Adalah John Logie Baird si orang Skot itu yang menemukan dasar-dasar televisi di tahun 1926. Hingga 25 tahun kemudian, temuannya itu sudah bisa menjangkau antarbenua, bermula pada saat penyiaran pidato Presiden Truman sehabis perundingan perdamaian dengan Jepang pada tanggal 4 September 1951 di San Francisco. Semenjak saat itu, jarak sudah tidak jadi persoalan.Orang Skot itu telah mempermak bumi menjadi bulatan ukuran kantong.
Dan Mahbub Djunaidi dalam esainya yang bertajuk ‘Teve’ (1987) menyebut tahun 1963 adalah mulainya televisi masuk ke negeri ini, tapi seingat saya, akhir 1990-an, setelah reformasi, televisi baru mulai masuk kampung saya.
Seingat saya, hanya segelintir orang yang mampu membeli televisi kala itu. Dari segelintir orang itu, Pakwo Paji lah, orang yang beruntung punya pesawat pertama di seantero kampung. Masuknya televisi ke kampung saya dengan sendirinya punya dampak. Tiap pukul 7 malam setelah salat Isya, rumah Pakwo Paji berubah jadi semacam majelis ta’lim, ruang penuh orang duduk berdesakan.
Saya—yang baru berumur tiga tahun—, Emak dan Nenek tak mau ketinggalan, kami rela berdesak-desakan untuk bisa menonton sinetron kolosal ‘Misteri Gunung Merapi’ yang tayang berseri di Indosiar kala itu. Kami teriak histeris, saat Sembara dengan pecut amarasuli-nya mampu mengalahkan Mak Lampir dan antek-anteknya. Dan akan tertawa terbahak-bahak, melihat tingkah konyol Basir—juga Ki Kala Kondang dengan ledekan khasnya kepada Mak Lampir: “Nenek peyot, muka codot”. Kami juga akan kegirangan, tatkala Sudawirat, salah satu tokoh dalam sinetron ‘Aling Dharma’, mengeluarkan ajian rengkah gunungnya.
Tidak hanya ‘Misteri Gunung Merapi’ dan ‘Angling Dharma’ saja, tapi juga Warkop DKI era 90-an, Tutur Tinular, serial film Suzzana, Si Buta dari Gua Hantu, dan film Barry Prima lainya, terbukti sukses menghibur orang-orang di kampung saya. Dan tidak ketinggalan, film India, juga sangat dinanti-nanti. Bahkan, sosok Tuan Takur masih sangat melekat sekali di benak Emak saya.
Sedangkan kami sebagai anak-anak, senang sekali menanti film ‘Saras 008’, ‘Wiro Sableng’, ‘Kera Sakti’, ‘Ksatria Baja Hitam’, ‘Ultraman’, ‘Captain Tsubasa’, ‘Dragon Ball’, ‘Teletubbies’, ‘Power Rangers’, dll—juga film-film kungfu dari Tiongkok.
Keluarga saya sendiri, baru mampu membeli televisi pada tahun 2010-an. Itu sudah berantena parabola. Rumah kami masih berlantai tanah kala itu. Bergelombang lagi. Meski demikian, tidak menyurutkan antusias tetangga kami yang belum punya televisi, untuk duduk berjam-jam di depan layar televisi.
Sekarang ini, di era popularitas smartphone, sepertinya—di berbagai tempat—televisi telah kehilangan pamornya. Terutama untuk pemirsa berusia 18-34 tahun. Pada 2016 lalu, Nielsen mengatakan bahwa menonton TV tradisional semua kelompok umur mencapai puncaknya pada kurun 2009-2010. Sampai saat itu, penonton untuk TV telah tumbuh setiap tahun sejak tahun 1949. Kini, angkanya terus merosot.
Nielsen menyebut, banyak orang yang kini menggantikan kebiasaan menonton televisi atau mendengar radio melalui perangkat konvensional dan berganti dengan penggunaan layanan streaming seperti Netfilx, perangkat mobile, dan layanan web seperti Youtube.
Sedangkan dalam blognya, investor media yang juga mantan CEO eMusic, David Pakman, menggarisbawahi bagaimana perhatian telah bergeser dan terus bergeser jauh dari bentuk-bentuk tradisional ke platform baru seperti Twitch (di mana orang bermain video game secara online), serta snapchat dan lain-lain: “Perilaku generasi muda merupakan prediksi masa depan. Facebook, YouTube, Twitch, Tumblr, snapchat, Reddit, WhatsApp, Instagram, Vine, dan YouNow, semua dikatalisasi oleh remaja sebagai pengguna pertama, dan kemudian menyebar ke kelompok usia yang lebih tua”, tulisnya.
Saya merasakannya sendiri. Apalagi semenjak saya merantau ke Singaraja tahun 2015, jarang sekali menonton televisi. Tetapi tidak tahu kenapa, saat sesekali pulang kampung, bisa berjam-jam saya duduk di depan layar televisi. Tentu saja, ditemani Nenek dan Kakek saya yang masih antusias menonton televisi—walaupun suasananya tidak seramai dulu, sebab sekarang hampir tiap rumah punya pesawat masing-masing.
Dengan begitu, kesulitannya pun berpindah. Kalau dulu kesulitan itu menimpa rumah Pakwo Paji, sekarang kesulitan itu menimpa petugas PLN, bagaimana listrik sering mati, akibat banyaknya televisi yang menyala di kampung saya. [T]
(2019)