- Judul: Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci (kumpulan cerpen
- Pengarang: Made Adnyana Ole
- Penerbit: Mahima Institute Indonesia
- Terbit: Cetakan kedua 2019
- ISBN : 9-786026-106360
___
Membaca buku karya Made Adnyana Ole adalah sebuah perjalanan membaca memori, kenangan, ingatan masa silam yang disulam-anyam oleh Ole dalam kemasan narasi yang asik. Asik disini artinya ringkas, bahasa yang ringan, namun dalam penuh perenungan, serta ada kompleksitas pada baian-bagian tertentu. Keasikan kian menjadi ketika pembaca dengan sedikit khusuk membaca lalu mencoba menghadirkan kesamaan frekuansi pada memori-memori masa lalu yang pernah dialami, maka akan hadir pertemuan kenyataan antara fakta karya dan fakta kejadian masa silam.
Siapa yang akan menemukan persamaan frekuensi tersebut? Bagi pembaca yang kelahirannya kurang lebih sejaman dengan atau lebih tua lagi, dengan mudah akan menemukan persamaan frekuansi masa lalu dengan sebagian kisah dalam cerpen ini. Lalu pembaca yang lebih muda bagaimana? Yang mereka dapatkan adalah perihal kesadaran atas memori-memori masa lalu pula, tapi tidak secara tepat pada peristiwa-peristiwa cerpen, namun pada plot-plot dan konflik-konflik yang dihadirkan pengarang.
Dalam catatan pengantar yang ditulis oleh Sugi Lanus pengarang dianggap sebagai petani yang fasih pada dunia agrikulturnya dan penari yang katham pada lekuk tubuh dan teknik tari yang paling rumit. Namun dalam pandangan saya, pengarang adalah seorang Bidan, yap,,,bidan yang ahli dalam membantu proses kelahiran organisme memori masa silam. Sebetulnya dari kata yang ditulis pengarang, kita bisa lihat bahwa pengarang mengungkapkan bahwa hidupnya penuh dengan cerita ketika masa kanak-kanak.
Cerita-cerita didapatkan dari keluarga terutama kakeknya, yang ini akhirnya meninggalkan banyak kegelisahan dalam pikiran pengarang, lalu dituangkan dalam cerpen. Pada media cerpen inilah pengarang menuliskan ingatan masa lalunya yang diperoleh lewat cerita-cerita. Ketika lahir cerpen, jadilah ia cerpen yang menghadirkan kisahan masa lalu. Namun jika pengarang menganggap ini adalah sebuah pelampiasan memori masa lalunya, saya justru melihat ini tidak semata memori masa silam yang bersifat personal, namun memori yang dihadirkan juga bersifat komunal. Menjadi komunal karena tak hanya pengarang sendiri yang merasakannya pada masa lalu. Itulah salah satu alasan saya sebut pengarang sebagai bidan yang membantu proses kelahiran memori masa lalu orang-orang dan komunitasnya.
Kemudian, pengarang karya sastra, dimanapun, siapapun, punya hasrat yang sama, menghadirkan yang terbaik kehadapan pembacanya. Sama seperti bidan, berusaha membantu kelahiran individu dengan baik. Namun tak banyak bidan yang mau ambil resiko belakangan ini, jika tak memiliki jiwa bidan sejati, maka iklaskan saja proses kelahiran pada dokter dengan operasi caesar.
Namun rupanya Made Adnyana Ole adalah bidan sejati, dia mengambil resiko dengan membantu proses kelahiran memori masa lalu komunal. Resikonya dimana? yap,,yang dihadirkan pengarang adalah memori masa lalu yang tidak semua orang senang untuk mengingatnya kembali, memori masa lalu yang menghadirkan traumatik secar individu maupun komunal, memori masa lalu yang sejatinya hendak dilupakan, menghadirkan luka yang tak semuanya suka. Bagaimana tidak, pengarang menghadirkan kecacatan prilaku gerakan-gerakan politik, geliat-geliat picik adat yang selama ini dianggap absolut, kepongahan-kepongahan individu pulau yang dinobatkan surga terakhir, paradoks dihadirkan pengarang. Ini jalan beresiko kawan!
Lima dari sembilan cerpen dalam antologi ini menyinggung peristiwa th 65, G 30 S PKI, serta trauma-trauma yang melekat pada peristiwa tersebut. Soal politik dan penguasaan penguasa atas masyarakat lemah muncul nyata pada cerpen-cerpen tersebut. Hal ini tentu saja beresiko tinggi bagi pengarang dan karyanya.
Resiko berikutnya adalah kesadaran pengarang menggabungkan memori masa lalu dengan kenyataan yang didapati pengarang saat ini. Pengarang sadar ini beresiko namun tetap dijalani dan apakah usahanya berhasil? Saya menduga ini berhasil sebab saya adalah salah satu orang yang sangat percaya bahwa sebuah karya yang telah lahir, punya otoritas yang sangat kuat untuk menemukan siapa yang berhak membaca tubuhnya. Yapp,,,beberapa yang sempat baca buku ini saya tanya bagaimana kesadaran mereka pasca membaca buku ini?
