Bulan Oktober sampai dengan bulan April, dalam pelajaran di sekolah belasan tahun lalu, disebutkan sebagai musim penghujan untuk wilayah Indonesia. Sedangkan bulan April sampai Oktober adalah musim sebaliknya: musim hujan. Indonesia memang hanya memiliki dua musim.
Perhitungan bagi masyarakat petani di Bali, tidak kalah elegannya. Sasih kapat, atau bulan keempat dalam perhitungan perjalanan bulan penuh (purnama) ditempatkan sebagai puncaknya musim kemarau. Sasih itu selalu beriringan dengan bulan Oktober. Pada sasih itu, pohon-pohon bambu banyak yang kering. Suaranya tak henti-hentinya menghiasi suasana. Bukan hanya bambu-bambu yang ada di tempatnya tumbuh mengeluarkan suara ketika terbelah. Bambu-bambu yang dipasang sebagai bangunan pun mengalami hal yang sama: mengeluarkan suara tak, tek, tok, taak!
Purnama sasih kapat adalah pertanda awal, sebentar lagi akan turun hujan. Setidaknya, lima belas hari lagi, saat bulan mati (tilem), hujan pertama akan turun. Persiapan di ladang-ladang petani sudah memasuki fase akhir. Fase dimana tanah-tanah tegalan yang mengandalkan air tadah hujan, sudah selesai dibongkar atau dibajak. Selain dibajak, ditaburi pupuk-pupuk kandang. Saat hujan pertama datang, tanah tersebut akan dibajak lagi atau bisa juga dicangkul, agar tanah dan pupuk kandang menyatu dan menyuburkan tanaman palawija yang akan mereka tanam.
Sampai penulis SMA, tahun 2000an, pelajaran yang diperoleh waktu di bangku sekolah dasar mengenai pergantian musim hujan dan musim kemarau berdasarkan perhitungan kalender tersebut, masih sangat relevan. Jarang sekali meleset. Kalaupun meleset, dampaknya tidak begitu terasa. Mata-mata air yang tumbuh di lereng-lereng bukit tempat tinggal penulis, tidak semuanya mati. Masih ada tempat-tempat yang selalu menyediakan sumber air sepanjang tahun. Penduduk dan hewan peliharaan tidak pernah sampai kekurangan air.
Begitu juga, perhitungan sasih sebagai kalender pertanian tradisional, masih dipegang teguh sebagai suatu tradisi yang tidak pernah menggagalkan hasil palawija yang ditanamnya.
Tapi, kondisi tersebut mulai berubah belasan tahun terakhir. Musim seolah tidak konsisten dan tidak bisa ditebak dengan baik. Hal ini sangat berimbas bagi petani-petani yang memakai perhitungan tradisional di atas. Hasil pertanian jadi tidak menentu. Menanam jagung dan palawija lainnya di ladang-ladang di lereng perbukitan, seolah menjadi rutinitas belaka. Tidak ada harapan pasti akan hasil tanam yang mereka lakukan. Hal ini diperparah dengan kebiasaan menanam dengan sepenuhnya mengandalkan alam. Tanpa pengaturan pemupukan dan pengairan. Mereka seolah sangat sulit meninggalkan kebiasaan yang mereka terima secara turun temurun.
Berbagai inovasi dan perkembangan pola tanam yang berkembang, tidak mampu menggugah pola pikir mereka. Adanya badan perkiraan cuaca yang memberi gambaran dan perkiraan akan turunnya hujan dan mulainya kemarau, tidak sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam kegiatan pertanian yang mereka tekuni.
Imbas lainnya, para petani mulai tidak lagi melakukan aktivitas pertanian yang mereka warisi tersebut. Tanah-tanah dibiarkan kosong dan difungsikan sebagai lahan untuk mencari pakan ternak. Lahan-lahan tersebut akhirnya berkurang drastis produktifitasnya. Dibiarkan begitu saja tanpa perawatan dan mulai mengalihkan pekerjaannya menjadi buruh lepas atau pergi ke kota untuk berbagai pekerjaan yang dianggap lebih meyakinkan.
Namun, ada hal unik yang terjadi ketika menanti musim hujan yang belum tiba. Ada dua perhitungan pokok yang masih melekat di benak masyarakat, terutama para tetua yang ada di sekitar penulis. Saat musim hujan belum datang setelah bulan mati (tilem) sasih kapat, mereka akan mengatakan hujan akan datang setelah bulan purnama. Dan jika pada bulan purnama belum juga hujan, maka hujan diperkirakan akan datang di tilem sasih berikutnya, begitu seterusnya.
Ada suatu keyakinan, bila hujan mulai pada saat tilem, harapan baik akan hasil ladang. Bulan mati, lama kelamaan akan semakin besar sampai pada puncaknya bulan purnama. Itu menandakan hasil yang akan diperoleh akan semakin besar pula. Setidaknya lebih besar dari hasil tahun sebelumnya.
Apabila hujan mulai pada bulan purnama, perhitungannya bukan kebalikan dari jika hujan mulai pada bulan mati. Dipercaya, jika hujan dimulai pada bulan purnama, segala rintangan dan hama yang menyerang tanaman mereka akan semakin berkurang. Dari bulan purnama menuju bulan mati, bulan menyusut dan akan benar-benar hilang saat bulan mati. Itu pertanda, hama dan hambatan dalam mengerjakan pertanian, akan terkikis dan habis. Hasil pertanian tidak akan mengecewakan.
Di sela-sela dua perhitungan tersebut, ada perhitungan lain, yang banyak dipercaya, bukan hanya bagi petani, tapi juga beberapa kalangan. Jika hujan yang diharapkan tidak datang pada hari Senin, maka dalam minggu itu tidak akan turun hujan. Begitu sebaliknya, jika Hujan turun pada hari Senin, maka selama satu minggu itu, hujan akan terus turun.
Entahlah, perhitungan-perhitungan tersebut belum pernah ditemukan dalam sebuah referensi (mungkin karena jarangnya membaca referensi). Tapi, musim kemarau tahun ini yang panjang, membuat penantian akan turunnya hujan mengarah pada tiga perhitungan tersebut. Entah benar, entah tidak perhitungan tersebut, turunnya musim hujan untuk saat ini, benar-benar menjadi penantian banyak orang. [T]