Cerpen Satria Aditya
Dari siang sampai matahari tak memperlihatkan sinarnya, empat anak masih bermain-main dengan riangnya di atas rerumputan kering. Kaki mereka kotor gara-gara debu yang berjam-jam mereka sapu, kulit mereka hitam dengan bekas luka dan goresan kecil akibat mengejar layangan putus entah siapa pemiliknya dan badan mereka penuh keringat yang sudah menempel erat di tubuh mereka. Keriangan mereka tak pernah ada yang bisa mengalahkan bahkan matahari yang sudah tenggelampun masih saja bersinar di raut wajah mereka. Sampai akhirnya tawa mereka lenyap karena salah seorang ibu memanggil semua anak-anak itu.
“Tu, Luh, Mang, Tut.. pulang, hari sudah petang tidak baik main sampai larut begini, nanti diambil genderuwo!!” seru ibu itu dari kejauhan.
“Sebentar lagi, Bu, kami masih menunggu layangan yang hampir putus itu!” seru salah seorang anak yang masih memantau layangan-layangan di langit gelap.
“Sudahlah.., ayo.. nanti Bapak marah, kalian kan tahu sendiri kalau Bapak marah bagaimana?!”
“Baiklah, Bu,” seru Iluh dengan muka masam.
Mereka menghampiri ibunya dengan muka masam dan badan yang tiba-tiba melemas. Mereka semua pulang ke rumah walaupun hati mereka tak ingin meninggalkan padang rumput gersang itu. Mereka hanya ingin bermain-main tanpa kenal waktu, walaupun mereka tak akan tahu bagaimana bahayanya kalau bermain sampai larut malam. Mitos-mitos kecil dari orang tua dahulu sudah biasa kita dengar, kalau bermain sampai larut malam akan disembunyikan oleh makhluk halus. Itu hanya mitos, bagi mereka dan anak-anak lain di luar sana.
Sampai di rumah, Ayah mereka sudah menunggu di depan rumah, duduk bersila sambil menyedot sedikit rokok kretek dan didampingi kopi yang masih panas. Kayu yang biasanya untuk memukuli anak-anak itu sudah siap di sebelahnya. Matanya langsung memerah setelah melihat anak-anaknya baru pulang larut malam. Anak-anak itu hanya menunduk dan kaki mereka terlihat gemetar karena hampir setiap pulang dari bermain selalu dipukul oleh ayahnya. Ibunya hanya bisa tertunduk diam ketika ayahnya sudah siap dengan tongkatnya itu. Seperti memukul batang pisang tanpa ampun, ayahnya tak pandang bulu meskipun anak perempuannya tak lepas dari pedihnya pukulan tongkat kayu jati itu. Anak-anak itu hanya bisa menahan sakitnya pukulan tongkat itu sampai keluar air mata tanpa suara.
Ibunya sangat ingin melindungi mereka, tapi apa daya, kalau dia melindungi anak-anaknya tidak mungkin lagi dia akan kena getah dari pukulan suaminya itu. Ayah mereka tak akan puas memukul mereka sampai salah satu anaknya ada yang tersungkur ke tanah dengan menahan rasa sakit dan perihnya pukulan itu. Selesai ayahnya meluapkan kemarahannya, Ibu mereka pasti akan langsung memandikan mereka dengan tangis yang tak akan dapat ditahan Ibu manapun ketika anaknya disiksa seperti itu. Lalu, setelah memandikan anak-anaknya itu Ibunya langsung menidurkan mereka, walaupun masih ada memar dan perih setelah dipukul oleh Ayahnya. Mereka tertidur pulas dengan raut tanpa salah, tapi ada satu anak yang masih terbangun saat saudara-saudaranya sudah terbang dalam mimpi, mungkin mimpi buruk atau mimpi indah.
“Kenapa belum tidur, Luh?” tanya Ibu kepada Iluh.
“Tidak bisa tidur Bu, perih sekali,” rintih Iluh yang belum genap berusia 10 tahun itu.
“Sudahlah, Luh. Makanya lain kali kalian itu harus pulang tepat waktu, kalau bisa sebelum Bapak pulang dari berjudi.”
“Kenapa Bapak selalu memukul kita Bu? Memangnya salah ya bermain?”
“Tidak kok, Nak. Jangankan kalian, Ibu saja sudah biasa menjadi sasaran kemarahan Bapakmu ketika kalah bermain judi.”
“Kalau bermain saja tidak masalah, Nak,” sambung Ibunya lagi. “Kalian itu bermain sampai matahari terbenam, nanti kalau terjadi apa-apa dengan kamu, kakakmu dan adik-adikmu bagaimana?”
