Sahabat-Sahabat Sastrawan dan Pecinta Sastra yang Berbahagia,
SALAM SASTRA,
SUNGGUH saya merasa girang gembira dan bahagia menyambut pertemuan yang bertemakan “Sastra, Lingkungan, dan Kita” ini, di sini, saat ini. Meskipun dikemas dalam judul yang sangat umum—“Seminar Internasional Sastra Indonesia”—namun saya jauh lebih terpikat pada tematik yang diusung pertemuan ini, yakni “Sastra, Lingkungan, dan Kita”. Lebih daripada tematiknya, saya merasa girang gembira dan bahagia karena pertemuan ini diselenggarakan di Bali, dan pas tepat pula dilangsungkan pada bulan Oktober. Kenapa Tempat dan Saat ini Tepat—dan karenanya menjadi penting?
PERTAMA, SOAL TEMPAT: DI BALI. Lebih daripada berbagai julukan yang telah diberikan kepada pulau mungil bernama Bali ini, seperti Pulau Seribu Pura, Pulau Dewata, The Last Paradise Island,Morning of the World, Inspiring of the World—bahkan pascabom 12/10/2002 Bali diobral murah-meriah sebagai “Bali for The World”—saya kira ada yang diluputkan dan dilupakan dari julukan-julukan Bali itu: bahwa akar dasar alamiah nan asli asali Bali itu sesungguh-sungguhnya adalah Pulau Sastra. Ya, Bali sejati sesejati-sejatinya adalah: Pulau Sastra.
Jejak panjang kesejarahan tanah-air Bali dari era prasejarah sampai pada era-era sejarah berikutnya menunjukkan dengan jelas aliran air sungai-sungai Kesastraan yang menghampar luas itu: terpola, terstruktur, dan tersistem sedemikian rupa berlapis-lapis meresapi-merasuki berbagai sisi kehidupan manusia Bali. Aliran ini menemukan muara puncak pencapaian penataannya secara terpola, terstruktur, dan tersistem manakala Bali telah sampai di titik era komunal-agraris yang menetap, dengan simpul-simpul kristalisasi kesadaran visioner ekologi-sosio-kultural-spiritualitas dalam kelembagaan permanen berupa Subak,Desa Adat, dan Bandega. “Ilmu Salak-Subak, adab-Adat, dan hela-dayung-Bandega” Bali pada hakikatnya merupakan persemaian benih-benih Sastra yang ditumbuhsuburkan dalam laku hidup nyata sehari-hari dalam bentang keruangan alam yang utuh-menyeluruh, dari hulu, tengah, sampai hilir: “Ilmu Salak-Subakdi hulu, adab-Desa Adat di tengah, dan hela-dayung-Bandega di hilir”. Karena itu menjadilah Bali dengan visi kealaman yang komprehensif-holistik utuh-menyeluruh hulu-hilir sebagai Sastra Sagara-Gunung,atau Sagara-Ukir, atau Pasir-Ukir. Inilah Teks, Konteks, dan Konten Sastra dalam visi Bali yang tersurat dan tersirat utuh-penuh di seluruh tubuh tanah-air-udara Bali sebagai Pulau Sastra, Pulau yang sekujur tubuh tanah-air-udaranya digurati Sastra dalam arti yang seluas-luasnya, sedalam-dalamnya.
BERKESASTRAANdalam visi Bali, tentulah bukan semata—apalagi sama—dengan pengertian sastra sebagaimana lazim diajarkan di lembaga pendidikan formal, yang sebatas mencakup fiksi—ber-genre puisi, prosa, dan drama. Sastra dalam samudra peradaban Bali mencakup pengertian makna yang sangat luas, mulai dari karya susastra, kitab suci, ilmu pengetahuan, alat untuk mengajar, buku atau kitab. Bahkan juga berarti senjata. Dalam maknawi lebih substansial, di Bali sastra sejati justru merujuk Kesadaran Jiwa Tak Terbatas, sebagaimana dapat disusuri dari konsep sastra tan patulis (sastra yang tak tertulis). Dengan begitu Aksara-Bahasa-Sastra sebagai Akar-Dasar sekaligus Puncak Mahkota Peradaban mencakup pengertian yang berlapis-lapis dari sastra berbentuk karya tulisan, meta-sastra, hingga suprasastra yang dinamakan Paramasastraatau Mahasastra hingga Adisastra. Linguistik pun tidak sebatas bahasa verbal, tapi juga meta-linguistik, hingga supralingiustik sebagai Mahasabda atau Mahaswara, Getaran Murni Tiada Terputus. Teks pun mencakup yang terbatas sampai suprateks Yang Tak Terbatas di dalam-Diri maupun di luar-Diri.
