Kamarnya 3×3 meter, lampunya redup kuning-jingga, pagi hari di jendela lawas itu cahaya matahari menyisir lantai yang dingin. Di rak kecil sejumlah kamera analog dijajar rapi, sudut kemiringannya diperhitungkan dengan baik, di beberapa pojok rak sejumlah bunga cemara kering rekah, beberapa foto lawas dipajang simetris. Kasurnya ukuran untuk satu orang, bantal bertumpuk dengan selimut, di meja kerja ada beberapa tumpuk buku, teratur, di belakang pintu sejumlah baju digantung, di atas lemari ada produk parfum, cuci muka, pomade dan alat-alat sehari-hari di tata dengan dinamika bentuk yang sedap dipandang mata. Dekat jendela ada beberapa tanaman tumbuh, sepertinya sengaja diletakkan di sana.
Sekiranya begitulah kamarnya Nicolas Mora, salah seorang kawan musisi solo dari Malang, Jawa Timur. Saya menginap di sana sekitar 3 harian awal tahun 2019, rumahnya agak jauh dari kota Malang. Daerah puncak yang sejuk-dingin dan sering saya jumpai pohon cemara tumbuh di beberapa tikungan.
8 November 2019, ia merilis single dan video lirik di kanal youtube berjudul Time Will Heal Us. Sampai tulisan ini dibuat saya masih mendengar lagu tersebut, alih-alih saya terjebak pada lirik romatis-sakitnya itu, saya malah membayangkan kamar Nico yang saya deskripsikan di atas. Kamar yang begitu intim, sejuk dan lawas. Di sana lah saya dan Nico berdiskusi apapun, mulai dari buku, musik, puisi dan proses kami mencipta satu karya. Ia selalu memiliki cerita realitas yang begitu fiksi berdasarkan pengalaman hidupnya. Sudut pandang penciptaannyapun menarik dari sudut pandang , wajarlah dia seorang sosiolog membaca fenomena masyarakat kemudian dialihwahanakan ke dalam lagu.
Time Will Heal Us, nampaknya hendak menyerahkan segala prahara hidup kepada sang waktu, aih nampaknya klise dan melankolis sekali si Nico ini.Ia bermain pada tataran memori koletif untuk menyampaikan pesan dengan gamblang, liriknya berbahasa Inggris dan mudah dipahami, tidak jauh pada metafor sehari-hari. mungkin saja ia sedang menyederhanakan realitas kita hari ini yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan tidak pasti. Yang saya suka darinya ia selalu berhasil menangkap komponen terkecil misalnya hidup tukang ojek, hidup seorang wanita yang dicampakkan, dan lain-lain.
Manusia seperti apa yang dihasilkan dari realitas jamak hari ini ? realitas jamak yang saya maksud adalah realitas fisik dan realitas dunia maya media sosial. Di medsos kita bisa jadi siapa saja, jadi orang bijak, pemarah, tukang hakim, tukang bully lalu siapa sebenarnya kita pada realitas fisik ?.
Satu di antaranya adalah menjadi bijak, simak lirik satu ini
“If there’s no way out for it
I will not hold you here
Promise me you’ll keep our memory”
Aaiiiih betapa dewasanya tokoh yang ia hendak ceritakan dalam lagunya, mari kita berpisah namun jagalah setiap kenangan yang kita pernah rangkai bersama. waktu mencatat, juga mengekalkan segalanya, namun sekaligus memakannya. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono “Yang Fana Adalah Waktu” tahun 1978
Yang fana adalah waktu. Kita
abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.
Dalam puisi Sapardi kenangan di rangkai menjadi buket bunga, disimpan, lalu terlupakan-untuk apa bunga itu ada, namun bentuknya hadir sebagai objek yang mengacu pada suatu peristiwa. Objek itu abadi, waktu berjalan abai saja, dan manusia abadi nampaknya suatu hal mustahil, tapi objek hasil kenangan adalah ruang jejak sejarah yang tidak mungkin hilang.
Co kamu lupa, putus cinta sekalipun manusia mampu memanipulasinya dengan sempurna. Tidak semata-mata menye-menye dan melankolis, tapi terimakasih lagumu mengajarkanku untuk mengenal riwayat luka-luka dalam pengalaman tubuh selama ini.
Di balut alunan gitar yang pelan dan melodi eletrik yang dipetik panjang, Nico seolah mengajarkan kita untuk perlahan dalam melanjutkan perjalanan diajaklah kita menyelami kesedihan dalam-dalam, mengenalnya, mengajaknya tidur, mengajaknya minum kopi di beranda, lalu mengobrol segala rencana masa depan, kemudian kita bosan dan pulang ke rumah masing-masing.
Pemilihan video liriknya pun termasuk berkarakter, alih-alih menggunakan editan teknologi yang menampilkan teks di layar, ia memilih mengetik teksnya dengan mesin ketik, sesekali diselingi gambar abstrak dengan komposisi sendu nan syahdu. Keseluruhan gambar memakai filter hitam putih.
Mesin ketik, filter hitam putih menyiratkan ruang kenangan yang jauh di belakang. Simbol ini saya tangkap sebagai ruang kontemplatif diri yang sudah beranjak, agar kenangan semestinya ditata, diletakkan dalam ruang sunyi di kepala. Ruang-ruang sunyi inilah nampaknya yang akan dilindas waktu, dikepingkan, dikekalkan, atau menjadi satu cacatan untuk hidup berkelanjutan.
Time Will Heal Us menjadi list wajib saya, sejajar bersama Laura Marling – What He Wrote, Archade Fire – Song On The Beach yang langsung saya dengarkan ketika baru bangun atau menemani membaca buku sembari menyesap rokok dan kopi.
Selamat atas kelahirannya, Co, aku senang-bangga, sekaligus benci sebab kau yang dapat merekam suasana sedalam itu. [T]