Hampir semua pelaku pariwisata pernah mengalami komplain dari customernya (tamu/wisatawan). Biasanya, para tamu komplain karena merasa dirugikan atau mendapat servis yang kurang optimal. Hal ini wajar saja, asalkan sesuai dengan kenyataan. Namun, apa jadinya jika komplain sengaja diciptakan oleh tamu (tertentu) lalu menimpa Anda?
Kasus inilah yang kerapkali dialami oleh pelaku pariwisata di Pulau Nusa Penida. Di penghujung tagihan (akan Check out), ada wisatawan (asing) tiba-tiba melontarkan amarahnya karena kehilangan uang di kamar penginapan. Lalu, si tamu menyemprotkan amarahnya kepada karyawan penginapan (villa) hingga kepada pemiliknya (owner). Ia menuduh lingkungan penginapan tidak aman, dihuni orang-orang dengan attitudeyang kurang baik, hingga berkesimpulan penginapan tersebut tidak layak untuk dioperasikan lagi.
Tidak cukup sampai di sini, ia juga mencoba menarik perhatian tamu lain dengan cara meningkatkan akting marahnya secara profesional. Ekspresi muka, kata-kata yang dilontarkan, dan gesture tubuhnya meyakinkan bahwa si tamu benar-benar telah menjadi korban kemalingan.
Kondisi ini membuat karyawan dan owner villa tertegun. Bengong harus berbuat apa, kecuali cuma tertunduk lesu, sambil mendengarkan, menonton akting si tamu dan sesekali melontarkan kata maaf. Namun, kata-kata maaf tidak memiliki kekuatan karena tidak dapat meredakan amarah si tamu. Situasi inilah yang dimanfaatkan oleh si tamu untuk memenuhi akal bulusnya, yakni misi gratis.
Bermodalkan akting danpressure, si tamu tidak perlu berkeringat untuk membayar sepeser pun. Padahal, kasus kehilangan merupakan murni rekayasa. Rekayasa komplain untuk mendapatkan penginapan gratis, makan gratis, mandi gratis dan bersantai gratis. Selain minta gratisan, ada pula tamu memaksa (minta) ganti rugi berupa uang kepada pihak penginapan.
Walaupun tidak banyak, tipekal tamu-tamu model ini nyata adanya. Model attitude tamu yang tak terpuji. Tipekal yang mengedepankan cara-cara culas (menipu, berbohong), berlagak preman, dan aji mumpung.
Menurut Denham ada tiga tipe pelanggan yang melakukan komplain. Pertama, active complainers, yang memahami haknya, asertif, percaya diri, dan tahu persis cara menyampaikan komplain. Mereka cenderung menginformasikan dan mencari solusi atas setiap komplain yang mereka rasakan, sehingga kita berpeluang melakukan perbaikan dan memuaskan mereka. Kedua, inactive complainers, yang lebih suka menyampaikan keluhan kepada orang lain daripada langsung kepada perusahaan yang bersangkutan. Namun, cenderung langsung berganti pemasok dan tidak pernah kembali lagi ke perusahaan yang mengecewakan mereka. Ketiga, hyperactive complainers, yang selalu komplain terhadap apa pun (chronic complainers), yang kadang kala berlaku kasar dan agresif. Mereka hampir tidak mungkin dipuaskan karena tujuan komplainnya lebih dilatarbelakangi keinginan untuk mencari untung (https://hosteko.com/blog/tipe-tipe-pelanggan-yang-komplain).
Terkait mencari untung, ada pula tamu (wisatawan) yang bermain dengan ancaman “senjata”review buruk. Mereka menawar (memaksa) harga penginapan dengan sangat murah (di bawah harga standar). Kalau tidak dipenuhi, maka mereka mengancam akan membuat review yang buruk terhadap penginapan tersebut. Ancaman review buruk ini cukup ampuh membuat pemilik penginapan menjadi takut dan khawatir. Terbukti, beberapa penginapan sudah cukup banyak menjadi korban dari si tamu.
Perilaku-perilaku aji mumpung dari si tamu patut diwaspadai, disikapi, dan dicarikan solusinya oleh pelaku pariwisata. Kalau tidak, sangat mungkin akan dijadikan inspirasi oleh tamu yang berattitude kurang baik untuk berlibur di Nusa Penida. Tamu-tamu model seperti ini bukannya mendatangkan keuntungan, tetapi malah membuat para pelaku pariwisata menjadi buntung.
