“Lebih baik padam daripada pudar.” (Kurt Cobain-Nirvana)
Dalam surat yang ditinggalkannya sebelum bunuh diri, Kurt Cobain menuliskan sebaris lirik lagu penyanyi lain dari Canada, Neil Young berjudul Hey Hey, My My (Into the Black), yaitu “It’s better to burn out than to fade away.” Saat itu, di tahun 1994 yang menggemparkan dunia karena tindakan bunuh dirinya, band grunge asal Seattle, Nirvana, di mana Kurt Cobain sebagai vokalis dan gitarisnya, adalah band yang sedang berada pada puncak popularitasnya. Lagu-lagunya, dari hari ke hari, merajai tangga-tangga lagu radio di seluruh dunia.
Mereka menjual puluhan juta album rekaman dan dibanjiri tawaran manggung di sana sini. Lalu ada apa dengan Kurt? Mestinya ia bergelimang harta dan ketenaran. Dipuja di mana-mana. Sayang sekali, itu semua tak membuatnya bahagia, ia depresi berkepanjangan dan kian dalam. Lalu menemukan terapinya sendiri, menjejalkan peluru senapan laras panjang ke dalam kepalanya. Ketimbang menikmati cemerlang kesuksesannya, Kurt memilih terbenam dalam mimpi buruk tentang ketenarannya yang pasti akan meredup. Siapa bilang bunuh diri karena kemiskinan dan kegagalan?
Tak sedikit orang lalu mengaitkan bunuh diri yang dilakukannya karena kerapuhan jiwa seorang Kurt Cobain lantaran kegemarannya menggunakan narkoba. Cukup mudah memahami efek narkoba terhadap mental pemakainya, ia memang memberi risiko lebih besar kepada seseorang untuk mengambil tindakan bunuh diri. Namun demikian, tak terhitung artis-artis lain yang juga adiksi namun tak sampai bunuh diri. Band metal Motley Crue misalnya, oleh majalah Rolling Stones bahkan diberikan predikat sebagai band yang “More sex, drugs dan rock n’roll”.
Hingga kini mereka tetap tenar, kaya dan bahagia. Fenomena bunuh diri menjadi kian berkabut untuk dipahami. Apalagi jika kita pernah mendengar seseorang yang bernama Santo Maximilian Kolbe. Ia menyerahkan nyawanya, hayatnya untuk diakhiri sebagai salah seorang martir paling masyur sepanjang sejarah manusia. Berkat pengorbanannya yang melampaui kekuatan hati setiap manusia, ia pun telah dinobatkan menjadi orang suci. Ia “bunuh diri” dengan menyerahkan nyawanya sebagai pengganti tahanan Yahudi yang akan dieksekusi oleh NAZI. Serupa tapi tak sama, bunuh diri yang didasari doktrin atas sebuah keyakinan radikal juga banyak terjadi dalam bentuk bom bunuh diri. Pengikut kelompok keyakinan radikal seperti Jemaah Islamiyah atau ISIS, telah melakukan aksi bunuh diri yang jumlahnya tak terhitung di seluruh dunia.
Pekan ini, masyarakat Bali dikagetkan oleh berita kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang dokter, wanita berusia 30 tahun. Motif peristiwa yang menyedihkan ini masih dalam penyelidikan. Namun demikian, kasus bunuh diri yang dilakukan oleh seorang dokter dianggap sangat langka bahkan dianggap tak mungkin terjadi.
Kenapa? Sebab profesi ini memang dikaitkan dengan profil orang-orang yang sangat dekat dengan kesehatan, fisik maupun mental. Tak hanya mendalami ilmu kesehatan/medis, seorang calon mahasiswa pun telah menjalani test psikologi saat mau masuk sekolah kedokteran. Ini cukup ketat, mengingat, mirip seperti tentara yang memegang senapan pembunuh atau pilot yang menentukan keselamatan hidup orang banyak, seorang dokter pun boleh dikata punya otoritas “memegang nyawa” orang lain. Maka seorang dokter wajib hukumnya memiliki fisik dan mental yang sehat. Ini pun sesuai dengan riset yang mengaitkan pemicu bunuh diri terbanyak yaitu keadaan depresi dengan tingkat pendidikannya.
Data Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan 2018 menunjukkan, latar belakang pendidikan penderita depresi beragam, paling banyak mereka yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan (8,2 persen) dan mereka yang tidak tamat SD atau MI (8,1 persen). Dilihat dari latar belakang ekonomi, mayoritas dari mereka tidak bekerja (8,1 persen) dan nelayan (6,9 persen). Maka kasus bunuh diri yang dilakukan oleh dokter tersebut memang menjadi tak mewakili kecenderungan umum ini. Namun begitulah, tak ada yang absolut dalam fenomena biososial, semuanya terikat oleh hukum statistik yang selalu memberi peluang akan kemungkinan terkecil sekalipun.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Provinsi Bali menempati kasus bunuh diri tertinggi ketiga di Indonesia, setelah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jelas ini harus menjadi perhatian kita bersama untuk mencegahnya. Seorang kawan, dokter ahli jiwa (psikiater) dr Sri Diniari SpKJ, memberi saran yang sangat praktis akan hal ini. Tak hanya kesehatan fisik, kesehatan mental pun sudah harus kita bangun sejak masa kanak-kanak. Selama ini kita lebih terpusat membangun fisik mereka dengan kegiatan olah raga. Bagaiman menempa mental mereka? Rupanya bukan hal yang sulit untuk melakukannya.
Menurutnya, kita bahkan dapat mulai dengan hal-hal kecil yang selama ini kita sering lewatkan dan kurang disadari. Ia menyebutnya sebagai “imunisasi mental”. Latih kemandirian, latih keterampilan hidup dasar anak-anak kita seperti mencuci baju, piring, nyapu dan lain-lain. Perlu dilatih juga untuk pulang pergi kesuatu tempat sendiri. Faktanya anak-anak sekarang sudah gede pun boboknya masih sama orang tuanya atau baru mau ikut kegiatan masa orientasi sekolah (MOS) dibuatkan surat sakit karena kasihan kalau nanti kecapekan. Bahkan cuma karena bertengkar kecil saja, namanya dunia anak-anak, mamaknya yang maju. Sikap dan tindakan orang tua yang “terlalu menyayangi” ini kelak dapat melemahkan sistem imun mental dan jiwa mereka ketika sudah menjadi besar dan dewasa.
Sepertinya saran sejawat saya tersebut mirip sekali dengan gagasan mendidik anak yang terdapat dalam kitab Nitisastra. Ayah saya pun sangat sering mengutip sloka 3.18 yang aslinya berbunyi : laalayet panca varsani, dasa varsani taadyet, praapte to sodase varse, putram mitravadaacaret. Terjemahannya: “Asuhlah anak dengan memanjakannya sampai berumuh lima tahun, berikanlah “hukuman” (maksudnya pendidikan disiplin) selama sepuluh tahun berikutnya. Kalau ia sudah dewasa (maksudnya sejak remaja) didiklah dia sebagai teman”. Dan tentu artinya, saat mereka sudah berumah tangga, mereka harus dilepaskan memilih jalan kehidupan mereka bersama pasangannya, tak semestinya kita campuri lagi. Yakinilah, suatu hari mereka akan berkunjung bersama cucu-cucu kita dalam ceria dan bahagia, bukan dalam kemuraman duka. [T]