4 June 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Saru Gremeng” Intelektual Muda Hindu

I Ngurah SuryawanbyI Ngurah Suryawan
September 20, 2019
inOpini
Demam Peraturan dan Kooptasi Ruang Publik Kita
211
SHARES

Sikap romantik terhadap masa silam dan belenggu kultur yang mengelilinginya harus diimbangi dengan keberanian menatap masa depan dan merebut peran lebih baik. Agar generasi ini tidak menjadi generasi hana-tan hana—yang ada karena pernah hidup pada suatu masa tetapi sesungguhnya tidak pernah ada! — (Arya Suharja, 1992)

____

Pertengahan Juli 2019, saya menghadiri sebuah Dharma Pangasraman sebuah organisasi mahasiswa Hindu, tempat dimana dulu saya pernah menjadi anggotanya. Kurang lebih empat hari, mahasiswa Hindu yang ikut serta akan diberikan materi dan pembuka wawasan tentang nilai-nilai Hindu dan dinamika umat Hindu kontemporer. Sebagai kegiatan penerimaan anggota baru, kegiatan ini diharapkan mampu untuk menanamkan nilai-nilai Hindu dan karakter yang kuat bagi mahasiswa.

Namun, salah satu hal penting dari mulai saya ikut serta dalam Dharma Pangasraman di tahun 1999 hingga kini di tahun 2019, selalu saja generasi muda Hindu kebingungan dan seolah kurang percaya diri untuk berkiprah. Kebingungan tersebut mengacu pada menganalisis situasi yang perlu disikapi, termasuk dalam hal ini adalah mengkontekstualisasikan nilai-nilai Hindu untuk menerangi permasalahan kontemporer. Pada titik ini, intelektual muda Hindu selalu saja ketinggalaan kereta, gagap, dan terkesan milu-milu tuwung (ikut-ikutan).

Kurang percaya diri bagi saya terlihat jelas dari (seolah) “keengganan” untuk menunjukkan diri dan pemikiran dalam konteks nasional dan global. Salah satu sebabnya saya rasa adalah terlalu nyamannya generasi muda Hindu berkiprah “ke dalam”. Konteks ini mengacu kepada sikap mementingkan diri sendiri dan seolah-olah Bali adalah segala-galanya. Maksud saya, pikiran ini melandaskan nalarnya bahwa Bali seolah-olah steril dari pengaruh luar dan kepentingan global. Hal ini tentu saja keliru karena Bali adalah etalase berbagai kepentingan dari kuasa investasi (pariwisata) global yang mencengkramnya.

Situasi seperti itulah yang mengakibatkan seakan-akan potret generasi muda Bali adalah hanya yang “berbudaya dan berkesenian”. Karena menjadi etalase kuasa pariwisata global, cengkraman cara berpikir dan berperilaku harus tunduk dengan mesin pembentuk karakter manusia Bali ini (baca: pariwisata). Hal ini terang saja berdampak kepada cara berpikir, menganalisis, dan penentuan sikap dalam menyikapi Bali dan dunia global yang terus berubah. 

Saru Gremeng

Saya masih ingat betul suatu saat (alm) Prof. I Gusti Ngurah Bagus pernah mengungkapkan bahwa masyarakat Bali dan kalangan budayawan dan pakar-pakarnya terkait dan terbenam pada konsep lama kebudayaan yaitu yang melihat kebudayaan sebagai pedoman, panutan, dan norma. Hal ini berakibat fatal karena menganggap masyarakat pendukung kebudayaan yang ada hidup dibatasi oleh nilai-nilai budaya tersebut (Bagus, 2011; Atmaja, 2018). Hal ini terang saja sesat pikir yang fatal.

Perspektif berpikir seperti ini berdampak serius saat memandang dunia global yang terus berlari. Keterbukaan-keterbukaan pandangan untuk menginisiasi pemikiran yang kontekstual sangatlah penting. Hanya dengan pemikiran tersebutlah akan terbuka peluang-peluang ke depan untuk menafsirkan Bali yang lebih kontekstual. Kontestual maksud saya adalah yang melampaui pengentalan politik identitas yang terjadi selama ini—termasuk di dalamnya adalah Ajeg Bali dan pembentengan adat budaya.                  

Dalam kompleksitas Bali kontemporer inilah semestinya generasi muda Hindu berkontribusi. Kegelisahan yang dikemukakan Suharja (1992) jauh-jauh hari masih penad dalam konteks kini. Sungguh menyesakkan memang mendengar sekaligus meresapi pernyataan itu. Tapi itulah kenyataan yang tidak mungkin tertutupi.