Dengan cakupan makna kesastraan yang sedemikian luas dan mendalam, maka Bali sebagai Pulau Sastra, Pulau Berkesastraan, yang dimaksudkan di sini tentu adalah teks, konteks, dan konten ruang kehidupan di tanah-air-udara Bali yang divisikan para tetua dalam bahasa tradisi Bali sebagai bhawa maurip, Semesta Kehidupan yang Hidup. Sebagai bhawa maurip, maka tanah-air-udara Bali pun diperlakukan dengan kesadaran berkesastraan, sebagaimana layaknya memperlakukan manusia hidup berkemuliaan.
Perlakuan Berkesadaran Berkesastraan terhadap tanah-air-udara Bali sebagai bhawa maurip ini diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari secara terpola, terstruktur, dan tersistem berlapis-lapis dalam berbagai aspek kehidupan. Dari Kesadaran Berkesastraan inilah lantas lahir sikap hidup dalam kehidupan yang berkesatuan sekaligus berkesantunan terhadap semesta raya kehidupan dengan segenap isinya, sehingga lahirlah spirit hidup dalam kehidupan bersama yang urip-nguripi, saling memuliakan, saling menghidupi. Kesatuan dan kesantunan urip-nguripiterhadap semesta raya kehidupan inilah inti sistem eko-sosio-kultural-spiritual cara Bali. Inilah Adab Sastra, Kesastraan, dan Berkesastraan Cara Bali yang sesungguh-sungguhnya: dari Sastra terus menembus meretas sampai ke Paramasastra atau Mahasastra sebagai sang Adisastra.
Pemahaman mendalam terhadap Bali sebagai Pulau Sastra yang sudah sampai pada taraf Keadaban Hidup itulah menyebabkan Proklamator sekaligus Presiden I Republik Indonesia, Ir. Soekarno, lantas mendirikan Fakultas Sastra Udayana sebagai Perguruan Tinggi Negeri pertama di Bali. Saat upacara pembukaan perguruan tinggi pertama di tanah Bali itu, hari Jumat (Sukra) Umanis wuku Langkir (cermati pilihan hari baik ini!), 29 September 1958, Menteri PP dan K Republik Indonesia, Prof Prijono, begitu spontan menyebutkan agar Fakultas Sastra Udayana nantinya benar-benar bisa menjadi “bahni ring pahoman, dumilah mangde suka nikang rat”: menjadi layaknya api di tungku pedupaan sang pendeta, menyala-nyala terang cemerlang gemilang mencerahkan dan membahagiakan masyarakat di jagat raya (rat), sesuai dengan yang disurat oleh kawi-wiku Mpu Yogiswara dalam sargah I bait ke-10 kakawin Ramayana—yang sampai sekarang diyakini sebagai karya sastra kakawin tertua karya asli Nusantara.
Di tengah pusaran keruangan-kewaktuan Indonesia yang baru merdeka 13 tahun saat itu, di mana upaya pembentukan pembangunan watak kebangsaan (character building & nations state) begitu dirasakan sentral sebagai upaya hulu pembangkitan mutu manusia Indonesia, cita-cita yang dilekatkan pada Fakultas Sastra Udayana untuk “dumilah mangde sukanikang rat” saat itu tentu sangat penting dan strategis. Makna penting serta strategis demikian diberikan terkait dengan posisi Bali yang dibahasakan oleh Presiden Soekarno saat itu sebagai “peti wasiat” penyimpan teks-teks kearifan peradaban batin Nusantara. Spirit payung ke-Indonesia-an yang diformulasikan dalam triangle“segi-tiga-emas” PancasilaàBhinneka Tunggal IkaàBurung Garuda, misalnya, sumber-sumber tekstual dan kontekstualnya begitu berlimpah otentik tersimpan dalam “Peti Wasiat” Perpustakaan-Kepustakaan bernama Bali ini.
