Sebanyak dua puluh buah cakep lontar menjadi rujukan penting dalam Ensiklopedi Kiwa Tengen [selanjutnya disingkat EKK] karya team penyusun dari Bali Wisdom. Di antara dua puluh cakep itu, ada beberapa lontar yang berjudul sama, yang membedakan adalah nomor kode lontar. Jika dihitung berdasarkan judul, maka lontar yang digunakan adalah sebanyak tiga belas judul lontar. Adapun ketigabelas judul lontar itu: Aji Pangleakan, Aji Wegig, Daging Sabuk, Guna-guna, Kluwung Geni, Pakakas, Pangeraksa Jiwa, Pangrangsukan Kawisesan, Panengen, Pangiwa, Panestian, Sasirep, dan Tatumbalan. Menurut keterangan yang didapat berdasarkan pembacaan pada ‘catatan’ yang dibuat oleh team penyusun buku tersebut, sumber lontar yang digunakan adalah koleksi Dinas Kebudayaan. Pada catatan itu, tidak dijelaskan, Dinas Kebudayaan yang dimaksud. Mungkin yang dimaksud adalah Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, yang pada khususnya adalah Pusat Dokumentasi [Pusdok]. Di Pusdok itulah terdapat perpustakaan yang secara khusus merawat, memelihara, melindungi, dan menyimpan naskah lontar. Tidak ketinggalan, lontar-lontar itu juga disalin dan difoto.
Pemilihan naskah-naskah Pusdok sebagai acuan dalam EKK juga tidak dijelaskan. Asumsi yang lahir, kemungkinan didasarkan pertimbangan jarak serta waktu, meskipun ada beberapa instansi yang mengkoleksi lontar di Bali semisal Gedong Kirtya, UPT. Lontar Universitas Udayana, UNHI, dan beberapa perpustakaan di luar Bali semisal Perpustakaan Nasional RI sampai di luar negeri seperti Perpustakaan Universitas Leiden dan beberapa negara lain yang disebut-sebut oleh kebanyakan peneliti. Dasar pemilihan naskah lontar yang dijadikan acuan dalam EKK, tidak akan dibicarakan lebih lanjut dalam tulisan ini.
Tulisan ini memang didesikasikan sebagai catatan semata atas buku EKK, maka dapat dimaklumi jika strukturnya tidak dapat dikatakan runut. Sebagai catatan, tulisan ini diawali dengan catatan terhadap judul EKK. Kata Ensiklopedi menandakan bahwa buku ini adalah kumpulan atau himpunan tentang Kiwa Tengen. Tidak dijelaskan apa yang dimaksud sebagai Kiwa Tengen. Barangkali dua kata yang menjadi judul itu didasarkan kepada pengetahuan kolektif antara team penyusun dan target pembaca. Alasan ‘pengetahuan kolektif’ itu menjadi masuk akal, sebab sesuatu tidak lagi perlu dijelaskan kepada sesama yang memiliki ketertarikan yang sama. Seperti burung-burung yang tidak lagi menjelaskan tentang udara dan sayap. Mereka hanya perlu menunjukkan cara terbang.
Kata Kiwa Tengen ini menarik untuk dipikir-pikirkan kembali. Benarkah alasan pengetahuan kolektif adalah alasan satu-satunya? Atau mungkin saja, penyusunnya hanya sekadar lupa menerangkan. Menerangkan konsep itu penting, terlebih lagi yang dimaksudkan adalah konsep tentang peta. Peta yang dimaksud, adalah peta tentang ajaran. Ajaran itulah yang diistilahkan oleh penyusun sebagai ‘Ilmu Kebatinan Bali’. Peta yang benar menunjukkan arah yang jelas, jika masih saja ada yang tersesat, semoga tersesat di jalan yang benar. Jika pun tidak semoga ada jalan yang terbuka nanti. Jalan antara pergi atau kembali. Untuk memetakan Kiwa Tengen, mari kita lihat apa yang dikatakan lontar yang dicantumkan sebagai sumber Ensiklopedi Kiwa Tengen seperti berikut ini.
Nian tingkahing angwijilang kasubaganing pangiwa, maka ngaran Aji Lakan, tingkahing ngawetuang gni, maka lwiring pangiwa kabeh, darma bhuta, iki kaweruhakena rumuhun, lamakana sira wruha pasuk wetuning agni, mwah panrusaning agni, kayeki kaweruhakna [EKK, hlm. 322]
[Inilah cara mengeluarkan kemampuan Pangiwa, namanya Aji Lakan, caranya mengeluarkan api, sebagaimana semua Pangiwa, yang disebut Darma Bhuta, inilah yang mesti diketahui lebih dahulu, agar kau mengetahui keluar masuknya api, juga jalannya api, maka ini [patut] diketahui]
Aji Lakan adalah nama salah satu jenis Pangiwa. Demikian yang dapat diketahui dari hasil pembacaan terhadap teks Pangiwa [No. 3211]. Pangiwa tidak – atau lebih tepatnya belum – dijelaskan pada kutipan itu. Tetapi ada satu hal lain yang bisa menjadi kata kunci penting dalam memahami Pangiwa menurut teks Aji Lakan. Telah diterangkan menurut teks tersebut, bahwa Pangiwa juga disebut Dharma Bhuta. Dharma Bhuta perlu diketahui agar tahu cara memasukkan dan mengeluarkan api, juga cara mengalirkan api itu. Intinya, Aji Lakan ini membicarakan perihal yang berhubungan dengan api. Hubungan itu adalah tentang memasukkan, mengeluarkan dan menjalankan. Menurut teks Aji Lakan, api inilah yang patut diketahui. Bahkan menurut keterangan tambahan dari teks Aji Lakan, semua Pangiwa memiliki ciri yang sama [maka lwiring pangiwa kabeh]. Maksudnya, Pangiwa berhubungan dengan api. Tentang Pangiwa dan api, ada baiknya kita lihat kutipan dari teks Pangiwa lain seperti berikut ini.
