BACA JUGA:
_______
Hari keempat di Nepal adalah perjalanan ke Sarangkot, sebuah tempat yang terletak sangat terjal di atas bukit, 30 menit dari Pokhara. Perjalanan dengan Van berisi 13 orang terasa sedikit menegangkan karena jalan sempit, berbatu, berliku, sedikit macet dan berdebu. Namun siapapun yang ke Nepal sepertinya belum resmi ke Nepal jika belum ke Sarangkot. Apa yang diberikan di Sarangkot adalah sebuah pemandangan yang satu satunya di dunia yaitu pemandangan pegunungan yang indah dan ajaib serta pemandangan paragliding dari atas bukit.
Saya duduk di depan dengan yakin. Saya memiliki ekspektasi tinggi terhadap Sarangkot. Saya sangat bersemangat. Menemukan yang menarik dan terbaik. Saya duduk bersama Kunjar, seorang penulis dari Nepal. Ia juga adalah pemandu kami hari itu. Di belakang saya, ada Prof Alan Maley dari UK, Sarita Dewan, Motikala Subba Dewan, Maya Sujcha Rai dan Vishnu Rai dari Nepal, Phuong and Thuy dari Vietnam, Janpa dari Thailand, Drhuva dari India, Lanny Kristono and husband dari Indonesia. Cukup penuh. Tak ada ruang tersisa.
Van kami merangkak naik bukit Sarangkot yang berliku-liku dan tajam. Saya mulai tegang. Jalan sempit dengan berbatu batu, lekuk yang tajam dan beresiko, membuat saya harus sport jantung. Sesekali bus besar dari arah atas seperti hendak melahap Van kami bulat bulat. Sesekali saya berteriak kecil, semacam ‘owh no!’ sehingga kawan kawan di belakang spontan merespon “Are you okay Sonia?”
Lalu saya pura pura menjawab I am okay. Padahal mereka tahu saya cemas luar biasa. Perjalanan makin ke atas makin menegangkan. Sempat beberapa kali kami harus mundur memberi kesempatan kendaraan lain dari atas lewat, atau berhenti menepi sejenak agar kendaraan lain bisa berjalan. Namun di luar jendela, terhidang pemandangan yang luar biasa ngeri sekaligus indahya. Kiri kami adalah pemandangan bukit dan danau sementara kanan kami adalah lembah untuk paragliding.
Kami kemudian stop di loket tiket. Bus bus besar berhenti disana untuk lanjut naik ke atas. Lalu penumpangnya turun berjalan kaki. Tapi untungnya Van kami diijinkan terus merangkak naik. Saya melihat beberapa keajaiban. Ada pendaki yang totalitas tanpa alat apapun, berjalan dengan keyakinan penuh dari bawah ke atas bukit. Sendirian. Ada pula pesepeda yang mengayuh tanpa lelah. Sendirian. Ada kakek kakek berjalan terbungkuk bungkuk mendaki bukit. Juga sendirian. Ada perempuan menyunggi air dari atas bukit ke bawah. Sendirian. Ada tukang bangunan menyelesaikan pekerjaan di bangunan berlantai 5. Di ujungnya jurang. Sendirian. Ada anak anjing tersesat. Juga sendirian. Saya merenung. Kawan kawan kembali bertanya, Are you okay, Sonia?
Saya menjawab okay. Pura pura okay. Tapi mereka tahu saya berpikir keras. Kami tiba akhirnya di ujung bukit. Turun dari Van, kami harus mendaki. Saya melihat Prof Alan Maley. Mampukah dia? Pria 83 tahun itu tidak kelihatan gentar sama sekali. Jalannya tegas dan mantap. Kami yang terlalu mencemaskannya. Kali ini beberapa dari kami bertanya, are you okay Alan?
Dia menjawab. Yeah alright. No problem.
Kami berjalan sambil menemukan hal hal menarik. Beberapa Haiku dan puisi bermunculan di kepala. Ada banyak. Kadang seperti lintasan angin, mereka muncul dan lenyap.