Dalam kemaknaan itulah Presiden Soekarno lantas menyebut dan berharap Fakultas Sastra Udayana ini nantinya bisa menjadi “pewahyu bagi rakyat dengan menggali kecintaan kepada Tanah Air untuk hari kemudian, dan sekaligus menjadi pewahyu pula bagi rakyat yang sedang berjuang membebaskan bangsa dari semua kemiskinan.” Perhatikan, begitu terang benderang Bung Karno yang berdarah ibu Buleleng-Bali itu menyebut “pewahyu bagi rakyat” dengan menggali kecintaan kepada Tanah Air, dan “membebaskan bangsa dari segala kemiskinan”.
KEDUA, PERIHAL SAAT: ini juga Tepat dan menjadi penting. Dalam sistem kewaktuan Bali, bulan Oktober ini pas tepat bersamaan dengan Sasih Kapat (bulan Keempat). Tradisi kesastraan Bali menyebut Sasih Kapat ini dengan istilah Kartika Masa. Saat ini bunga-bunga sedang girang gembira bermekaran. Inilah masa ‘musim semi’ a laKhatulistiwa-Bali: meskipun tanpa guyuran salju, namun Alam Semesta Raya tetap saja elok, memesona, ketika gugusan Bintang Utara (tradisi Bali menamakan Bintang Kartika) berada dalam posisinya yang terdekat dengan Bumi. Momentum kewaktuan sekaligus keruangan dan kealaman ini niscaya membuat hati mereka yang berkepekaan nan halus menjadi bergetar bingar.
Bunga memang menjadi penanda penting sasih Kapat. Bunga pula mendapat perenungan makna begitu istimewa dalam kaitan spiritualitas dan kultural Bali. Orang Bali Hindu seperti tak bisa terpisahkan dengan bunga. Dengan bungalah orang Bali memuja. Bunga pula menjadi unsur persembahan paling mendasar dan paling sederhana bagi orang Bali, di samping buah, air, dan api. Itu sebab kosa kata bunga dalam bahasa Bali memiliki sejumlah padanan dengan derajat makna yang berjenjang, mulai dari bunga, sekar, hingga puspa dan wangi sebagai ungkapan terhalus, terhormat. Bunga, memang, menjadi ‘bahasa’ universal. Dan, orang Bali tak cuma berhenti pada katakan dengan bunga, melainkan lebih daripada itu: Pujalah dengan bunga!
Bagi penekun yoga, bunga persembahannya tak sekadar bunga yang tampak mata, tapi lebih dalam daripada itu adalah bunga hatinya yang tak kunjung layu. Itu dinamakan puspa tan alum, denyut jantung tak kunjung henti, yang terletak di padma lubuk hati terdalam—dinamakan padma hredaya. Di sanalah para kawi-yogi menstanakan Sang Maha Pencipta sebagai sang Mahakawi. Tak pelak lagi, ketika orang Bali Hindu mabakti (sembahyang) dengan sarana bunga, itu menjadi simbolik persembahan kesucian dan ketulusan hatinya yang harum semerbak, halus. Bunga menjadikan bungah(asri) dan bingar (ceria). Kapat pas tepat Oktober ini, saat kita bertemu di Bali ini, merupakan momentum pas tepat bagi kontemplasi mendalam untuk pemekaran Kesadaran Jiwa Kesastraan yang puitis dan estetis.
Dalam laku sehari-hari manusia dituntut dan dituntun agar menyemaikan ketulusan dan keharuman laku nyataberupa: “Senyum manis, tutur kata halus, serta raut muka ramah penuh kasih itulah yang patut dijadikan sarana pemujaan utama kehadapan sang Maha Hidup,” begitu Mpu Tanakung menyuratkan dalam kakawin gubahannya yang terkenal, Siwaratrikalpa—di Bali lebih dikenal dengan sebutan kakawin Lubdaka.
