Pisau telentang di meja dapur. Di sampingnya, Mangga terkapar tak bergeming. Wajah Pisau merona merah cemburu pada langit sore. Ulat menggeliat cemas di daging Mangga menunggu irisan Sang Pisau. Tiba-tiba tangan berjemari lentik mengambil Sang Pisau. Ia tancapkan membelah Mangga itu.
“Aku takkan makan Mangga ini.”
Jemari lentik itu meletakkan kembali Sang Pisau di meja. Di sampingnya, terdengar teriakan Ulat sayup-sayup di antara belahan Mangga.
“Nyaris saja tubuhku ikut terpotong.”
Ulat menggerak-gerakkan tubuhnya ke bagian daging Mangga yang berair.
Rona merah wajah Sang Pisau di antara belahan Mangga. Kecemburuannya pada langit sore telah sirna.
“Aduhhh. Ada apa dengan biji tubuhku?”
Mangga bangun meringis dari lamunannya. Ia merasakan perih di biji tunasnya.
“Kamu tadi tertancap Sang Pisau,” ucap Ulat yang masih menggerogoti daging Mangga. Ia mengerti kalau Si Mangga baru sadar akan keadaan dirinya.
“Mengapa tidak kamu cegah Sang Pisau menancap di biji tubuhku? Aku sudah memberikan semua isi dagingku kepadamu,” keluh Si Mangga.
“Mana mungkin aku berani menghadang kegarangan Sang Pisau yang sudah dirasuki oleh ketamakan roh manusia,” sanggah Ulat membela diri.
“Paling tidak, kamu berteriak agar didengar oleh Sang Pisau,” gerutu Si Mangga.
“Tahukah kamu, Mangga? Kalau sudah berada di genggaman jemari manusia, Sang Pisau akan mati rasa tak mendengar apupun itu,” terang Ulat.
“Ternyata begitu Sang Pisau,” gumam Si Mangga meringis.
“Tahukah kamu, Mangga? Manusia adalah mahluk yang aneh. Ia mengumpulkan semua hal yang tidak dibutuhkannya, tetapi menghancurkan semuanya sebagai kekenyangan batinnya,” ucap Ulat mempertegas pemikirannya.
Sang Pisau masih telentang di meja dapur yang telah kehilangan jati dirinya. Di sebelahnya, Si Mangga dan Ulat termenung menunggu nasibnya di dapur mewah itu.
Si tangan jemari lentik menggenggap kantong plastik. Ia letakkan plastik itu dengan mulut menganga yang siap menelan apapun yang masuk.
“Seharusnya, aku tidak salah memilihmu. Mengapa kamu harus terbawa ke dapurku ini?”
Si Mangga dimasukkan ke dalam kantong plastik itu. Tanpa perlawanan, Si Mangga dan Ulat terbungkus plastik. Udara tak diijinkan lagi masuk memberikan napas kehidupan bagi Ulat. Ulat hanya berteriak-teriak memantulkan suaranya sendiri di dinding plastik itu. Jika pun suaranya mampu menembus dinding plastik itu, suara Ulat tidak akan pernah dimengerti oleh manusia berjemari lentik itu. Manusia berjemari lentik itu hanya akan mengerti suara keuntungan.
“Mangga, apa yang harus kita lakukan?” ucap Ulat mangap-mangap mulai kehabisan udara.
“Kita tidak perlu melakukan apapun. Kita tidak sedang berada di tanah kehidupan, tetapi kita berada di tangan puncak kejeniusan Manusia.” sahut Si Mangga seolah-olah sudah sadar telah mencapai nirwana. Nirwana yang membawa dirinya tak lagi bereinkarnasi menjadi tunas yang tumbuh besar dan berbuah manis. Buah manis yang akan selalu ditunggu-tunggu oleh kicauan merdu burung-burung. Mungkin saja, semua kicauan burung sudah diawetkan oleh para manusia jenius.
Weessssssssssssss, buuuuk! Bungkusan plastik itu melesat di antara rerumputan di tanah lembab.
“Aduhhh, apa yang menimpaku ini?” ucap anak-anak cacing kaget.
“Nak, menjauh dari bukusan benda itu,” pinta Ibu Cacing berteriak dari kejauhan.
“Memang kenapa, Bu?” tanya anak-anak cacing bingung dengan permintaan ibunya.
