Setiap akhir tahun Dewan Pengupahan negeri ini merumuskan upah tenaga kerja yang akan disarankan kepada pemerintah untuk diberlakukan tahun berikutnya. Hampir setiap akhir tahun serikat pekerja negeri ini turun ke jalan untuk menuntut kenaikan upah. Semoga akhir tahun ini tidak ada yang turun ke jalan unjuk rasa menuntut kenaikan upah.
Upah yang ideal adalah upah yang layak dan adil yang bisa memberikan kesejahteraan kepada tenaga kerja, sehingga tenaga kerja bisa fokus bekerja, mengembangkan kompetensi, dan akhirnya meningkatkan produktivitas memberikan kontribusi bagi perusahaan. Di sisi lain upah itu supaya mampu dibayar oleh perusahaan dan perusahaan tetap dapat keuntungan untuk diinvestasikan kembali, sehingga dapat membuka lapangan kerja untuk tenaga kerja baru.
Persoalan upah tenaga kerja sudah menjadi topik perdebatan yang berkepanjangan sejak munculnya revolusi industri (saat ini peristiwa itu disebut revolusi industri 1.0) yang ditandai dengan penemuan mesin uap James Watt dan munculnya ilmu ekonomi yang ditandai dengan penerbitan buku Adam Smith berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation. Nampaknya bukanlah suatu kebetulan munculnya penanda revolusi industri bersamaan dengan munculnya penanda ilmu ekonomi modern tahun 1776. Industri dan ilmu ekonomi saling menopang.
Pada awal revolusi industri gagasan tentang upah tenaga kerja adalah upah agar hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok, supaya pemilik modal memiliki keuntungan untuk mengembangkan industri. Karena itu upah tenaga kerja kecil dan tenaga kerja tidak bisa menabung. Yang bisa menabung hanya pemilik modal dan pemilik tanah. Tenaga kerja semata-mata dipandang dan diperlakukan sebagai faktor produksi sama seperti faktor produksi lainnya.
Gagasan tentang upah yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok itu dikritik sebagai “upah besi” , karena sedemikian keras menekan dan memeras keringat tenaga kerja. Seharusnya, menurut gagasan pengritik ini, tenaga kerja dibayar sesuai nilai lebih yang dihasilkan oleh tenaga kerja.
Kritik terhadap “upah besi” itu lambat laun rupanya mendapat perhatian dari pemilik modal sejalan dengan perkembangan ilmu ekonomi. Tenaga kerja tidak lagi dipandang sebagai faktor produksi semata. Tetapi sebagai aset perusahaan yang berharga yang perlu diberikan akses untuk berkembang sejalan dengan perkembangan perusahaan. Maka upah kemudian dibayarkan tidak lagi hanya memenuhi kebutuhan hidup minimum. Tetapi upah dibayarkan sesuai dengan pengalaman kerja, jabatan, kompetensi dan tingkat pendidikan dan tentu saja juga memerhatikan kontribusi terhadap perusahaan.
Tentu tidak semua pengusaha memiliki kesadaran untuk membayar upah tenaga kerja dengan memerhatikan kontribusi tenaga kerja terhadap perusahaan. Yang lebih sering terjadi adalah berlakunya hukum pasar, jika penawaran tenaga kerja banyak dan permintaan atau kebutuhan sedikit maka upah tenaga kerja menjadi murah. Pengusaha akan berupaya mengurangi penggunaan tenaga kerja dengan menggantikannya dengan teknologi agar lebih efisien demi mengoptimalkan keuntungan.
Oleh karena itu persoalan upah tenaga kerja tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada hukum pasar, seperti menyerahkan harga barang kepada mekanisme pasar. Karena tenaga kerja itu bukan barang, melainkan makhluk hidup yang seharusnya bisa dijadikan aset berharga.
Upah tenaga kerja biarlah dibicarakan antara tenaga kerja dan pengusaha dengan kehadiran pemerintah sebagai penengah untuk mencari jalanterbaik. Upah agar mampu memberikan kesejahteraan bagi tenaga kerja dan pengusaha mampu membayar upah yang diperlukan. Kemudian perusahaan bisa berkembang bersama-sama dengan tenaga kerja untuk bisa membuka lapangan kerja merekrut tenaga kerja baru yang terus tumbuh. Jika dalam pembicaraan itu membutuhkan kehadiran para ahli dari perguruan tinggi bagus juga. [T]
*Singaraja 13/10/2019, renungan sebagai wakil ketua Dewan Pengupahan Kabupaten