- Judul buku : Gerilya dan Cinta
- Penulis : Jro Adit Alamsta
- Penerbit : Mahima
- Cetakan : April 2019
- Tebal : viii + 94 halaman
- ISBN : 978-623-7220-04-6
____
Dalam keyakinan Hindu, atma ada dalam setiap diri manusia. Artinya dalam tiap individu terdapat percikan unsur-unsur Tuhan. Maka perlu kesadaran setiap individu bahwa, semua individu memiliki peran yang sama. Tidak mengenal jenis kelamin, atau kedudukan di masyarakat sosial. Kenyataannya, tidak banyak individu memiliki kesadaran demikian. Seperti misalnya kesadaran tentang menjaga kelestarian alam semesta.
Jro Adit, bisa digolongkan sebagai salah satu individu yang memiliki kesadaran tersebut. Dalam buku perdananya, Gerilya dan Cinta, ia menunjukkan kesadaran bahwa alam semesta ada dalam tiap diri masing-masing individu. Lalu, cinta diperlukan setiap individu dalam menjaga “kewarasan” diri. Begitupula kehadiran cinta untuk memastikan “keseimbangan” alam semesta.
Sayang sekali, sebab kesadaran yang dimiliki Jro Adit ibarat nyanyian sunyi. Sebab, masih banyak sampah berserakan di sekitar kita, alih fungsi lahan tak terhindarkan, Bali dijual murah kepada investor rakus, bahkan banyak orang melupakan alam sebagai cermin diri. Bahwa ketika alam hancur, diri pun hancur jua. Begitulah Jro Adit melantunkan nyanyiannya dalam kumpulan prosa (apakah betul prosa, dan bukan prosa menyerupai esai dengan bahasa kualitas puisi?) Gerilya dan Cinta.
Entah ada hubungannya, antara isi Gerilya dan Cinta dengan Jro Adit Alamsta yang juga seorang pemangku muda. Sebab, dalam 29 prosa/bagian dalam kumpulan ini bernafaskan konsep Hindu yang sangat khas. Sebut saja salah satunya, Tri Hita Karana, sebuah konsep luhur untuk mendapatkan kebahagiaan. Ada tiga cara, meliputi menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, alam semesta, dan Tuhan.
Tiap prosa/bagian, ketika disebut sekuel, diandaikan ada hubungan dengan prosa/bagian sebelumnya, yang juga mandiri. Jika dibaca berurutan maupun tidak tetap bisa dinikmati pembaca. Jika disarikan pembaca akan mendapatkan cerita tentang pengenalan penulis, berhubungan dengan perspektifnya tentang alam semesta dan cinta, selanjutnya pemaparan sikap penulis terhadap fenomena di sekitarnya. Pembaca akan dituntun melalui sudut pandang “aku”.
Kumpulan prosa ini sebetulnya memuat pembahasan-pembahasan yang serius cenderung gawat. Berupa refleksi terhadap diri, namun Jro Adit menyajikan dengan rasa pop. Maka, anak-anak muda pun akan sangat gampang memahaminya. Ditambah dengan, pada tiap akhir tulisan diimbuhi semacam kutipan yang akan cocok diposting di akun media sosial. Bagi pembaca yang dekat dengan aktivisme dan lirik lagu musisi arus bawah (indie terutama gendre punk) pasti tidak akan kesulitan memahami pesan-pesan yang betebaran pada setiap bagian. Meskipun ditulis dengan kalimat-kalimat panjang yang memerlukan hela napas yang panjang pula. Dua puluh sembilan bagian yang termuat pada kumpulan ini uniknya bisa dibaca secara acak atau berurut.
Semua bagian, meski dibaca secara acak, tetap bisa dipahami karena memiliki benang marah yang saling menghubungkan. Membaca Gerilya dan Cinta, mengingatkan saya pada Catatan Seorang Demonstran Soe Hok Gie. Namun ditulis dengan gaya sastrawi mirip lirik-lirik tulisan musisi Jerix pada lagu-lagu Superman Is Dead. Suguhan ini telah disajikan sejak awal, semacam perkenalan diri, bacalah Anugrah Semesta, Bocah Kecil, dan Aku adalah Sperma Terkuat Ayahku. Pembaca akan bisa membayangkan siapa Jro Adit. Ia adalah seorang pensarkas, penyatir, sekaligus juga romantis. Begitu tertulis pada bagian perkenalannya pada pembaca.