Di atas bukit, kami berhenti. Untuk menulis puisi. Terhidang pemandangan rangkaian pegunungan Annapurna, yang diberi nama Annapurna Range dari puncak Annapurna I hingga Annapurna IV lalu ada puncak Machapuchare dan Kangshar Kang Roc Ni. Semua puncak gunung ini diselimuti salju. Saya diam. Berdoa dan tunduk dari hati mengagumi kekayaan alam Nepal. Saya dan dua kawan Vietnam duduk di sebuah tanah landai menatap pegunungan Annapurna. Speechless.
Kami duduk dan menulis. Entah apa. Pokoknya kami menuangkan ide ide menjadi Haiku dan puisi belum jadi.
Cukup lama kami disana. Di sekitar tempat kami duduk, ada batu peringatan untuk pendaki yang meninggal dunia. Sekitar kami sunyi sekali. Kami berdoa. Hingga baru menyadari bahwa ternyata kawan kawan lain sudah mendahului turun.
Di bawah, kami sudah ditunggu di kedai teh. Pemandangan dari kedai teh adalah danau Fewa Lake dan bukit bukit hijau. Burung burung yang terbang rendah dan penduduk bukit yang melakoni hidupnya dengan lambat.
Kami menulis. Alan menyapa kami, have you got Haiku, Sonia?
Yes. Jawab saya. Haiku saya ada beberapa. Namun belum selesai. Seperti pikiran pikiran saya yang belum selesai.
Usai dari kedai teh kami masuk kendaraan, menuruni bukit untuk menuju tempat paragliding. Semua kawan turun melihat. Saya ragu. Melihat keraguan saya, sopir berkata. “You have to go down. This is a golden moment.” Golden moment? Mungkin. Sayapun turun. Dan benar. Semua pemandangan paragliding itu lagi lagi membuat saya speechless. Pada keberanian paragliders yang membayar mahal untuk bisa terbang dan terjun. 6 ribu Nepalese Rupee setara 60 USD. Itu baru sewa alatnya saja. Belum asuransi dan lain lain. Seseorang menawari saya. Langsung saya tolak halus. Saya tidak punya jiwa paragliding. Yang saya punya adalah jiwa menulis paragliding.
Pertanyaan saya, what if they never land? Bagaimana jika mereka tak pernah mendarat tapi terus melayang?
Mungkin itulah puisinya.
Are you okay Sonia? Kembali seseorang menegur saya. Kali ini kami harus kembali ke Pokhara.
Di Pokhara, sore harinya kami melanjutkan worksop setelah istirahat.
Di workshop singkat itu kami membahas perjalanan ke Sarangkot. Alan bertanya apakah ada puisi tentang Sarangkot? Vishnu Ray mengangkat tangan. Dia menulis puisi tentang saya.
Judulnya Are You Okay Sonia?
Begini puisinya.
Keterangan puisi Vishnu yang di foto:
Are you Ok, Sonia?
Sonia is sitting in the front
Vehicles going up
Vehicles going down
Sharp bends
A truck hurls down
Oooooo!
O my God!
Are you Ok, Sonia?
Sonia laughs
Laughter mixed with fear and relief
Yes I’m okay
Sonia is a brave woman
She might be afraid
But she can hide it well and fight
We have to do it sometimes
We have to show a bold face
If not for oneself than for others
Sonia is a brave woman
She hides the fear for others
And fight the world
Are you Ok, Sonia-someone ask
Yeh I am ok. She says with a smile, I am ok.
Puisi spontan ditulis tangan. Semua menyambut puisi ini dengan tawa canda mengingat momen yang baru kami lalui bersama. Alan tersenyum. Memberi giliran pada yang lain. Dalam waktu singkat saya juga langsung menulis balasan puisi itu untuk Vishnu Ray.
Saya tulis karena memang sangat efektif merespon dalam kondisi puitika yang pas. Begini balasan saya. Judulnya I am not Okay, Vishnu.
I am not okay, Vishnu
I am not okay
Sometimes women are not okay
I am not brave, Vishnu
I am not brave, at all
Sometimes women are not brave
I am not pretending to be okay and brave Vishnu
I am not pretending to be okay and brave
I am not both
I am who I am
For sometimes I am not okay and I am not brave
Because I am just a human
Demikianlah Sarangkot dan puisi hari itu. Semua terjadi begitu spontan dan apa adanya. Seperti Sarangkot. Seperti Nepal. Seperti kita juga.