Sahabat-Sahabat Sastrawan dan Pecinta Sastra yang Berbahagia,
Dengan momentum keruangan dan kewaktuan yang tepat seperti itu, saya berharap semoga pertemuan Sastra, Lingkungan, dan Kitadi Bali ini dapat lebih menginspirasi kalangan yang lebih luas lagi untuk mengisi lembar-lembar kehidupan dengan Kesadaran Sastra. Sangat elok bila pertemuan Sastra, Lingkungan, dan Kita seperti ini bisa terus digelar bergilir saban Kapat-Oktober di titik-titik simpul Kehidupan Sastra di seantero tanah-air Nusantara Raya ini. Sudah jamnya kini Nusantara Raya menginspirasi kemekaran Kehidupan Sastra!
Dalam konteks faktual dan aktual kehidupan kolektif di banyak belahan dunia yang semakin terbetot oleh pola-struktur dan sistem ego-individual-material, adalah kecenderungan kuat kehidupan kolektif masyarakat Dunia akan semakin terdampar ke pendangkalan, bahkan ke pengapungan, hingga melenting jauh ke titik tanpa akar. Kontemplasi dan kedalaman kian dijauhi, diganti dengan riak-riak permukaan yang serba sesaat, riuh gaduh, dan serba seolah-olah. Yang sudah jelas-jelas ada dekat justru dijauhi, dibaikan; sebaliknya yang “seolah-olah dekat” malah diakrab-akrabi. Mudah ditebak bila sistem yang serba berbalik-balik nyungsang dengan sistem eko-sosio-kultural-spiritual ini lantas menjadikan kehidupan bersama terasa kian kering, sumpek, menekan, membebani, menyusul kian diluputkan dan dilupakannya Kesadaran Kesastraan yang Bersastra.
Bali itu wali. Wali itu berarti ‘kemBali’. Setiap Pejalan yang berkesadaran diri paham benar, Kembali itu adalah mengayunkan langkah demi langkah berbalik menuju arah awal. Bagi para penggurat garis, kembali tiada lain daripada menarik goresan ke arah titik awal mula guratan. Itulah Kembali Sejati: menyusuri menapaki titik awal kemenjadian. Kembali ke Asal-Awal-Mula.
Bali juga berarti bala, kekuatan atau daya Hidup yang utuh-menyeluruh. Daya Hidup utuh-menyeluruh itulah yang menjadikan kehidupan hidup. Tanpa Daya Hidup utuh-menyeluruh, kehidupan menjadi tiada berdaya. Tanpa Daya Hidup, maka kehidupan pun berhenti hidup. Daya hidup utuh-menyeluruh itulah yang menjadikan Bali berlimpah harmoni Puitis-Etis-Estetis, setelah tanah-air-udaranya dirawat dengan penuh cinta dan kesantunan. Kerinduan jiwa terdalam insan-insan manusia untuk mendapatkan dan mereguk Daya Hidup Utuh itulah yang menggerakkan jiwa-jiwa itu datang, datang, dan datang lagi berulang-ulang ke Bali, bahkan akhirnya menetap di Bali. Lebih daripada sekadar menyambung hidup, mencari penghidupan, Bali bagi penyelam-penyelam Kehidupan seakan saklar untuk memasuki lapisan tersakral keberadaan manusia yang berinti-hakikatkan jiwa, spirit. Bukan benda-benda ragawi semata. Bali di titik ini menjadi medan pengisian ulang daya hidup battery jiwa yang telah lemah, layaknya colokan recharger bagi battery telepon seluler yang telah kehabisan daya hidup. Dengan mencolokkan ke saklar daya hidupnya yang paling sakral, maka battery kehidupan yang telah lemah itu pun menjadi ber-Daya Hidup Utuh kembali.
Bali, karena itu, lewat pertemuan “Sastra, Lingkungan, dan Kita” mengajak kita untuk kemBali, kemBali, dan kemBali kepada Kedalaman Akar-Dasar Sastra sebagai Kesadaran Hidup dan Berkehidupan. Bersastra sebagai penghayatan dan pengamalan Hidup Bersama dalam kebersamaan atas kedalaman Kesadaran Kehidupan, dalam arti perilaku Hidup dalam Kehidupan yang lebih memuliakan Hidup sehingga “Hidup Menjadi Lebih Hidup”.
