TWIN FLAME
“According to Greek mythology, humans were originally created with four arms, four legs and a head with two faces. Fearing their power, Zeus split them into two separate parts, condemning them to spend their lives in search of their other halves.” – Plato, The Symposium.
.
Telah kubaca ribuan kisah tentangmu
Dan melipat cerita lain sebelum sampai ke sana
Kau mendengarku memanggil
Melalui banyak gatra kau menoleh di keramaian
Jejarimu yang gemas, pada embun di hutan sampai ke jendela – jendela itu, mewujud kehidupan di sisi lain
Akulah, rintik pagi di daun – daun muda
Aku wangi udara dari akar – akar yang menua
Telapak kita bertemu, dekapan dililit sampai ke pandangan
Kita terbiasa menguasai dunia, setelah saling mengenali
Kita akan mengulangnya tanpa rasa khawatir
Ini permulaan sudah jalan setiap saat
Menari atau berlari
dihuyungkan penolakan hingga baring berdiam
asal kita bersama, dimana – mana adalah tempat kita kembali
Kekasih, betapa luasnya langkah manusia
Namun di tiap kelahiran, aku rintik dan udaramu, sementara kau jejariku yang siap menadahi awan
Dalam panjang sejarah manusia yang dibelah dan disatukan, kita dikitabkan
Abadi jiwa kita atas restu semesta
JATUH CINTA
Perempuan memejam mata, dijalari rasa persis menyentuh dadanya
Dalam genggaman, satu saja bayangan—merimbuni catatan setiap waktu berbunga,
meski beberapa tahun sekali
Begitu mendebarkan!
Tak terkecap betapa
Ada yang membebatnya dengan pelukan
Hingga napasnya biru langit dan
Terjatuh ke dalam pemahamannya sendiri
Tak terbatas lagi betapa
Ada yang menidurkannya seperti bocah
Hingga bergantung ia pada cita – cita
dan tua masa menunggunya
Perempuan memejam mata
Dihembus ciuman perkenalan
Dari seorang yang tak ada dalam sejarah
Dari yang ditunggunya untuk mengajak bicara
AKULAH KOTA
Akulah kota itu; Jejak menandai
Antara setapak dan jalur tikus
Terhapus – hapus, tidak bertuan, tak ingin dikenang
Kutuai perih yang ditanam di setiap sudut rumah
Mengapungkan suara – suara biar tak cemas
“Tak ada salahnya, tak ada yang bersalah”
Akulah kota itu; Tak bisa disinggahi sembarang waktu
Bila begitu sibuk, cepatlah berbenah
‘kan kupegangi gerbang – gerbang terluar
Sembari pengalaman berkacak pinggang, pamer suasana
“Boleh bodoh, sesekali saja”
Akulah kota itu; Kusemayamkan rindu
Pada badan genting, ayuhan karet, dan tawa – tawa depan sekolah
Melenting di antara tanah bergaris dan berbatu
Kupantau anak – anak mengarus dalam sulur semak—mengintip musuh
Menandai tujuan berlari berikutnya, saban detak melepaskan jiwanya sendiri
“Biar kami yang membersamai orang – orang sedih”
Akulah kota itu; Begitu kurang
Namun penuh harapan
Kuputarkan kidung kidung demi mencari sahutan
Akulah kota itu; Begitu besar, gersang, begitu menyentuh aroma kekalahannya
Kutampung sebisa dan sebanyak mungkin cerita
Akan rintih dan retak hati
Tanpa bocor bagian dari dalam diri
LUCIOLE
;diri sendiri
Semoga cahayamu lebih terang
ketimbang ingatanmu tentangnya
SEOUL
Di Kota, sore cepat tenggelam
Orang-orang membendung kelelahan
Wajah-wajah mentega, saling mendenting shot glass, mengucapkan selamat datang
Apa yang kita jauhi dari kehidupan sebelumnya? Konsisten pada rencana
Duduk di kursi, bicara cuaca atau
menu makan siang
Bosan
Di lantai ruang kerja semangat melambur
Patah mematah jadi tujuh
Rasa syukur membias, sanak terlepas
Cinta bukan lagi hal mewah kecuali terbayar dengan angka yang
dikejar
Di tengah kota semua hal menjadi benar
Tidak ada yang ingin mati
sia-sia di sini
Sore cepatlah tenggelam
Di tengah kota para pelancong kehilangan akar
Meneguk hari sambil mengambin setumpuk penyesalan
Mereka terbiasa bicara dalam nada kecewa
Mencari genangan-genangan untuk dilompati
biar rasa aman menelusup di antara paras dan tarian