengan Teja. Caramu berjalan, tertawa, sampai makanan kesukaanmu betul-betul seperti Teja! Tak heran banyak yang berpikir kalau kau ini reinkarnasi dari Teja. Sekarang ayo tidur! Sudah malam!”

Teriakan ibu memenuhi rumah. Aku terbangun dari tidurku. Ibu berteriak lagi. Ia meraung, menangis. Lekas aku keluar untuk melihat apa yang terjadi. Kudapati ibu tersungkur di samping meja makan dan ayah berdiri di depannya dengan wajah geram.

“Dasar kau perempuan tak tahu diri! Rupanya kau mengubur tulang Teja di teras rumah kita, ya? Pantas saja dulu kubur Teja tiba-tiba kosong! Ternyata kau malingnya! Kalau tadi malam tak ada badai yang merusak kubur itu, mungkin sampai tua aku tak akan tahu kau menyimpan mayat Teja!” kata ayah geram. “Kau masih mencintai Teja kan? Pantas saja tiap senja kau selalu duduk di pinggir pantai. Pasti kau menunggu orang itu kan?”

“Tidak, Mas! Sungguh!”

“Aku tak percaya omonganmu, Nari! Kalau kau masih mencintai Teja, biar kubantu kau menyusul Teja!” Ayah mengayunkan tangannya hendak memukul ibu dengan tongkat yang ia genggam. Sontak aku berlari ke arah ibu dan menjadikan badanku sebagai tamengnya.

Aku melihat diriku terkapar di pelukan ibu. Kepalaku berdarah. Ibu menangis. Tongkat di tangan ayah terjatuh.

Di sampingku muncul seorang berjubah hitam. Ia menggandeng tanganku dan mengajakku menyelami lautan seperti ikan duyung. Aku dibawa masuk ke sebuah kerang raksasa. Ia mengambil kuas dan sekaleng cat putih, lalu mengoleskan cat itu ke seluruh tubuh dan setiap helai rambutku. Aku terlihat seperti manekin. Aku menjadi putih seluruhnya.

Kerang raksasa terbuka. Tiba-tiba saja penglihatanku terhadap laut berubah total. Laut bukan lagi air yang berisi ikan dan kawanannya. Laut berubah menjadi miliaran jiwa putih sepertiku yang berenang tak tentu arah. Saat tangannya diturunkan, mereka memegang kepalaku dan mendorongku ke belakang. Mereka menjadikanku tumpuan. Aku tenggelam di antara jiwa-jiwa itu. Aku berusaha menggerakkan tubuhku di tengah himpitan jiwa-jiwa yang terus bergerak. Aku bergerak seperti penyelam handal yang hendak naik ke permukaan. Tanganku menerobos jiwa-jiwa itu. Kakiku mendorong mereka. Hingga akhirnya kepalaku timbul di permukaan.

Asap dupa berbentuk namaku terlihat di permukaan. Di daratan sana, aku melihat seorang perempuan duduk menangis di sebelah dupa sambil memeluk tubuh bocah lelaki. Aku mengenalinya. Lantas aku bergerak seperti jiwa-jiwa lainnya. Aku menggerakkan tanganku ke atas dan ke bawah. Aku menekan kepala jiwa-jiwa sebagai tumpuan untuk maju. Aku bergerak mengikuti asap dupa untuk menuju perempuan yang sangat kukenali itu. Di laut ini aku tak lagi mengenalnya sebagai ibu. Melainkan sebagai kekasihku. Ternyata akulah Teja yang berjanji menemui Nari saat senja. [T]



Profil ilustrator:
Made Dwita Kartini, kelahiran Singaraja, 17 Januari 1998. Saat ini kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha.
Akun sosmed : instagram : rottenringo

Tags: Cerpen
Previous Post

Mantra Membuka Lontar – Catatan Harian Sugi Lanus

Next Post

Orang Nusa Penida Sebut “Ke Bali”, Kekeliruan Geografis atau Merasa Tak Bagian dari Bali?

Livia Hilda

Livia Hilda

Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Pendidikan Ganesha. Tinggal di Singaraja, Bali. IG: @liviahilda

Next Post
Orang Nusa Penida Sebut “Ke Bali”, Kekeliruan Geografis atau Merasa Tak Bagian dari Bali?

Orang Nusa Penida Sebut “Ke Bali”, Kekeliruan Geografis atau Merasa Tak Bagian dari Bali?

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

by dr. Putu Sukedana, S.Ked.
June 1, 2025
0
Screen Time vs Quality Time: Pilihan Berkata Iya atau Tidak dari Rayuan Dunia Digital

LELAH dan keringat di badan terasa hilang setelah mendengar suaranya memanggilku sepulang kerja. Itu suara anakku yang pertama dan kedua....

Read more

Google Launching Veo: Antropologi Trust Issue Manusia dalam Postmodernitas dan Sunyi dalam Jaringan

by Dr. Geofakta Razali
June 1, 2025
0
Tat Twam Asi: Pelajaran Empati untuk Memahami Fenomenologi Depresi Manusia

“Mungkin, yang paling menyakitkan dari kemajuan bukanlah kecepatan dunia yang berubah—tapi kesadaran bahwa kita mulai kehilangan kemampuan untuk saling percaya...

Read more

Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

by Made Chandra
June 1, 2025
0
Study of Mechanical Reproduction: Melihat Kembali Peran Fotografi Sebagai Karya Seni yang Terbebas dari Konvensi Klasik

PERNAHKAH kita berpikir apa yang membuat sebuah foto begitu bermakna, jika hari ini kita bisa mereproduksi sebuah foto berulang kali...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu
Panggung

Pramana Experience Luncurkan Rasayatra Edisi Kedua: Manjakan Indera, Sentuh Kesadaran Historis — Koneksi Tamu, Tradisi, Waktu

HUJAN itu mulai reda. Meski ada gerimis kecil, acara tetap dimulai. Anak-anak muda lalu memainkan Gamelan Semar Pagulingan menyajikan Gending...

by Nyoman Budarsana
June 1, 2025
Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Perayaan Penuh Kelezatan di Ubud Food Festival 2025

MEMASUKI tahun ke-10 penyelenggaraannya, Ubud Food Festival (UFF) 2025 kembali hadir dengan semarak yang lebih kaya dari sebelumnya. Perayaan kuliner...

by Dede Putra Wiguna
May 31, 2025
ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”
Panggung

ft. moreNarra di Acara “ASMARALOKA”—Album Launch Showcase dari Arkana: “Ya, Biarkan”

MENYOAL asmara atau soal kehidupan. Ada banyak manusia tidak tertolong jiwanya-sakit akibat berharap pada sesuatu berujung kekecewaan. Tentu. Tidak sedikit...

by Sonhaji Abdullah
May 29, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co