Tulisan Ngurah Suryawan berjudul “Saru Gremeng Intelektual Muda Hindu” di tatkala.co sungguh keren. Pertama, tulisan itu mengangkat kembali khasanah kosakata intelektual, apalagi ditambahkan kata muda dan Hindu. Siapa yang tak mau mendapat predikat intelektual muda dan beragama (Hindu), saya rasa hampir semuanya menginginkan itu. Pasti keren, deh, pokoknya.
Tapi sebentar dulu, Ngurah Suryawan mungkin lupa menggambarkan apa, bagimana, dan siapa intelektual itu. Bukan dalam tulisan Ngurah Suryawan saja, begitu sering saya mendengar kata intelektual, tapi belum pernah betul-betul ingin cari tahu apa, bagaimana dan siapa intelektual itu. Pemahaman saya intelektual itu adalah orang pintar dan tulisanya sering muncul di koran-koran. Tapi apa benar seperti itu?
Sejauh penelusuran saya, intelektual itu bersanding dengan kata-kata intelektualitas, atmosfir intelektual, kerja-kerja intelektual, tradisi intelektual, dan fungsi intelektual. Intelektual bukanlah difinisi tunggal, namun suatu yang kompleks karena bekerja pada ranah idea, pemikiran, gagasan dan hal-hal non material.
Tidak seperti kerja kebendaan seperti insinyur atau dokter misalnya, yang jelas fungsinya dan terlihat nyata kerjanya. Namun intelektual tidak seperti itu. Intelektual bekerja untuk membuat pandai dan cerdas sebuah bangsa dan masyarakat, dan kerja seperti ini kadang hasilnya tidak terlihat langsung, bahkan baru terlihat dan dirasakan jauh hari setelah sang intelektual tiada.
Siapakah intelektual itu?
Menurut Syed Hussain Alatas, ada enam ciri yang mengarah kepada kelompok yang pantas disematkan kata intelektual, diantaranya ;
- Mereka bukan berasal dari satu kelas tertentu, namun bisa berlatar belakang dari berbagai kelas sosial
- Mereka bisa berasal dari kalangan pendukung ataupun penentang berbagai gerakan kebudayaan atau politik
- Mereka umumnya bukanlah pekerja tangan, umumnya sebagai penulis, akademisi, penyair, seniman, wartawan dan sebagianya.
- Mereka khusuk dan tekun dalam kelompoknya, dalam batas tertentu agak menjauh dari masyarakat pada umumnya
- Mereka umumnya tertarik dengan ide-ide tentang agama, kehidupan yang lebih baik, seni, rasa kebangsaan, pembangunan ekonomi, kebudayaan, dan sejenisnya
- Golongan intelektual adalah golongan yang jumlahnya sedikit dalam masyarakat
Lebih jauh Syed Hussain Alatas menekankan bahwa intelektual adalah mereka yang mampu melihat dan menemukan suatu permasalahan dalam masyarakat dan mencarikan solusi untuk permasalahan itu.
Sedangkan Antonio Gramsci membagi intelektual menjadi dua, intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual tradisional umunya mereka yang bekerja pada ranah teori, dan mendapatkan pengetahuan dari guru atau tetua mereka. Sedangkan intelektual organik adalah mereka yang bekerja berdasarkan teori dan menghubungkannya dengan realitas sosial tertentu, untuk sebuah tujuan dan kepentingan tertentu pula.
Intelektual dalam Tulisan Ngurah Suryawan
Dalam tulisanya Ngurah Suryawan seperti mengeluh bagaimana dalam program Dharma Pangasraman yang dilakukan sebuah organisasi mahasiswa Hindu, mahasiswa yang ikut dalam program tersebut tidak mampu mengaktualisasikan nilai Hindu untuk menerangi masalah konteporer dan kekinian. Ia menduga bahwa mahasiswa Bali kurang percaya diri dan terlalu asik dengan identitas kebalian yang identitk dengan budaya dan seni yang adiluhung, yang mana budaya dan seni tersebut steril dan tak akan rusak oleh pengaruh luar.
Disini Ngurah Suryawan kurang jelas, ia menyalahkan mahasiswa atau intelektual Bali yang sudah jadi dan mapan secara umum. Jika ia menyalahkan mahasiswa semata, tentu tak semuanya benar, karena mahasiswa menerima sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Jika senior mereka mewarisi tradisi intelektual, tentu mereka juga beprilaku intelektual.
Jika Ngurah Suryawan menyalahkan intelektual Bali yang sudah jadi, tentu mereka yang disebut intelektual akan melakukan kerja-kerja intelektual. Jika sampai mereka tidak dapat mewarisi tradisi intelektuaL, patutlah diragukan keintelektualitasanya.
Di konteks inilah saru gremeng hadir, tapi kita lupa bertanya “Siapakah yang salah terhadap situasi ini? Dan jawaban terhadap pertanyaan ini saya rasa tak usah dengan “melapaui Bali“ dalam arti keluar dari tema-tema dan persoalan budaya.
Biarlah intelektual budaya dan seni Bali tetap bekerja, di saat yang sama kita bisa melengkapi dengan membangun atmosfir intelektual yang baik, membangun kerja-kerja intelektua, dan mana akhirnya kita bisa mendirikan tradisi intelektual yang bisa diwarisi oleh generasi muda kemudian hari.
Melampaui Bali artinya mampu melewati atau melebihi pencapaian-pencapaian intelektual Bali sebelumnya. Untuk dapat melampaui capaian mereka perlu pikiran merdeka, kebebasan berpikir, dan inovasi. Semua itu menuntut keterbukaan pikiran dan kesediaan menerima hal baru tanpa harus tercerabut dari akar budaya dan tanpa pula harus terbelenggu dan terhegemoni tradisi intelektual barat. Benih intelektul Bali memang idealnya harus tumbuh di tanah kesadaran Bali sendiri.
Jka fungsi intelektual sudah berfungsi dengan baik, segalanya akan terang. Karena kehadiran intelektual ibarat matahari, yang memberi sinar dan mengusir kegelapan. Masyarakat yang kekurangan intelektual, apalagi masyarakat tanpa intelektual, pasti dalam kegelapan. Banyak permasalahan, banyak suara namun tanpa ada yang bisa memberi solusi dan jalan keluar.
Dalam filosofi Hindu, golongan intelektual adalah golongan brahmana. Dalam bagan varna asrama dharma, ia adalah kepala dan otak masyarakat. Para ksatria adalah bahu dan lengannya, pinggang dan kaki masyarakat vana asrama adalah golongan waisya dan sudra. Idealnya semua bagian itu bekerja sesuai fungsi dan kedudukanya, yang mana sesuai guna karma yang diperoleh masing-masing orang. [T]
TULISAN TERKAIT:
- “Saru Gremeng” Intelektual Muda Hindu
- Bli Ngurah, Kami Mungkin Sedang Terpesona! – [Tanggapan atas Tulisan “Saru Gremeng” Intelektual Muda Hindu]