Dia yang dilahirkan oleh dunia tulis menulis (sebutlah karya sastra), dan karena tulisannyalah ia diperhitungkan oleh sejumlah lembaga penting, sehingga ia kemudian menjadi orang penting di satu lembaga. Namun karena alasan jabatan, kesibukan lain-lain, dan pekerjaan tertentu yang lain-lian, lalu ia tidak lagi menulis, bahkan ia seperti berada jauh dari dunia tulis-menulis.
“Orang itu berdosa besar pada kebudayaan. Pendosa dia. Dan pendosa-pendosa itu banyak sekali sekarang ada,” kata seseorang.
Orang itu, tak perlulah disebutkan namanya, mungkin bercanda dengan serius. Atau serius bercanda. Namun beberapa orang yang berdiri di sekelilingnya mendadak sedikit tercengang. Sedikit sekali tercengangnya, sampai-sampai tidak bisa dikentarakan oleh yang lainnya. Itupun berlalu secepat kilat sebelum akhirnya terurai oleh tawa yang dikeluarkan secara lepas.
Itu seolah menandakan ikut merayakan dirinya masing-masing menjadi bagian dari pendosa-pendosa itu.
Dari arah berlawanan, di belakang kami berdiri dan tertawa-tawa, terdengar suara dari seseorang yang lain, yang cukup jelas dari sound system. “Kita semua punya kesibukan. Saya sendiri juga sibuk, tapi mengapa di tengah kesibukan itu kita harus menulis?”
Mendadak semua terdiam. Bukan hanya gerombolan beberapa orang yang berdiri; kami. audien yang duduk lesehanpun terdiam. Terdengar jelas ada desah yang menghambur keluar dari semua yang ada di tempat itu. Walau tidak semuanya, setidaknya ada beberapa yang mendesah. Entah karena gelisah atau tidak mengerti.
“Karena waktu adalah sesuatu yang berharga. Sangat berharga. Tidak pernah waktu akan berulang. Semua kenangan, kesan dan perasaan yang terjadi pada waktu tertentu, jika ingin jadi penulis, harus segera dituliskan. Karena pengalaman jarang sekali bisa terulang. Kalau tidak segera dituliskan, akan ada pengalaman-pengalaman lain yang akan menimpa dan menimbunnya!” kata orang itu lewat sound system.
Dalam hati, kompak benar ini dua orang. Mungkin itulah yang menjadi alasan, mereka berjodoh (ha..ha..ha).
Kedua pernyataan yang saling mendukung itu terlontar dalam acara “Diskusi buku Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci dan Workshop Penulisan Cerpen yang digelar di Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban, Minggu, 22 September 2019.
Diskusi dan workshop itu menghadirkan dua pasang suami istri, Made Adnyana Ole dan Kadek Sonis Piscayanti, serta Gede Gita Purnama dan Carma Citrawati. Hadir juga pembicara lain, I Wayan Kerti, ketua MGMP Bahasa Indonesia SMP di Karangasem, dengan moderator Aries Pidrawan. Tentu acara itu dibuka dengan penuh taksu oleh Kepala Museum Pustaka Lontar Dukuh Penaban I Nengah Suarya, SE.
Kegiatan yang diikuti oleh orang guru, dosen, penyuluh bahasa Bali, siswa, dan beberapa orang pegiat literasi itu berlangsung sederhana namun sarat dengan pengetahuan dan pengalaman, bagaimana membangun literasi mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kegiatan yang berdurasi kurang dari empat jam tersebut, mampu membangkitkan dan menumbuhkan berbagai macam perasaan. Yang jika ditulis, tentu akan membuat yang menuliskannya itu menjadi penulis. Apalagi ditulis dengan pengembangan dan analisis yang baik akan menjadikan penulis tersebut menjadi penulis yang mempunyai kualitas. Tentu saja itu tujuan dari digelarnya acara tersebut.
Kembali kepada dosa kebudayaan. Kenapa bisa dikatakan seseorang yang pernah menulis, lalu mendapatkan “manfaat” dari tulisan dan kegiatannya menulis, dan kemudian berhenti menulis, akan memiliki dosa kebudayaan?
Sejatinya, selain untuk menuliskan pengetahuan dan perasaanya, seorang penulis secara langsung akan memasukkan budaya-budaya yang berkembang pada masa hidupnya ke dalam tulisan yang dia buat. Tanpa adanya jejak-jejak budaya yang terangkum dalam sebuah tulisan, kebudayaan-kebudayaan yang sudah lama berkembang akan hilang tanpa jejak ditelan jaman.
Dengan kata lain, kita akan mati tanpa memberi warisan kepada anak dan cucu kita. Dengan kondisi mati demikian, kita akan membiarkan anak-cucu kita hidup terapung terombang-ambing tanpa pegangan budaya dalam mengarungi kehidupannya. Mereka hanya akan bergantung pada budaya yang mereka dapatkan saat kehidupannya tanpa bisa memilih pada saat dalam kondisi terdesak. Memberi kehidupan yang demikan, adalah sebuah dosa besar yang tidak akan bisa dipertanggungjawabkan.
Dengan menulis, setidaknya kita mewariskan jejak-jejak kehidupan masa lampau kepada generasi mendatang untuk dapat diambil hal-hal positif yang terkandung di dalamnya agar mempunyai landasan yang kuat dalam menghadapi putaran jaman yang semakin kencang. Bahkan landasan yang diwariskan tersebut, bisa jadi, membuat mereka yang akan mengendalikan putaran jaman yang pesat ini. Pesat dan semakin pesat.
Setidaknya demikian hal yang diperoleh pada Minggu pagi itu. Dan harus segera dituliskan. Jika tidak, maka akan menjadi sesuatu yang hanya “pernah” terlintas dalam benak.
Lalu, bagaimana agar bisa menulis di tengah kesibukan? Jawaban pastinya adalah: punya komitmen yang kuat untuk menulis. Selebihnya masalah waktu, cara, dan perlengkapan lainnya, silakan tentukan sendiri. (???) dan akan lebih baik jika mulai sedini mungkin dan bila ada kebingungan, konsultasikan pada ahlinya (penulis yang sudah berpengalaman) seperti narasumber suami istri yang mengisi acara hari itu. [T]