Setelah beberapa hari menghadirkan diskusi dan pertunjukan yang serius dan bisa dikatakan berat, Parade Teater Canasta 2019 akhirnya menghadirkan sesuatu yang jenaka di dalamnya.
Kamis, 28 November 2019 menjadi hari yang jenaka di Parade Teater Canasta 2019. Dua penampil hari itu, Teater Enter SMA Muhammadiyah 1 dan Sanggar Seni Kelakar, berhasil memberi ruang kepada tawa.
Dibuka dengan “Ba’da Maghrib”, sebuah penampilan dari Teater Enter SMA Muhammadiyah 1, pada awalnya nuansa sedih dan haru mendominasi. Bela, tokoh utama yang masih anak-anak, sedang bermain boneka ketika ibunya pulang kerja dan langsung masuk ke kamar. Dengan bentakan keras di balik kamar, ibunya meminta Bela membuatkan teh. Bela dengan patuh segera membuatkan teh untuk ibunya. Namun, ibunya malah naik darah karena minuman yang Bela buat dianggap terlalu panas. Suara bentakan, pukulan, dan tangisan semakin menjadi. Penonton tidak diberi kesempatan untuk melihatnya secara langsung karena adegan ini terjadi di dalam kamar yang tertutup pintunya.
Suasana horor langsung menyergap ketika sosok dengan kain putih dan rambut panjang muncul berhembus dari bagian belakang. Beberapa penonton terkejut dengan kemunculan yang tiba-tiba ini. Ternyata, pementasan ini mengangkat kisah tentang Wewe Gombel: sebuah sosok yang senang menculik anak perempuan ketika anak-anak bermain pada waktu salat magrib. Begitu dekat kisah ini hingga tidak diperlukan usaha berlebihan untuk menciptakan suasana horor dan mistis. Pementasan ini ditutup dengan teriakan penonton yang kaget, karena merasa ada yang bergerak ketika bersandar. Sebuah penutup yang pas.
Ada beberapa hal yang perlu diapresiasi dari pertunjukan “Ba’da Maghrib”. Entah sebuah kesengajaan atau tidak, kenyataan bahwa pertunjukan ini dilakukan pada malam jumat (sebuah waktu yang dianggap mistis) menjadi penekanan yang cukup tegas terhadap aspek mistis yang diangkat dalam pertunjukan ini.
Teman-teman Teater Enter juga berhasil memanfaatkan ruang yang tersedia sebagai panggung pertunjukan. Beberapa adegan dilakukan di dalam ruangan, salah satunya di depan dapur Canasta, bahkan di kamar-kamar yang ada di Canasta juga dipergunakan sebagai bagian dari pertunjukan. Selain itu, adegan ketika Bela dimarahi oleh ibunya dan dipukul juga dikemas dengan rapi: tidak ditunjukkan secara nyata di depan mata penonton, melainkan dibawa ke dalam kamar dan penonton hanya disuguhkan suara bentakan si ibu dan lirihan Bela yang kesakitan karena dipukuli ibunya. Hal ini memberi ruang bagi penonton untuk berimajinasi sebebas-bebasnya.
Pengangkatan kisah Wewe Gombel dalam pertunjukan ini rasanya menjadi langkah yang tepat karena kisah ini masih erat melekat dalam keseharian bahkan sampai sekarang, sehingga kesan dan pesan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini dapat tersalur dengan baik ke penonton.
“Lihatlah, lihatlah
Rumahku yang megah
dan mewah
Kurajut dari rumput dan bulu yang indah”
Begitulah pembuka penampilan kedua yang dibawakan oleh Sanggar Seni Kelakar. Penampilan ini merupakan pengadegan dari dongeng “Rumah Mewah Burung Manyar”. Dengan cerita sederhana tentang kemahiran burung Manyar membuat rumah mewah-megah dan kera yang iri terhadapnya, membuat pementasan kali ini begitu lugu dan lucu.
Beberapa adegan diisi dengan senandung senada yang sederhana seperti pada pembukaan pementasan. Walaupun adegan-adegan dalam pementasan ini ringan dan lucu, tetapi ada satu adegan yang membuat penonton cukup tegang. Tegang bukan karena adegannya yang memang menegangkan, tetapi karena takut para pemainnya akan tersandung dan tersungkur karena terlilit untaian tali-tali properti dan tangga yang tidak kokoh berdirinya.
Benar saja, tangga yang berdirinya tidak terlalu kokoh itu jatuh juga dan hampir menimpa pemain lainnya. Tapi, satu yang tidak diduga-diduga, ternyata hal itu memang merupakan bagian dari adegan pertunjukan. Semua tertawa lega dan geli karena ketika salah satu teman penonton ingin mencegah tangga tersebut mengenai pemain lain, pemain yang berperan menjadi kera keceplosanberseru, “Memang begitu!”
Kejadian ini menjadi penutup apik yang mendatangkan tawa.
Pementasan oleh Sanggar Seni Kelakar ini justru dengan lantang menegaskan sisi kekanak-kanakan yang selama ini rasanya justru sering sengaja untuk dihilang-hilangkan. Pengangkatan cerita pementasan yang berasal dari dongeng juga seperti sebuah pesan terselubung bahwa saat ini dongeng tidak lagi dekat dengan dunia anak-anak.
Pementasan dengan suasana ringan seperti dua pementasan di atas memberikan nilai dan makna yang sama besarnya dengan pementasan yang mengangkat cerita-cerita “berat”. Pementasan seperti itu berhasil mengingatkan kita, mungkin lebih spesifiknya mengingatkan saya, bahwa cerita-cerita keseharian yang ringan juga tetap memiliki maknanya tersendiri. Sebab, cerita-cerita kecil itulah yang pada akhirnya membuat cerita “besar” nan hebat menjadi bermakna. [T]