Penonton dipersilahkan memasuki halaman belakang Canasta, lalu dipersilahkan untuk duduk bebas sesuka hati. Di halaman sudah dipersiapkan beberpa tikar yang membentang untuk menjadi alas untuk penonton duduk lesehan. Ditiap sisi halaman ditutupi kain hitam dan terpasang beberapa lampu warna di tiap sudut halaman.
Kami sebagai penonton yang tidak tahu apa yang akan terjadi duduk dengan tenang, sambil bercakap-cakap kecil dengan teman disebelah kami. Kemudian tak lama datang seorang berpakaian hitam panjang, dengan bordiran mote berwarna emas dan dengan topi yang menyerupai mahkota khas Aceh. Entah apa namanya.
Di depan mata kami atau dari seberang area penonton ada sebuah benda yang berbentuk kotak yang dibungkus dengan tikar dan alat pukul tongkat di atasnya, mungkin yang di dalam tikar tersebut adalah bantal yang dibungkus. Kemudian ada nampan dari rotan, yang di atasnya ada kain biru bercorak terlipat rapi. Orang dengan baju hitam berbodir mote emas dan bertopi mahkota tersebut adalah Benni Andika berasal dari ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) Aceh.
Benni adalah salah satu penampil dalam rangkaian Parade Teater Canasta 2019. Benni berasal dari pulau yang sangat jauh dari Bali, bahkan katanya untuk naik pesawat saja memerlukan transit dahulu di kota Jakarta. Di tempatnya yang jauh di sana ada satu kesenian yang amat menarik bernama PM Toh.
PM Toh adalah sebuah kesenian mendongeng yang menceritakan legenda ataupun mitos-mitos dari Aceh, pada penampilan tersebut Benni membawakan cerita tentang Mitos Ahmad Ramanyang. Benni membuka dengan dendang Aceh dan disertai dengan tarian Saman, kami penonton merasa tertuju melihat pembukaan dalam penampilan Benni. Karena pada kehidupan sehari-hari di lingkungan memang tidak ada dendang atau kidungan seperti yang dibawakan Benni, apalagi disertai dengan tarian Saman yang hanya menggunakan gerakan tepuk tangan dan menepuk bagian badan.
Ini hal baru yang saya jumpai dalam pertunjukan, walaupun mungkin bagi orang Aceh ini udah menjadi keseharian bagi mereka. Tapi saya sendiri yang menyaksikan pertama kali ya saya sangat merasa unik dan menarik.
Kemudian setelah Benni berdendang dan mengucap salam dengan suara sedikit melengking, lalu perlahan mulai memasuki ke cerita tentang Ahmad Ramanyang dalam cerita tersebut ada beberapa tokoh seperti tokoh bangsawan, Ahmad Ramanyang, ibu Ahmad Ramanyang, serta istrinya.
Tokoh-tokoh tersebut dimainkan oleh Benni sendiri, terkadang dia menjadi salah satu dari tokoh tersebut tentunya sesuai dengan alur cerita dan pembawaan khas dari tiap tokoh. Ditambah dengan improvisasi yang sangat lucu dan pas, membuat saya sebagai penonton merasa seperti didongengkan. Kemudian setelah cerita selesai Benni menutup kembali dengan dendang dan salam.
Saya merasakan bagaimana fenomena yang sering terjadi di sinetron atau film ketika ada orang tua mendongengkan anak kecil, yang membuat anak tersebut menjadi ketakuan karena ceritanya atau bahkan menjadi tertidur lelap karena terlalu indahnya.
Saya merasa seperti itu ketika melihat dan mendengar Benni membawakan cerita tersebut, karena pada masa kecil saya sendiri tidak ada hal semacam itu di dalam lingkungan keluarga. Apalagi saya yang kecil di kampung tentunya hal semacam di dongengkan sebelum tidur itu menjadi sebuah hal yang tak terpikirkan saat kecil di kampung. Boro-boro didongengkan sebelum tidur, saya di kampung waktu kecil benang layangan saya semput atau kusut saja sudah sedihnya minta ampun jadi taka da waktu untuk bertanya ke orang tua saya apakah saya tidak didongengkan sebelum tidur.
Nah kembali ke PM Toh yang dibawakan Benni, sebenarnya Mitos Ahmad Ramanyang ini ceritanya hampir sama dengan Legenda Malin Kundang. Hanya saja Mitos Ahmad Ramanyang ini versi Acehnya. Kemunculan seni mendongeng atau PM Toh ini pertama kali dipopulerkan oleh orang bernama Tengku Adnan, Tengku Adnan adalah pedagang obat berasal dari Aceh yang berdagang antar lintas provinsi ataupun pulau.