“Itu adalah plastik, Nak. Jika sampai menyentuh dan menelan plastik itu, kamu akan sakit perut seperti ayahmu. Ayahmu akhirnya meninggalkan kita,” terang Ibu Cacing.
“Ya, Bu.” Si anak-anak cacing menjauh dari bungkusan plastik itu. Bungkusan yang mungkin tak pernah ia ketahui isinya.
“Nak, ayo kita pindah dari sini!” pinta Ibu Cacing.
“Mengapa harus pindah dari sini, Bu? Di sini masih banyak makanan, Bu,” protes si anak-anak cacing.
“Jika kita terus ada di tempat ini, lama-kelamaan sampah plasti akan menumpuk di sini,” jawab Ibu Cacing.
“Mengapa bisa numpuk banyak sampah, Bu? Padahal itu cuman ada satu plastik,” si anak-anak cacing masih protes.
“Kalau sudah sekali ada yang membuang sampah plastik di sini, sampah-sampah plastik lainnya akan ikut dibuang di sini,” terang Ibu Cacing memperjelas.
“Oh, begitu ya Bu.”
Si Cacing-cacing mulai berkemas-kemas siap pindah mencari tempat baru.
“Nak, kita harus pindah ke tempat tidak ada manusianya. Jika kita tinggal di dekat pemukiman manusia, bencana akan selalu lebih cepat mendekat,” ucap Ibu Cacing.
Si anak-anak Cacing hanya bisa mengangguk tidak mengerti dengan maksud perkataan ibunya. Mereka pergi jauh mencari hutan belantara dengan harapan tak terusik. Tak terusik oleh penyakit kangker bumi. Penyakit kangker yang paling menakutkan merupakan manusia.
Buuk! Sebuah bungkusan plastik bergulung-gulung jatuh terkapar di dekat Mangga.
“Suara apa itu? Seperti ada yang jatuh?” ucap Ulat kaget menggeliat lemah. Mangga membuka matanya, “Itu teman baru kita.”
“Mengapa semua ini terjadi kepada kehidupan kita?” keluh Ulat.
“Selama kita dipikirkan sebagai bagian dari makanan dan keuntungan manusia, maka selama itu kita dianggap sebagai penyakit yang dibuang begitu saja. Anggapan itu akan menjadi kenyataan sesuai harapan manusia,” terang Mangga seolah-olah sudah melihat masa depan manusia.
“Oh, sungguh menyedikan kita hidup di tengah kejeniusan manusia,” gumam Ulat.
Puluhan tahun Ulat dan Mangga terkurung di tempat itu. Silih berganti, ia kedatangan teman senasib. Tidak membutuhkan waktu ratusan tahun, mereka menjelma sebagai gunung yang telah lama mendendam. Dendam yang siap meledak memuntahkan miliaran malaikat pencabut nyawa.
Kini datanglah lagi si tangan jemari lentik terkekeh-kekeh ke tempat itu. Jemarinya tak lagi lentik. Ia tak mampu menggenggam erat pisaunya, tetapi Sang Pisau masih berpegangan erat di jemarinya. Sang Pisau tampak semakin muram.
“Aku tidak membutuhkanmu lagi. Aku akan membebaskanmu dari genggaman ini. Toh, tidak ada lagi yang bisa dipotong atau ditancapkan,” ucap si jemari lentik sebagai perpisahan.
Dilemparnya pisau itu. Sang Pisau menancap di pingggul gunung itu.
“Sekarang kita bebas, Mangga. Kita sekarang memiliki tubuh baru. Ini adalah hasil nasihat dan kesabaranmu Mangga,” teriak Ulat. Akan tetapi, Mangga tidak menghiraukan ucapan si Ulat. Mangga hanya berkonsentrasi membentuk cakra nirwana dengan tubuhnya sendiri.
“Dengan tubuh cakra nirwana ini, aku akan menelan semua ruang dan waktu,” ucap Mangga.
Tubuh cakra nirwana itu membentuk pusaran besar. Semua yang ada di dalam ruang dan waktu tertelan oleh tubuh cakra nirwana itu. Ruang dan waktu telah tertelan. Menjadi gelap. Tubuh cakra nirwana menjadi titik nirwana. Titik Nirwana melahirkan kemurnian ruang dan waktu yang baru. Semoga manusia tidak lagi tercipta! [T]