Di Galeri FBS Undiksha, 26 Desember 2019 pukul 10.00 WITA, dibuka Pameran Studi Khusus Mahasiswa Prodi Pendidikan Seni Rupa Undiksha Angkatan 2016. Pameran berlangsung hingga 6 Janurai 2020. Inilah catatan pengantar dari dosen sekaligus curator, Hardiman:
_____
Teoritukus seni terkemuka, Herbert Read, dalam bukunya yang telah menjadi klasik,The Meaning of Art, mengungkapkan bahwa ciri khas dari suatu periode itu ditentukan sebagian besar oleh kekuatan material yang berhubungan dengan ras, iklim, ekonomi,dan sosial.
Herbert Read memberi contoh untuk menggambarkan gejala ini dalam bentuknya yang paling sederhana dapat dikatakan bahwa suatu daerah dimana banyak terdapat kayu akan mengembangkan seni arsitektur kayu, dan seni kriya yang berurusan dengan kayu. Dengan sendirinya memcapai perkembangannya yang tertinggi sebagaimana Skandanavia. Bahwa Gereja Gotik misalnya, tidak semata-mata bangunan dari batu, melainkan juga merupakan ‘transendentalisme dalam batu’.
Usaha untuk menerangkan evolusi perkembangan katedral Gotik dari sudut mekanik misalnya persilangan dua lengkung bundar melahirkan langit-langit melengkung, dengan demikian rusuk-rusuk darinya diperkuat dan mengarah pada lengkung-lengkung tajam, lengkung tajam kemungkinan untuk mendapatkan kertinggian yang lebih, yang oleh karenanya menyangkut perlunya penopang dari luar. Dan, penopang itu adalah sederet jawaban dari problematika arsitektur.
Kendatipun demikian, Herbert Read mengingatkan bahwa kita tersentuh oleh adanya kesatuan yang spiritual sifatnya , dan perasaan kita dirangsang oleh kesadaran akan keindahan yang menyangkut suatu yang lebih luas dari sekadar solusi atas problem-problem teknis semata.
Pandangan Herbert Read itu dalam contoh mikro bisa kita saksikan di ruang pameran ini. Sejumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Studi Khusus dengan konsentrasi seni lukis, seni patung, seni grafis, kriya kayu, kriya logan, kriya keramik, kriya tekstil, desain komunikasi visual, dan fotografi, berhadapan dengan problematika material. Bahwa cat air yang transparan misalnya harus ditaklukan oleh mahasiswa dengan mengoptimalkan karakter transparan tadi. Begitu halnya dengan karakter lino yang plastis, MDF yang keras dan ekspresif, tanah liat yang plastis dan elastis, kayu yang tajam dan padat, logam yang tajam dan kaku, fotografi yang bergantung pada intensitas cahaya, dan sejumlah karakter juga problematika material lainnya adalah persoalan yang dihadapi para mahasiswa ini.
Para mahasiswa ini berkerja memakai material dengan tujuan untuk menyatakan sesuatu. Tetapi di lain sisi mereka berhadapan dengan persoalan material yang jelimet, tidak mudah, tidak ramah, dan kompleks. Yang kemudian menjadi fukus mereka adalam persoalan memecahkan karakter material yang ruwet itu. Eksperimen dan ekplorasi material pun menjadi permainan yang mengasyikan. Akibatnya adah temuan pemecahan material kerap diangap sebagai pencapaian estetik. Anggapan ini tentu saja keliru. Sebab dalam kaidah seni. Kualitas seni tidak ditentukan oleh kekuatan bahan, lama pengerjaan, tingkat kejelimetan, tema besar, dan serupanya.
Bisa dimengerti mengapa paramahasiswa ini merasa memproleh pencapaian karena telah memecahkan persoalan material. Inilah tahan awal berkenalan dengan material adalah penaklukan itu. Mereka mengira, setelah menaklukkan itulah pencapaian. Padahal cara lain, metode lain, teknik lain, dan waktu lain akan pula melahirkan persoalan lain. Intinya problematika material tak akan final, ia selalu tumbuh menjadi problematika baru. Begitu seterusnya. Tak berkesudahan.
Lalu, targer untuk menyatakan sesuatu bagaimana? Tampaknya perkara isi ini memang terabaikan karena konsentrasi pada material tadi. Untuk menyatakan sesuatu itu akhirnya hanya muncul pada konsep sebagai latar penciptaan atau sebagai horizon harapan. Dan, agar kelihatan ‘angker’ alias ‘serem’ para mahasiswa ini mengambil sisi filosifi dari subject-mater karyanya yang berkembang di lingkungan sosialnya. Dan, ini tak terbaca dalam karyanya.
Begitulah proses belajar mempertemukan bentuk dengan isi karya seni secara akademis memang selain dibutuhkan tingkat kecerdasan estetik, juga dibutuhkan waktu yang panjang. Para mahasiswa ini baru melangkahkan kakinya ke dunia seni sesungguhnya. Mereka belum menginjak, baru melangkah. Sang waktu di ujung masa nanti sedang menunggu kalian, mahasiswa pend. seni. Datanglah pada masa depanmu.[T]