[…] arupa aku Kala Rudragni kadi meru pangadeganku, mijil agni ring tutuk, Om Brahma Gni Jwali Tejomaya, murub dumilah tri warna, nteg ring akasa […] [EKK, hlm. 362]
[aku berwujud Kala Rudragni bagaikan gunung wujudku, keluar api dari mulut, Om Brahma Gni Jwali Tejomaya, berkobar bercahaya tiga warna, diam di langit]
Tri Maya Murti Sakti adalah nama teks Pangiwa di atas. Kutipan itu mendukung asumsi sebelumnya yang didasarkan kepada Aji Lakan bahwa Pangiwa berhubungan dengan api. Dikatakan bahwa bagi orang yang memahami hakikat Tri Maya Murti, wujudnya dibayangkan seperti api Rudra. Secara eksplisit, disebutkan bahwa dari mulutlah keluar api itu. Warna api ada tiga, tapi tidak disebutkan masing-masing warna yang dimaksud. Jika dihubungkan dengan tiga warna abu sebagai hasil pembakaran, maka ada tiga warna api. Ada api berwarna hitam, ada putih dan ada merah. Meskipun menurut beberapa teks, ada beberapa warna api yang lain, termasuk warna kuning. Campuran keempat warna itulah yang menjadi api kelima yang disebut api panca warna atau brumbun. Lalu teks lain, menyebut cara mengeluarkan api.
mwah yan sira arep meswang apin ta, iki wruhakena Ongkarane ngapit kluwung genine. Ring luhur Ongkara Sumungsang, ngaran, mungguh ring gidat. Ardha candrania alise, windunia slaging alise. Nadania tungtung irunge – ne ring sor, Ongkara ngadeg ngaran mungguh ring dada. Ardha candrania galih pangatep ring bawu, windu ring cekoking kanta. Nadania mucuking lidah [EKK, hlm. 377].
[dan jika kau ingin mengeluarkan apimu, inilah ketahui, Ongkara yang mengapit Kluwung Geni. Di atas ada Ongkara Sumungsang namanya, terletak di kening. Ardha candra adalah alis. Windu ada di antara alis. Nada adalah ujung hidung – yang di bawah, Ongkara Ngadeg namanya, terletak di dada. Ardha candra adalah tulang penghubung bahu, Windu adalah cekung tenggorokan. Nada adalah ujung lidah]
Menurut teks Pangiwa [No. 5167] sebagaimana dikutip di atas, mempertemukan Ongkara Ngadeg dan Ongkara Sungsang adalah cara mengeluarkan api. Ongkara Ngadeg dan Sungsang adalah dua Ongkara yang di katakan berada di tubuh. Ujung Ongkara Sungsang adalah ujung hidung, sedangkan ujung Ongkara Ngadeg adalah lidah. Jadi batas antara yang Ngadeg dan Sungsang adalah antara hidung dan lidah. Batasnya adalah ruang di dalam mulut yang langsung masuk ke dalam tubuh. Pada ruang itulah segala jenis makanan dan minuman dimasukkan. Ruang itu pula yang jika diikuti sampai ke dalam, maka sulit ditemukan dasarnya. Dasar disebut sulit ditemukan hanya jika dalam [Dalem]. Durga adalah terjemahan bagi ‘ia yang sulit ditemui’, dan Durga menurut kepercayaan banyak orang berstana di Dalem. Dari ‘ruang’ mulut itulah api keluar menurut teks Pangiwa [No. 5167]. Berdasarkan pembacaan selanjutnya, pada teks Pangiwa [No. 6533, tiga naskah kode N/A, serta naskah 857], semuanya membicarakan perihal api. Api yang dimaksud terdiri dari bermacam warna di antaranya hitam, putih, merah, kuning serta kumpulan dari semua warna yang telah disebutkan tadi. Semua api itu, disalurkan lewat organ dalam tubuh manusia kemudian muncul dari beberapa lubang kepala.
