Sastra anggon cai meme miwah bapa/ ditu takonang alih/ laksana melah/ suba ada makejang/ ne ne madan beneh pelih/ ditu tatas takonang cai. — “Jadikanlah sastra seperti ibu dan ayah/ di sanalah jawaban atas pertanyaan dan tujuan/ perilaku baik/ semuanya telah ada/ yang disebut benar atau salah/ di sana segalanya dapat kau tanyai”. (Geguritan Loda, Pupuh Durma Bait 2)
Tanggal 20 September 2019 ini tepat 113 tahun gugurnya I Gusti Ngurah Made Agung atau yang dikenal sebagai Cokorda Mantuk Ring Rana atau Cokorda Denpasar di medan perang Puputan Badung. Beliau adalah raja terakhir kerajaan Badung yang membela tanah Bali dari serangan Belanda dan kini telah dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional. Beliau adalah pencipta sejumlah karya sastra di antaranya Geguritan Purwa Sanghara, Geguritan Nengah Jimbaran, Geguritan Dharma Sasana, Geguritan Loda, dan lainnya.
Kutipan di atas adalah penggalan Geguritan Loda yang menarik untuk diperhatikan, direnungkan, dipikirkan, dan dipahami. Baris pertama mengandung makna jadikanlah sastra itu sebagai orang tua. Itu adalah petuah orang tua kepada anaknya yang bernama Loda. Di keseluruhan isi geguritan tersebut, Loda menjadi center poin yang menerima segala nasihat-nasihat bijaksana yang mengidentikkannya tiada lain seolah-olah Cokorda Denpasar sendiri.
Satu bait itu memancing interpretasi mendalam bagi pembaca sastra setia. Betapa tidak, sastra dapat dianggap sebagai ayah dan ibu kita. Peran ayah dan ibu di dalam karya sastra tersebut tiada lain adalah sastra itu sendiri, dan Loda sendiri menerima nasihat dari ayah dan ibu yang berwujud sastra. Hal itu tidak hanya sebagai pemikiran kontemplasi Cokorda Denpasar sendiri, tapi juga tamparan halus bagi yang menjauhkan dirinya dengan sastra itu.
Layaknya orang tua yang membentuk akhlak dan kepribadian seorang anak, sastra menjadi sumber bagi ketidaktahuan (baca: kebodohan) dan pencarian tujuan hidup. Sastra mampu menjadi pelahir seorang suputra yang tau akan perilaku baik dan buruk. Sastra juga memiliki kekuatan untuk membentuk pola pikir seorang manusia untuk menentukan mana yang benar ataupun salah. Inilah yang menjadi alasan bahwa sastra sangat dekat dengan manusia jika manusia mau mendekatinya.
Jika sastra dapat dijadikan sebagai orang tua, maka tiada alasan manusia untuk menjauhi dan memarginalisasi sastra itu sendiri. Perkembangan budaya postmodern yang membentuk ideologi kapitalisme manusia telah menghilangkan posisi sastra sebagai kunci kebijaksanaan dan keteladanan. Sehingga individualitas menjadi penguasa dalam dirinya dan nilai budaya hanya sebatas simbol yang rindu akan pendalaman. Generasi kekinian yang alergi terhadap kekunoan sastra malah mempertahankan stigma bahwa sastra tidak menghasilkan. Sungguh pragmatisme yang semakin miris.
Satu bait yang seolah-olah memberi pesan dan peringatan serius bagi kehidupan manusia itu adalah hasil pembacaan beliau terhadap tanda zaman yang justru akan semakin tidak menentu. Peran orang tua sebagai pencetak suputra pun menjadi sorotan beliau. Ini artinya, orang tua pun harus mendekatkan diri pada nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalah ajaran sastra untuk membentuk dan membimbing seorang anak. Dalam hal ini, orang tua patut menjadi jawaban atas segala pertanyaan dan tujuan seorang anak layaknya sastra.
BACA JUGA:
Memandang Cokorda Denpasar sebagai seorang raja yang berorangtuakan sastra, karya beliau tersebut merupakan kritik bagi diri dan pemimpin sekarang ini. Itu artinya bahwa beliau memberikan gambaran bahwa pemimpin sama artinya seperti anak kecil yang tidak lepas dari tuntunan menuju pendewasaan alias kebijaksanaan.
Cokorda Denpasar nampaknya meletakkan pijakan bahwa pemimpin tiada bedanya dengan rakyat kecil. Jika pemimpin hendak menyatukan hati dengan rakyat, ia perlu turun dari atas tahta dan meletakkan mahkota kebesarannya. Menjadi anak kecil adalah cara merasakan tempat rendahan dan penderitaan hidup. Dan untuk membebaskan diri dari penderitaan tersebut, seorang anak butuh tuntunan kebenaran.
Sastra yang dijadikan ibu dan ayah oleh seorang Cokorda Denpasar seolah-olah berbicara di dalam pembacaannya selama Loda dikarang. Ia telah menemukan cara dan menemukan esensi isi percakapan yang muncul di dalam pemaknaannya. Kemudian ia menyajikannya untuk pembaca agar mengenal orang tuanya di dalam sastra. Itulah Loda yang mendapatkan jawaban atas pertanyaan untuk menemukan tujuan hidup. [T]
Singaraja, 19 September 2019