Belum lagi, perilaku-perilaku buruk tamu yang lainnya, misalnya dalam hal menyewa transportasi (roda dua). Kasus ini paling rentan dan paling banyak dijumpai di Nusa Penida. Si tamu menyewa sepeda motor, tetapi kurang bertanggung jawab. Jika motor dianggap kurang nyaman, mengalami kerusakan, maka mereka tidak segan-segan untuk meninggalkan begitu saja. Entah memarkir sembarangan di pinggir jalan atau dibuang di tegalan/ ladang atau jurang. Pun jika motor mengalami kerusakan (lecet) akibat dijatuhkan si penyewa, maka tidak ada istilah ganti rugi. Semua dibebani kepada pemilik atau pihak yang menyewakan.
Attitude, Kecelakaan, dan Moratorium
Kasus-kasus kecelakaan yang menimpa beberapa tamu di Nusa Penida juga tidak lepas dari attitude tamu yang kurang baik. Kasus kecelakaan dalam diving misalnya. Beberapa tamu yang tenggelam dalam aktivitas diving, banyak dipicu oleh attitude negatif tersebut. Pada umumnya, mereka tidak mematuhi regulasi dan imbauan dari pemandunya. Si tamu sering bengkung, hanya mengikuti keinginannya sendiri.
Begitu juga dengan kasus selfie yang berujung maut di beberapa objek wisata di Nusa Penida (seperti di Devil Tears-Lembongan, Pantai Angel Billabong-Nusa Penida, Tebing Dream Beach-Lembongan, dll.). Semua bermula dari attitude kurang baik dari si tamu. Padahal, larangan-larangan dan regulasi di areal objek sudah ada baik secara tertulis maupun lisan. Kemudian, dipertegas lagi oleh pemandu wisata. Toh, pelanggaran-pelanggaran tetap saja terjadi pada mereka (tamu) yang memiliki perilaku kurang baik.
Selain faktor attitude, kekurangkesiapan pemda setempat juga menjadi pemicu lainnya. Selama ini, belum ada tim juru selamat khusus dari pemda Klungkung untuk mengantisipasi kasus kecelakaan di lokasi objek wisata. Nihilnya “tim juru selamat khusus” ini, membuat kecelakaan tamu di lokasi wisata menjadi semakin riskan.
Jika tidak segera dicarikan solusinya, maka ke depan akan mengancam kelangsungan eksistensi industri pariwisata di Nusa Penida. Tumpukan-tumpukan kasus kecelakaan ini nantinya akan menganggu kenyamanan tamu berwisata ke Nusa Penida. Padahal, kenyaman merupakan faktor utama yang menentukan nyawa industri pariwisata. Karena itu, tidak salah jika Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali kemarin sempat mengancam isu moratorium. Sesungguhnya, isu moratorium tersebut merupakan rambu-rambu bahwa keselamatan tamu di Nusa Penida harus terjamin.
Namun demikian, harus disadari bahwa jaminan keselamatan tidak boleh hanya dibebankan kepada pihak eksternal (pemerintah, insfrastruktur, dan lain sebagainya). Pada beberapa kasus kecelakaan tamu, yang berujung maut di Pulau Nusa Penida, justru dominan bersumber dari faktor internal yakni attitude si tamu. Si tamu lebih mengutamakan syahwat kesenangannya, lalu mengindahkan regulasi yang ada.
Kasus attitude tamu ini merupakan persoalan serius. Persoalan yang harus diatasi untuk meminimalisir kasus kecelakaan di objek wisata. Karena itulah, pentingnya mengedepankan sikap kooperatif antara pihak wisatawan dengan pihak yang berwenang (pemandu, penanggung jawab). Sebisa mungkin, para pemandu melakukan pendekatan (kompromi, briefing) dengan wisatawan yang bengkung, sambil memantaunya dengan cermat. Jika terjadi pelanggaran, pemandu jangan segan-segan untuk mengingatkan. Bahkan bila diperlukan, pemandu dapat bertindak tegas terhadap wisatawan tersebut.
Komproni-kompromi terhadap para wisatawan yang ber-attitudekurang baik itu, sangat urgen. Sikap kompromi ini tidak hanya bermanfaat untuk menyelamatkan diri wisatawan, tetapi juga bermanfaat untuk menyelamatkan nasib pelaku pariwisata, dan terutama kelangsungan industri pariwisata di Nusa Penida. Dari sikap komproni inilah, kita berharap cerita kecelakaan wisatawan di Nusa Penida kian dapat diminilisir, sehingga mimpi buruk moratorium (dari sang eksukutor HPI Bali) tak lagi menjadi hantu jalanan. [T]