Selanjutnya kita bicarakan tentang Panengen. Naskah berjudul Panengen dalam Ensiklopedi Kiwa Tengen berada pada halaman 262 [dua ratus enam puluh dua]. Pada bagian itu, judul Panengen ditulis sejajar dengan kata Pangleyakan. Cara tulis semacam itu, menandakan bahwa Panengen disamakan dengan Pangleyakan, terlebih di antara kedua kata itu dibatasi dengan garis miring “/” yang semakin memperkuat asumsi, bahwa Panengen disamakan maksudnya dengan Pangleyakan. Naskah Panengen/ Pangleyakan bernomor kode 537 yang digunakan dalam EKK, memuat beberapa ajaran di dalamnya. Menariknya, ajaran itu diberikan nama Pangiwa. Adapun beberapa ajaran di dalam naskah 537 ialah Pangiwa Wisesa [Sarining Panengen], Pangiwa Gni Murti, Pangiwa Gani Komala, Pangiwa Wisesa [Agni Anrawang], Pangiwa Wisesa [Gni Rambat], Pangiwa Gni Anglayang, Pangiwa [Gni Ngelanda Rodra], Pangiwa [Ratna Gni Sudamala], Pangiwa [Tribuwana], Pangiwa [Siwa Tiga], Pangiwa Wisesa [Kreb Bhuwana], Pangiwa Wisesa [Sarining Kalasan Dewantara], Sarin Dewantara [Dewa Dayantu], Pangiwa [Siwa Kurung], Pangiwa Wisesa [Durga Nungsang], Pangiwa [Dewaning Leyak Kabeh, Sapuh Jagat], Pangiwa Utama [Batur Kalika], dan Pangider Gni Ring Sarira.
Ada kelompok teks yang bernama Pangiwa Wisesa, yang termasuk di dalamnya adalah Sarining Panengen, Agni Anrawang, Gni Rambat, Kreb Bhuwana, Sarining Kalasan Dewantara, dan Durga Nungsang. Naskah yang diberikan judul Panengen ini, isinya adalah Pangiwa yang dengan sendirinya juga membicarakan perihal Api. Pada beberapa judul yang disebutkan di atas, bahkan secara eksplisit disebut dengan istilah Gni [Api]. Teks Sarining Panengen menyebut sebagai berikut.
Iti Pangiwa Wisesa, Sarining Panengen, ngaran, utama temen, sakala-niskala, ayu tinemunia. Yan hana wong nganggo pangiwa iki, ri patinia tlaha, atmania mulih ring Siwabhuwana [EKK, hlm 262].
[inilah Pangiwa Wisesa, Sarining Panengen, namanya, sangat utama, sakala niskala, baik hasilnya. Jika ada orang menggunakan pangiwa ini, pada kematiannya nanti, atmanya kembali ke Siwabhuwana].
Sarining Panengen menyebut sendiri ajaran di dalamnya adalah pangiwa. Sedangkan teks Pangiwa Gni Murti yang masih dalam satu naskah dengan Sarining Panengen, menyebutkan jenis-jenis api berdasarkan arah. Jenis api itu adalah api merah di selatan, api kuning di barat, api hitam di utara, api putih di timur. Beberapa teks selanjutnya yang ada di dalam naskah Panengen [No. 537] juga menjelaskan tentang keberadaan api, proses kemunculan, serta beberapa sebutan untuk api. Sampai pada tahapan itu, pembacaan terhadap Ensiklopedi Kiwa Tengen dihentikan, sebab buntulah hasil pencarian terhadap konsep Kiwa-Tengen, Pangiwan-Panengen sebagaimana dimaksudkan pada awal tulisan ini dibuat. Tetapi pencarian tentu masih bisa dilanjutkan, dengan memeriksa sejumlah naskah yang masih menyembunyikan dirinya entah dimana. Sebagai awal, berikut ini ada sebuah petunjuk yang didapat ketika memeriksa satu naskah di dalam Ensiklopedi Kiwa Tengen, yang secara khusus membicarakan tentang Pangiwa-Panengen. Petunjuk itu ada dalam naskah Pangiwa [No. 6533] yang menyebut:
tingkahing ngamijilang genine ring raganta, yan angangge pangiwa yadian panengen, sama juga abresih den pahening [EKK, hlm. 429].
[cara mengeluarkan api dari tubuh, jika menggunakan cara Pangiwa atau pun Panengen, sama saja ialah dengan membersihkan].
Kalimat selanjutnya dari kutipan di atas adalah penjelasan tentang ‘pembersihan” yang dalam tulisan ini tidak ditunjukkan sebab bersifat teknis, di dalamnya termuat beberapa cara dan juga sarana yang digunakan. Kutipan pendek yang didapat sepanjang pembacaan sekilas pada Ensiklopedi Kiwa Tengen itu barangkali bisa menjadi awal untuk memetakan pencarian tentang Pangiwa dan Panengen. Pencarian mestilah dilanjutkan dengan peta yang jelas. Tentang peta, ada ucapan orang pintar, dikatakannya bahwa “Peta itu, tidak jauh tidak dekat”. Yang namanya pencarian, tidak selalu menemukan. Orang boleh mencarinya kesana atau kesini, tiba-tiba yang menemukan adalah ia yang tidak kemana-mana***