Misalnya ketika membaca kisah tentang jatuh cinta pada Cintaku Radiasi, Jro Adit menulis begini:
“Ketika itu aku sangat kagum pada dirimu yang berprestasi dan cantik menelimuti ragamu mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mungkin ini pertama aku tahu arti perasaan jatuh cinta pada wanita seakan inginku selalu memberhatikanmu…” Penulis memperlihatkan ketegasan dan tidak sedikitpun mendayu-dayu.
Begitu pula pada Untukmu Mutiara Tersembunyi dalam Kota, Jro Adit menulis begini:
“Kasih sayangmu paling beda yang pernah aku dapatkan, kau memberanikan diri mencium pipi sebelah kananku, rasanya menghisap daun ganja rasanya ketagihan.” Narasi-narasi demikian menjadi kekuatan penulis dalam membangun kisah dan mengaduk emosi pembaca.
Meski dalam patah hati pun, penulis masih terlihat tegas, seperti pada Kepergianmu Membawa Kenangan dan Dewi yang Terlupakan. Dalam Kepergianmu Membawa Kenangan ia menulis begini:
“Meski aku harus percaya dengan semua kata-kata itu, namun dalam semestaku aku belajar untuk menerima atas kepergianmu.”
Dalam tulisan-tulisan bertopik jatuh cinta dan patah hati, selalu ada karakter perempuan yang dimunculkan menjadi titik pembicaraan. Bagi saya pribadi, perempuan adalah simbol cinta. Maka, tidak salah jika perempuan dalam kisah-kisah di buku ini dilekatkan dengan kodrat, kondrat dicintai. Direkatkannya perempuan dengan cinta, membuat perempuan lebih banyak dirugikan. Sebab, perempuan dipahami sebagai agen pasif yang dalam menyikapi nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Sejalan dengan pemikiran Suryakusuma dalam State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order (2011) menyatakan pemerintah Indonesia dizaman Orde Baru memerlakukan perempuan. Kebijakan pemerintah tentang kesetaraan gender dilihat hanyasebagai strategi negara untuk mendapat penerimaan rakyatnya,sehingga pemerintah mampu menjalankan programnya denganbaik dan lancar. Begitu pula cara pandang laki-laki terhadap perempuan masih besar dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam masyarakat. Seperti, penilaian cantik menyelimuti ragamu… , senyumanmu seolah menghipnotis jiwaku…., kau penyebab rasa tahuku dicium seorang cantik….
Jika Anda mengikuti gerakan-gerakan massa pro lingkungan pasti memahami cara Jro Adit memijakkan kaki. Bisa dibaca pada Jabatan Saja Kau Takut Kehilangan, Apalagi Nyawamu untuk Rakyat. Penulis geram dengan sikap wakil rakyat yang seakan tidak peduli dengan kepentingan rakyat dan lingkungan. Gagasan lain namun masih bernafas semangat perjuangan terhadap keadilan dan kelestarian alam semesta dipaparkan pada Buat Sejarahmu, Tuntut Keadilan Dunia Akan Membaik, Pendahulu, Hidup adalah Perang, dan Ibu Pertiwi Murka karena Manusia Durhaka. Begitulah, genderang perang telah ditabuh oleh Jro Adit lewat prosa-prosa yang ditulis dalam kumpulan ini.
Membaca Gerilya dan Cinta seperti menonton Bumi Manusia garapan Hanung. Topik yang begitu berat diracik dan disajikan dengan rasa millenial. Bisa jadi cara ini menimbulkan blunder. Tak apa, sebab harapan terlalu besar jika menuntut kaum millenial tertarik dengan permasalahan sosial. Sebagai seorang sulinggih (yang juga aktivis lingkungan), ia benar-benar sadar bahwa konsep Tri Hita Karana belumlah dimaknai dengan benar oleh sebagian masyarakat, hingga ibu pertiwi murka karena manusia durhaka. Ketidakseimbangan alam semesta tentu akan berdampak kepada seluruh lapisan kehidupan. Apalagi saat ini, manusia terlalu bangga ketika melakukan kesalahan yang diperbuat. [T]