Pergolakan pemikiran intelektual muda Hindu seolah tidak terdengar, saru gremeng. Kalaupun terdengar, kemungkinan berkubang pada sikap romantik dan dalam tempurung ke-Balian. Tempurung ke-Balian yang saya maksudkan adalah wacana yang diberbincangkan hanya Bali dan problematikanya. Tidak jauh daripada itu.

Permasalahannya semakin serius saat Bali berubah cepat. Respon menghadapi perubahan tentu saja memerlukan keluasan pengetahuan. Jika tidak demikian kita, generasi intelektual Hindu akan terjerumus menjadi picik, berpikiran sempit, dan hanya berwawasan “ke dalam”. Salah satu tantangan masyarakat Bali adalah merespon perubahan tersebut. Jika berorientasi “ke dalam”, maka cara merespon perubahan adalah dengan menciptakan gerakan membentengi diri (identitas) dan kebudayaan yang dibayangkan akan hilang.

Generasi (intelektual) muda Hindu apakah betul “antara ada dan tiada”? Jikapun mereka ada dan bersuara, suaranya masih dalam tempurung Bali. Begitukah?

Prof. Ngurah Bagus mendorong cendekiawan Bali untuk menghadapi dunia dengan keterbukaan pikiran yang kritis, dan bukan mengandalkan sikap yang statis dan berwawasan ke dalam. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi cendekiwan (Hindu) Bali adalah mengembangkan suatu gagasan yang lebih dinamis tentang kebudayaannya yang menawarkan ruang bagi hibriditas dan dimensi-dimensi transnasional (Nordholt, 2010: 101).              

“Melampaui Bali”?

Salah satu tantangan terbesar intelektual muda Hindu adalah melampaui romantisme ke-Balian atau yang lebih luas adalah ke-Hinduan itu sendiri. Sekali lagi yang dilampaui itu adalah cara berpikir romantisme, bukan spirit Bali dan Hindu itu sendiri. Bisakah kita merumuskan Bali dan Hindu itu adalah spirit bukan benda mati yang kita terlajur telah kita jadikan sebagai hak milik?

Romantisme dan penguatan “ke dalam” pastinya akan melahirkan sikapdefensive (bertahan) dan berani membela (nindihin) Bali yang dibayangkan sebagai pertaruhan terakhirnya. Cara berpikir seperti inilah yang melahirkan gerakan-gerakan penguatan identitas dan kebudayaan dalam rentang panjang kebudayaan Bali. Baliseering(Balinisasi), dan Ajeg Bali menjadi salah dua contohnya.

Romantisme tentu adalah problem cara berpikir. Cara berpikir dipengaruhi oleh keluasan meresapi (menginternalisasi) pengalaman-pengalaman hidup yang panjang. Di dalamnya sentuhan interaksi manusia dengan sesamanya dan akumulasi pengetahuan menjadi moda utamanya. Oleh sebab itulah, gerakan perubahan senantiasa dimulai dari kegelisahan menanggapi situasi sekitar.

Cara merespon perubahan dan nasib dari dunia yang kita pijak ada beragam. Saya terusik dengan narasi yang diungkapkan oleh Dharma Palguna (2007) dengan mengutip kisah tiga ekor ikan dalam cerita Tantri.

Ketiga ekor ikan tersebut mempunyai sikapnya masing-masing merespon bencana yang akan datang menimpanya. Ikan pertama teguh mempertahankan hidup. Ia tidak terikat oleh tempat dan kenangan di tempat itu. Ia mampu memprediksi apa yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Ia menganut faham kebebasan. Tanpa kebebasan tidak mungkin ia punya semangat hidup. Kebebasan itu ia cari walau akan menempuh perjalanan panjang meninggalkan rumah asal. Ikan pertama itu bernama Anangga Widutayang berarti “ia yang memikirkan dan tahu apa yang akan terjadi”.

Ikan kedua berpikir bertahan dengan apa yang ada, dan bila sudah tidak ada lagi yang bisa dipertahankan, barulah mencari kehidupan baru. Sangat pragmatis. Nikmati apa yang ada. Dan bila sudah tidak ada lagi yang bisa dinikmati, barulah nanti berpikir mencari jalan keluarnya. Ikan kedua bernama Predyumnati yang artinya “ia yang cekatan dan tangkas”.

