Para pembaca yang budiman, sejak awal harus diingatkan, tulisan ini adalah opini. Bukan berita. Opini adalah ide yang muncul dari penulis dan berita harus berdasarkan fakta. Bagi yang menganggap ulasan ini serius, silahkan. Begitupun juga sebaliknya.
Soal pemilihan kepala daerah serentak sedang hangat di warung kopi. Saat saya duduk di sebuah warung nasi, obrolan soal Pilkada Tabanan ternyata bisa menyaingi kegurihan sop ikan laut yang tersaji.
Tabanan akan menjadi salah satu peserta Pilkada serentak pada 2020 bersama dengan Jembrana, Badung, Denpasar, Bangli dan Karangasem.
Saat ngobrol di warung nasi, saya mendengar ada yang mengatakan perlu “orang gila” untuk melawan petahana (pemegang suatu jabatan politik tertentu/ yang sedang atau masih menjabat) di Tabanan.
Menemukan “orang gila” yang siap menghamburkan uang dan tenaga untuk bersaing politik dengan petahanan di Tabanan menurut saya sulit.
Sosok petahana yang diprediksi muncul adalah, I Komang Gede Sanjaya yang merupakan wakil Bupati Tabanan juga Ketua DPC PDI Perjuangan Tabanan.
Sebagai Ketua DPC, Komang Sanjaya, menurut saya, sudah memegang rekomendasi partai dengan satu tangan. Tinggal tunggu waktu untuk memegang dengan penuh.
Sepertinya perlu menanggalkan akal sehat, jika partai lain seperti Golkar (5 kursi), Nasdem (3 kursi), Gerindra (3 kursi) dan Demokrat (1 kursi) berencana mengusung lawan tanding bagi PDI Perjuangan Tabanan.
Tapi, bukan berarti itu mustahil. Apapun bisa terjadi dalam dunia politik yang gila, termasuk munculnya “orang gila”.
Anggapan “orang gila” untuk melawan petahana di Tabanan masuk akal. Karena saat ini PDI Perjuangan menang besar di Pemilu legislatif Tabanan. Meraup sekitar 70 persen atau 28 kursi dari total 40 yang tersedia.
Dan oleh karena itu, wacana calon petahana versus kotak kosong adalah alternatif.
Untuk calon independen? Dari hasil penelusuran di dunia maya dan membaca berita politik koran lokal, di Tabanan belum ada batang hidungnya tuh. Jika ada, itu hanya calon karbitan yang muncul jelang masa injuri time.
Selain itu, keyakinan saya PDI Perjuangan juga akan kembali berjaya pada perhelatan Pilkada di Tabanan pada 2020.
Empat tahun setelah Pilkada 2015 yang memenangkan pasangan Bupati Ni Putu Eka Wiryatuti dan wakilnya I Komang Gede Sanjaya belum saya lihat ada yang serius berinvestasi politik di Tabanan.
Jika ada, itu adalah anggota dewan dengan bansosnya.
Dalam proses pemberian bansos, para politisi menjaga lumbung suara mereka di akar rumput. Selain meminta suara untuk pemilihan legislatif, suara yang telah terbeli ini akan kembali digunakan untuk pemilihan bupati, gubernur hingga presiden berikutnya. Tentunya dengan imbalan serupa.
Dengan pola yang sudah baku ini, sistem politik dinasti secara alami terbentuk. Bagi yang ingin mengkudeta itu, menurut saya omong kosong jika hanya sekedar ngoceh di media sosial, tanpa melakukan investasi politik melalui tindakan dan “pencitraan” di dunia nyata. Gejala ini disebut panorama kepanikan atau panic scene (Yasraf, 2004, 104).
Panik dalam artian orang yang tidak puas dengan sistem politik dinasti hanya sekedar ngoceh tanpa berbuat apa-apa. Ehh, baru sadar jika hajatan Pilkada sudah dekat. Menyedihkan!
Perlu diketahui, sistem politik dinasti merupakan hal umum terjadi di belahan dunia lain. Seperti di Korea Utara hingga saat ini masih dipegang trio Kim. Mulai dari Kim Il-sung, Kim Jong-il dan Kim Jong-un.
Amerika juga pernah menorehkan dinasti politik yang dibangun oleh keluarga Kennedy dan keluarga Bush.
PDI Perjuangan di Tabanan sepertinya sedang mempersiapkan pendamping untuk calon bupati. Entah siapa?
Namun, ada yang bilang politik dinamis. Terpilihnya I Made Dirga sebagai Ketua DPRD Tabanan menunjukkan hal itu. Padahal yang direkomendasikan oleh DPC PDI Perjuangan adalah I Nyoman Arnawa atau Komet.
Apakah semua sekenario ini berakhir happy ending? Hanya Tuhan dan Ibu (Megawati Seokarnoputri) yang tahu. [T]