Ketika kehidupan bersama dalam ruang-ruang politik, sosial, ekonomi sudah semakin keruh, bahkan ceramah-ceramah agama sekalipun sudah sedemikian mengkotak-kotakkan dengan sekat-sekat identitas primodial, bahkan menabursuburkan benih-benih intoleran atas keberagaman kehidupan bersama, memicu dan memacu pemikiran-perkataan-perbuatan keras, melukai perasaan kemanusiaan, serta intoleran dan radikal, maka sudah “jamnya”-lah saya kira Sastra wajib Hadir dan/atau di-Hadir-kan kembali untuk membasuh, melebur, sekaligus meretas kekotoran dan kekerasan pikiran yang menyekat-sekat mengkotak-kotakkan itu supaya kemBali ke hakikat “ke-Menjadi-an” kita sebagai makhluk Spiritual yang amat lentur dalam mendapatkan pengalaman Kemanusiaan. Bukan justru sebaliknya: menjadi manusia yang memburu dan membangga-banggakan pengalaman spiritual—tanpa pernah sungguh-sungguh melakonkan hidup yang berspiritualitas. Alih-alih, justru terperosok sebagai “penjaja agama”—tanpa kepekaan cita-rasa Kesastraan yang puitis, estetis, dan memuliakan kehidupan bersama.
Begitu benderang telah diingatkan oleh para tetua Bali di masa lampau, bahwa dalam setiap titik peralihan, dari zaman ke zaman, Sastra (sekali lagi: dalam arti lebih sublim dan luas!) agar dijadikan sebagai Pedoman Dasar, sebagai Tongkat Petunjuk Jalan. Dan, di situ dia yang memegang Sastra sebagai Tongkat Petunjuk Jalan sudah semestinya independen merdeka kukuh, layaknya sang kawi-wiku yang berkewajiban mengingatkan menerangi setiap pejalan kehidupan, tak terkecuali sang ratu atau raja, yang menyimpang dari tugas pokok dan kewajibannya sebagai pemimpin yang mengemban amanat dan mandat rakyat.
Dalam bahasa Mpu Kanwa lewat kakawin Arjuna-wiwahagubahannya, dia yang telah mahir Sastra adalah dia yang huwus limpad sakeng sunyata—dia yang telah katam me-Nir-kan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompoknya. Yang senantiasa diupayakan dalam hidupnya hanyalah sukaning rat, kebahagiaan segenap isi Alam Semesta Raya. Berkesastraan, karena itu, merupakan proses Menjadi “Merohanikan Diri” untuk sampai pada puncak keberanian “merelakan Diri untuk menomorsatukan banyak orang”. Jika Bersastra penuh wisaya (kemelekatan niat mementingkan diri sendiri), niscaya akan menuai wisya (racun mematikan). Dan, wisyabukan menyehatkan, malah menggiring hidup menuju kebangkrutan.
Sampai di sini saya akhiri catatan pertemuan kita ini dengan ajakan mari kita bersama-sama “Berupacara Diri”:
…..
dari kabut fajar sanur hingga megah senja kuta
bermalam siang tabuh gunung meru merasuki jiwa
di lambung lumbung lambang kedewatan balidwipa
berbanjar peri candi melontar genta yang purba
di luar teratai
di dalam semadi
di luar kepala
di dalam semesta:
langit ilmu manusiawi
masuk ke luar kamus sukmaku
bumi teknologi rohani
raung hutan hantu di lubuk tuhanku
samudera galaksi pribadi
membajak-bajak rawapaya payahku
rahasia seni puisi
bermuka-muka fanabakaku
(… beruas-ruas bambu tuak
tuang-tuang tualang gelegak
bergaung parang perang tenggak ke puncak
menatah patah kata sajak
di luar kepala
di dalam semesta
di luar teratai
di dalam semadi…)
(UPACARA XXXVII, Umbu Landu Paranggi,
Kedewatan, Agustus-Desember 1982)
Terima kasih. NUSANTARA JAYA!
ULP
- Pidato Sastra dalam “Seminar Internasional Sastra Indonesia di Bali 2019: Sastra, Lingkungan, dan Kita” Taman Budaya Provinsi Bali, 10-13 Oktober 2019.