Tengku Adnan untuk berdagang ke tiap daerah tersebut memerlukan transportasi tentunya. Di Aceh pada masa itu ada transportasi pertama kali bernama PM Toh, jadi sebenarnya PM Toh itu berasal dari nama sarana transportasi pertama di Aceh yang ditumpangi Tengku Adnan untuk berdagang. Seperti kebanyakan dagang obat di pasar, saya sendiri baru menyadari bahwa tiap dagang obat tersebut ternyata pembawaanya seperti berdendang atau berlagu. Kadang sesekali untuk menyampaikan suatu info produk itu, dagang obat tersebut mempunyai cara menyampaikan sangat unik yang membuat orang datang penasaran.
Katanya, Tengku Adnan itu selalu melakukan hal tersebut di tiap kota yang disinggahi oleh transportasi PM Toh. Jadi dimanapun PM Toh berhenti untuk istirahat, Tengku Adnan menyempatkan diri untuk berdagang obatnya sambil menceritakan legenda ataupun dongeng dari Aceh. Sampai akhirnya PM Toh itu dikenal sebagai pertunjukan oleh orang-orang yang menyaksikan. Padahal nama PM Toh itu hanya berasal dari alat transportasi yang digunakan oleh Tengku Adnan.
Saya sangat membayangkan betul semisal ketika Tengku Adnan mampir di kota yang sudah pernah disinggahinya, mungkin respown masyarakat kala itu seperti melihat mobil sirkus datang. Dan sebagai isyarat berkumpul karena akan adanya sebuah pertunjukan. Saya membayangkan Tengku Adnan datang kemudian masyrakat berteriak “PM toh datang ee PM Toh datang!”, semua warga berbondong-bondong datang sambil membawa sanak saudaranya untuk mendengerkan kisah dari Tengku Adnan.
Karena apapun yang diceritakan dalam pertunjukan PM Toh pastilah tentang legenda yang mempunyai dampak baik bagi pendengarnya, untuk sekiranya menjadi sarana informasi dan menjadi penolong untuk orang tua ke anaknya. Saya sempat berfikir bahwa mungkin pada zaman dulu orang-orang Indonesia khususnya yang tinggal di desa atau perkampungan. Memang suka didongengkan, mengetahui Tengku Adnan lewat mas Benni saya menjadi ingat ketika saya masih MTs/SMP saat pelajaran SKI (Sejarah Kebudayaan Islam), guru saya pernah bercerita bahwa salah satu Wali Songo yaitu Sunan Kalijaga menyebarkan dakwah atau ajaran Agama Islam itu lewat wayang kulit. Ada suatu kesamaan saya rasa dalam menyampaikan sesuatu antara Tengku Adnan dan Sunan Kalijaga, hanya saja konteks tujuanya yang berbeda.
Menonton PM Toh, saya seperti merasa diajarkan kembali berbuat akan hal-hal baik. Saya rasa PM Toh dengan cara membawakan seperti itu punya peluang besar secara seni pertunjukan untuk memperluas pengenalanya, dan ini sangatlah cocok untuk ditonton oleh anak-anak. Kalau di Bali mungkin sama halnya seperti menonton Wayang saat acara-acara odalan di Pura. Menonton kesenian tradisi semacam itu mempunyai pengalaman serta perasaan batin yang sulit untuk dibicarakan kalau tidak merasakanya sendiri. Karena mungkin kendala Bahasa atau hal lainya. Seperti misal saat saya menonton PM Toh ada beberapa kosa kata yang saya tidak tahu artinya karena Bahasa daerah, kemudian dengan logat yang sangat berbeda pada umumnya saya sebagai orang yang tinggal di Bali menjadi suatu daya tarik tersendiri mengenai perbedaan logat.
Kalau dilihat pada hari ini, kesenian-kesenian seperti PM Toh mungkin sangat sedikit yang mengetahui. Tentu saja kalah popular dengan para Youtuber, akhirnya kesenian tua atau kesenian tradisi itu mulai sedikit peminatnya. Saya rasa mungkin kalau mau dikembangkan perlulah ada semacam pengembangan dari segi cerita atau hal-hal yang digunakan saat pertunjukan, agar sedikit lebih kekinian dan menjadikan efek penasaran masyarakat tentang kesenian semacam PM Toh atau kesenian tradisi lainya. Untuk menimbulkan dan mengembangkan kembali seni-seni tradisi saat ini, tanpa melepaskan hakikat dan akar-akar tradisi.
Saya ada perasaan takut ketika menuliskan ataupun membicarkan kesenian tradisi, karena tradisi itu dalam pandangan saya adalah hal yang suci dan sakral. Sehingga saya sebagai orang kampung yang besar dan tumbuh di kota yang urban, apalagi ditambah sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan kesenian tradisi merasa sangat berdosa ketika mengutiknya sedikitpun. Untuk menjaga hal tersebut saya akhirnya mencoba memberikan pandangan dari segi penonton saat saya menonton PM Toh. Tidak ada tujuan lain, dan untuk mengakhiri panjang lebar yang saya sampaikan tadi saya sangat dengan hati-hati pula menyelesaikanya. Sekali lagi, hanya sebuah pembacaan selesai menonton pertunjukan. Tidak lebih. Saya takut dosa. [T]