“Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!” Demikianlah kalimat yang tetera pada nisan Karl Marx yang menjadi sebuah cagar budaya di London, Inggris. Kritik Marx atas kapitalisme mengilhami delapan jam kerja, libur akhir pekan, hak berserikat, hingga antikolonialisme.
Lalu apa yang salah dari Marx hingga pernah dikecam di seluruh dunia? Bahkan hingga kini, di beberapa negara, termasuk Indonesia. Sekelompok orang bahkan merasa punya hak untuk menyita buku-buku tentang Marx, secara membabi buta. Sudah pasti ada yang keliru di luar sana!
Sebuah kekeliruan, baik disengaja ataupun tidak, mungkin sudah menjadi bagian dari sisi kehidupan manusia. Namun, saat kekeliruan itu tak pernah dikembalikan pada duduk persoalan yang sesungguhnya, maka ia akan mengabadikan sebuah dendam, kebencian, kesalahpahaman pun ketakutan. Keempatnya adalah sebuah penjajahan, belenggu pada kebebasan hak tertinggi insani yaitu pikiran.
Satu penjajahan akan melahirkan penindasan-penindasan yang lain. Pikiran yang terjajah oleh ketakutan-ketakutan tak berbentuk ini, terdorong untuk meraih kemerdekaannya dengan melawan dan membungkam pikiran-pikiran orang lain, menyita buku-buku yang membuat mereka terjajah dalam ketakutan. Sudah jelas ini sebuah aib intelektualitas.
Kembali pada Mark yang sesungguhnya seorang ilmuawan, ia mungkin tak pernah bermimpi tulisan-tulisannya kelak dikaitkan dengan sejarah kelam dunia di berbagai negara. Ia dikaitkan dengan doktrin kebencian bahkan dilabel sebagai arsitek genosida. Sebetulnya tak sulit membuat garis yang cukup jelas untuk memisahkan Mark sebagai seorang pemikir dengan Lenin – Stalin sebagai dinamit politik.
Pikiran-pikiran, apalagi yang dikaji dalam tataran sains (baca Das Kapital) selamanya ia dimuliakan sebagai kekayaan intelektual insani. Toh kita tak pernah bisa menyalahkan satu agama, apalagi meyita kitab sucinya atau melarang keberadaanya, saat pemeluknya kemudian membunuhi yang lain, bahkan saat mereka secara sadar mengungkapkan itu sepenuhnya atas perintah agama yang dianutnya. Hukum hendaknya pasti, obyektif dan logis, mendekati hitung-hitungan matematika. Hanya ada satu dua yang kemudian dibatasi oleh prinsip-prinsip pengecualian (lex specialis) karena memang akan ada aspek-aspek khusus yang mempengaruhi rasa keadilan.
Sebagai generasi tahun tujuh puluhan, tentu kisah kelam G30S PKI 1965 cuma bayangan-bayangan berkabut di senja hari yang belum jelas buat saya. Nurani paling dalam pada jiwa-jiwa kita, setiap manusia biasa, terus bertanya-tanya bagaimana sesungguhnya prahara itu berlangsung.
Keadaan ini mengingatkan kita pada kontroversi situs WikiLeaks yang dengan terang-terangan membeberkan dokumen-dokumen “tak pantas” berbagai negara di dunia yang telah menyulut kegaduhan. Tak pantas karena dari dokumen-dokumen tersebutlah, negara-negara seperti AS ditelanjangi terkait manuver-manuver tak terpujinya dalam kiprah geopolitiknya. Ternyata tak sedikit kehidupan di dunia ini telah dibangun di atas puing-puing kebohongan.
Negara, pada akhirnya harus menjadi otak sekaligus panglima dalam merumuskan sejarah yang benar untuk anak bangsa. Sejarah yang benar akan membawa setiap kita pada kemenangan dan pemaafan. Toh kita dapat bersahabat kembali dengan Belanda atau Jepang yang telah menindas kita pada masa kolonialisme.
Ada kejujuran fakta sejarah, lalu ada pemaafan di sana. Jika tidak, maka 30 September tidak akan pernah dapat menjadi guru dan pelajaran untuk kita. Ia selalu datang menghembuskan dendam, kebencin dan ketakutan. Horor yang membelenggu intelektualitas manusia dan selalu meminta korban lain untuk menjaga eksistensinya sebagai penjajah. [T]