Rerata mereka sadar betul akan memori masa lalu yang dihadirkan pengarang, perihal gerakan politik, perihal carut sengkarut adat, soal kepercayaan dan kesadaran manusia Bali, mereka terkoneksi dengan cukup baik pada buku karya Ole ini. Kenapa bisa ya? Entahlah,,,tapi semua yang saya tahu pembaca buku ini adalah orang-orang yang paham betul mengisi diri dengan memori-memori komunal masa lalu pulau Bali ini. Mengisi diri baik melalui diskusi, bacaan dan ceramaah di kampus, atau mereka adalah bagian dari masa lalu yang dihadirkan pengarang. Pada sisi ini, keyakinan saya bahwa karya sastra akan memilih pembacanya makin kuat.
BACA JUGA:
Ketika cerpen-cerpen Ole bermain dengan memori masa silam, bagaimana pengarang menempatkannya dalam bagian narasi? Pengarang menggunakan teknik plot flashbcak yang hadir pada semua cerpen-cerpen dalam buku ini. Teknik flash back ini dihadirkan dalam narasi secara langsung atau melalui renungan dan kesadaran para tokohnya. Pada cerita yang plot flashback melekat pada narasi seperti pada cerpen Darah Pembasuh Luka, Men Suka, Gede Juta, Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci, Darah Pembasuh Luka. Flash back yang lahir dalam personal tokoh diantaranya adalah cepren Terumbu Tulang Istri, Siat Wengi, Kerapu Macan, Lelaki Garam, dan 4 dari 100 Lelucon Politik. Perbedaan penggunaan teknik ini entah disadari atau tidak oleh pengarang, akhirnya menghasilkan kesadaran memori yang bercitarasa berbeda tentunya, satunya terasa sangat personal, satunya lagi terasa personal namun tersampaikan melalui tokoh dalam cerpen tidak langsung oleh narator.
Kekuatan cerpen-cerpen Ole selain keberhasilannya menghadirkan memori masa lalu secara personal maupun komunal, adalah narasi dengan bahasa yang ringan namun berkekuatan dorong sangat tinggi. Ringan karena tak muncul kalimat yang rumit dalam cerpen. Pengarang membuat narasi dengan bahasa yang tidak terlampau “lebay” sehingga mudah dipahami, tidak pula pengarang mengumbar kata-kata arkais yang meski sejatinya kata-kata arkais melekat sekali pada masa lampau, tapi pengarang memilih menghindari penggunaan kata-kata arkais.
Atas ringannya bahasa yang digunakan pengarang, daya dorongnya justru pada hal ini, dengan bahasa ringan pengarang mudah mengantarkan pembaca untuk mencoba mengerti cerpen-cerpennya pada awal pembacaan, sehingga pembaca membangun asumsi-asumsi atas kisah dalam cerpen, namun justru tegangan hadir pada bagian akhir cerpen yang langsung menghentak pembaca yang sedari awal telah membangun asumsi. Runtuhnya horison harapan pembaca, itu kekuatan utama antologi ini. Cerpen Terumbu Tulang Istri, Siat Wengi, dan Lelaki Garam adalah cerpen-cerpen yang menurut saya memiliki kekuatan itu. Ketiga cerpen ini adalah cerpen yang saya anggap paling berhasil dalam antologi ini membangun tegangan pembaca.
Selain cerpen berhasil, tentu saja ada cerpen yang tak terlampau kuat dalam sekumpulan cerpen dalam buku ini. Sebagai pembaca, cerpen Men Suka adalah cerpen yang kekuatannya tak mampu mengimbangi cerpen-cerpen lainnya. Cerpen ini lemah pada konflik, juga pemplotan yang tak terlampau sukses pula. Tegangan yang hendak dihadirkan pengarang pada akhir cerita, bagi saya tak terlampau kuat. Meski pengarang sebetulnya mencoba menghadirkan kisah yang barangkali nyata dan lazim terjadi pada keluarga korban “perang politik”, dihilangkan atau sengaja menghilang.
Satu hal menarik yang saya lihat dari antologi ini adalah kesadaran pengarang untuk menjadi pencerita. Pada kata pengantar, pengarang melihat bahwa anak-anak sekarang sulit terhubung dengan cerita masa lalu, hal ini barangkali salah satu faktornya adalah kealpaan orang tua anak-anak menyiapkan waktu untuk bercerita langsung pada anak-anak mereka, sehingga transfer memori masa silam tidak tersampaikan dengan baik. Maka untuk memutus mata rantai kealpaan itu, pengarang mencoba menjadi pencerita kepada anaknya dengan menarasikan dalam cerpen terakhir.
Tentu saja cerita-cerita yang diberikan adalah cerita seputar yang dialami oleh pencerita, ditambah hasil pengamatan dan penyelidikannya selama menjadi wartawan. Pada paragrap kelima kata pengantar, Ole menulis “Kakek tidak pernah tahu jika cerita-cerita itu membekas dalam ingatan saya”, ada terselip rasa senang, rasa jengah, pedih juga dari ungkapan kalimat tersebut. Kutipan kalimat di atas, tentunya turut pula akan menjadi bagian dari karya Putik Padi kelak jika ia menjadi penulis. Cerita dari kakek ayahnya diwariskan padanya, guna menghilangkan kesenjangan memori masa lalu pada generasi muda. Mulia betul cita-cita bli Ole,,,,salam.[T]
*Tulisan ini disajikan dalam acara Diskusi Buku “Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci” di Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, Karangasem, Minggu 22 September 2019.