Ikan ketiga justru merasa masa bodoh dengan ancaman masa depan. Ia berpikir lebih baik mati daripada meninggalkan tempat kelahiran. Tempat kelahiran, kenangan, baginya jauh lebih penting dari pada nyawa. Ia tidak hendak memecahkan masalah tetapi memilih untuk mati bersama masalah tersebut (Dharma Palguna, 2007: 128). Dari ketiga sikap tersebut, ada satu pertanyaan penting. Bagaimana nasib telaga selanjutnya yang menjadi tempat kehidupan ketiga ikan tersebut? Jika telaga tersebut kita andaikan sebagai Pulau Bali, bagaimana kita sebaiknya memperhatikan pulau yang mulai ringkih ini?

Pertanyaannya, bisakah kita berpikir “melampaui Bali” sekaligus juga tanpa mempedulikan tempat kita lahir, dibesarkan, dan (mungkin) menghembuskan nafas terakhir? [T]


SELANJUTNYA BACA:

  • Bli Ngurah, Kami Mungkin Sedang Terpesona! – [Tanggapan atas Tulisan “Saru Gremeng” Intelektual Muda Hindu]
  • Apa dan Siapa Intelektual Muda Hindu yang Dimaksud Ngurah Suryawan?


Tags: balihinduintelektualintelektual hindupemudaPendidikan
Previous Post

“Masabatan Endut”, Keteguhan Hati Daha Tenganan Pegringsingan

Next Post

Film “Dua Garis Biru”, Edukasi dalam Adaptasi

I Ngurah Suryawan

I Ngurah Suryawan

Antropolog yang menulis Mencari Bali yang Berubah (2018). Dosen di Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

Next Post
Film “Dua Garis Biru”, Edukasi dalam Adaptasi

Film “Dua Garis Biru”, Edukasi dalam Adaptasi

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Lonte!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Film “Mungkin Kita Perlu Waktu” Tayang 15 Mei 2025 di Bioskop

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Susu dan Tinggi Badan Anak

by Gede Eka Subiarta
June 3, 2025
0
Puasa Sehat Ramadan: Menu Apa yang Sebaiknya Dipilih Saat Sahur dan Berbuka?

KALSIUM merupakan mineral utama yang diperlukan untuk pertumbuhan tulang kita, tepatnya untuk pertumbuhan tinggi badan. Kandungan kalsium tertinggi ada pada...

Read more

Kita Selalu Bersama Pancasila, Benarkah Demikian?

by Suradi Al Karim
June 3, 2025
0
Ramadhan Sepanjang Masa

MENGENANG peristiwa merupakan hal yang terpuji, tentu diniati mengadakan perhitungan apa  yang  telah dicapai selama masa berlalu  atau tepatnya 80...

Read more

Seberapa Pantas Seseorang Disebut Cendekiawan?

by Ahmad Sihabudin
June 2, 2025
0
Syair Pilu Berbalut Nada, Dari Ernest Hemingway Hingga Bob Dylan

SIAPAKAH yang pantas kita sebut sebagai cendekiawan?. Kita tidak bisa mengaku-ngaku sebagai ilmuwan, cendekiawan, ilmuwan, apalagi mengatakan di depan publik...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

Perpres 61 Tahun 2025 Keluar, STAHN Mpu Kuturan Sah Naik Status jadi Institut

May 29, 2025
 Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

Haul Buya Syafii Maarif : Kelas Reading Buya Syafii Gelar Malam Puisi dan Diskusi Publik

May 27, 2025
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Lawan Sastra Ngesti Mulya
Khas

Lawan Sastra Ngesti Mulya

LAWAN Sastra Ngesti Mulya adalah salah satu kearifan warisan Ki Hadjar Dewantara di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta. Sesanti itu bermakna...

by I Nyoman Tingkat
June 4, 2025
Senyum Rikha dan Cendol Nangka Pertama: Cerita Manis di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Senyum Rikha dan Cendol Nangka Pertama: Cerita Manis di Ubud Food Festival 2025

LANGIT Ubud pagi itu belum sepenuhnya cerah, tapi semangat Rikha sudah menyala sejak fajar. Di tengah aroma rempah yang menyeruak...

by Dede Putra Wiguna
June 3, 2025
Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025
Panggung

Terong Saus Kenari: Jejak Rasa Banda Neira di Ubud Food Festival 2025

ASAP tipis mengepul dari wajan panas, menari di udara yang dipenuhi aroma tumisan bumbu. Di baliknya, sepasang tangan bekerja lincah—menumis,...

by Dede Putra Wiguna
June 3, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

Lengkingan Gagak Hitam | Cerpen Mas Ruscitadewi

May 31, 2025
Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

Puisi-puisi Eddy Pranata PNP | Stasiun, Lorong, Diam

May 31, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [17]: Wanita Tua dari Jalur Kereta

May 29, 2025
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co