“Kan selama ini tidak terjadi apa-apa Bu, palingan cuman luka gores saja saat mengejar layangan-layangan putus itu.”
“Bukannya begitu, Nak. Ibu kan sudah sering mengatakan, kalau nanti diambil oleh Genderuwo bagaimana? Bisa-bisa kalian tidak akan bertemu lagi dengan Ibu. Siapa yang akan memeluk kalian ketika menangis lagi?”
“Memangnya Genderuwo itu seseram apa sih, Bu?”
“Seram, sangat seram. Sampai-sampai kepalanya tidak akan bisa dilihat saking tingginya dan badannya bisa saja selebar lapangan tempat kalian bermain itu. Giginya sangan panjang dan runcing, suka memakan anak kecil seperti kalian. Maka dari itu juga Ibu melarang kalian bermain sampai larut seperti itu.”
“Ibu, Iluh ngantuk. Besok ceritakan lagi tentang genderuwo itu ya.”
“Iya, Nak. Sekarang tidurlah, jangan kau pikirkan ayahmu itu.”
Iluh tertidur sangat pulas. Di tengah mimpinya, Iluh berada pada lorong gelap. Iluh ketakutan, karena yang ada hanyalah lorong dipenuhi dengan air yang sangat bau dan lengket. Iluh terus berjalan menyusuri lorong itu dengan penuh ketakutan sampai ia menemukan cahaya putih di ujung lorong itu. Setelah keluar dari lorong itu, iluh melihat sosok yang sangat besar, tinggi dan juga berwajah sangat menyeramkan. Ia sangat ketakutan saat itu, sampai berteriakpun ia tak mampu. Ia ingin sekali memanggil ibunya, ia menangis tapi tidak keluar air mata, ingin teriak tapi sama sekali tidak keluar suara, ingin berlari tapi kaki terasa sangat kaku. Ia lantas diam menunduk ketakutan, sosok besar itu semakin dekat menghampirinya. Iluh merasakan didekap oleh sosok besar itu, kulitnya berbulu, Iluh dapat merasakan tangan berbulunya yang tajam seperti ingin menusuk kulitnya. Ia tak dapat kemana-mana, mimpi itu sangat buruk bagi Iluh.
Seseorang berteriak-teriak memanggil Iluh, suara kentongan dimana-mana, bunyi gambelan sangat keras didengarnya. Ia dapat melihat orang-orang itu, Ibu, Ayah, Kakak, Adik-adiknya dan warga desa. Beberapa kali mereka melewati Iluh, ia berteriak sekuat tenaga memanggil mereka tetapi suaranya tak terdengar. Ia menangis tetapi tidak setetespun keluar air matanya, ia terus memanggil-manggil mereka, berteriak sampai urat tenggorokannya terasa akan putus. Beberapa warga sampai mengambilkan sesajen, dan terlihat seseorang berbaju putih membacakan beberapa mantra. Suara gambelan dan kentongan semakin keras, semua orang juga berteriak memanggil Iluh. Sampai akhirnya Ibu, Ayah, Kakak, adik-adiknya dan semua warga desa pasrah akan kehilangan Iluh yang digadang-gadang telah disembunyikan oleh genderuwo.
Iluh tersadar dari mimpinya, sosok besar itu hilang, lenyap dan tidak ada lagi. Iluh hanya termenung, pikirannya kosong, wajahnya pucat dan bibirnya seperti mayat. Seseorang terlihat berteriak-teriak menuju rumah Iluh.
“Iluh… Iluh… Iluh di sana! Iluh sudah kembali, suksma ratu betara, suksma ratu betara!!” Dia terus berteriak, sampai Ibu Iluh mendatanginya.
“Dimana? Dimana anakku?”
“Di bawah pohon asem, di pojokan lapangan itu!”
Semua warga berbondong-bondong ke lapangan di desa itu, mendatangi Iluh yang sudah lemas dan pucat, pikirannya juga kosong. Ibunya menangis, sambil memeluk Iluh, tidak terkecuali Ibu-ibu di desa itu juga ikut menangis karena Iluh yang hilang selama lima hari sudah ditemukan. Iluh dibawa ke rumahnya. Dia hanya terdiam, tatapannya kosong, mukanya tetap pucat seperti pertama kali ditemukan. Akhirnya Iluh diupacarai oleh salah satu pemangku agar roh di tubuhnya kembali. Sampai seminggu kemudian, anak-anak itu tidak pernah keluar bermain jauh lagi, hanya di sekitaran halaman rumah mereka. Iluh masih trauma akan kejadian yang menimpanya, sampai dewasa ia tak pernah sekali pun menginjakkan kaki di lapangan yang luas itu. [T]