Merayakan peringatan kemerdekaan RI dengan menonton film Bumi Manusia garapan Hanung Bramantyo, sungguh mencengangkan. Film yang dipayungi oleh Falcon Picture ini, diadaptasi dari novel Bumi Manusia.
Bumi Manusia merupakan buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada 1980. Karyamasterpiece ini kemudian beralih wahana menjadi film yang ditulis oleh Salaman Aristo.
Novel Bumi Manusia menceritakan tentang Minke (Iqbaal Ramadhan), seorang pribumi yang bersekolah di HBS. Mekipun pada saat itu, orang yang boleh bersekolah di HBS hanya keturunan Eropa. Namun Minke, selain anak seorang bangsawan, ia juga pribumi yang piawai menulis.
Ia kerap gelisah melihat nasib pribumi yang tertindas. Melihat kondisi di sekitarnya itu, Minke tergerak untuk memperjuangkan nasib pribumi melalui tulisan. Tokoh Minke dibuat karena Pramoedya terinspirasi dari sosok R.M. Tirto Adhi Soerjo, yang kini dikenal sebagai Bapak Pers Nasional.
Selain tokoh Minke, Bumi Manusia yang berlatar di Surabaya pada masa pendudukan Hindia Belanda 1898 ini juga menggambarkan seorang nyai bernama Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti). Pada masa itu, nyaidianggap sebagai perempuan rendah karena statusnya sebagai istri simpanan.
Status seorang nyai membuatnya tidak memiliki hak terhadap pernikahan dan anak-anaknya. Di tengah cerita itu, Bumi Manusia juga memiliki sinopsis kisah asmara antara Minke dan Annelies (Mawar de Jongh), anak dari Nyai Ontosoroh dengan tuannya Herman Mellema (Peter Sterk).
Sebelum membeli tiket, saya dan kawan-kawan (yang mengaku pecinta karya Pramoedya) menanggalkan memori kami tentang novel Bumi Manusia. Banyak orang punya ekspektasi tinggi terhadap film itu, dan saya sejak awal sudah menurunkan standar ekspektasi saya. Kami tidak memiliki imajinasi tinggi, lebih karena penasaran saja. Kami menyadari bahwa karya sastra sebesar Bumi Manusia tentu sangat membebani sutradara. Di sisi lain, Hanung ingin membuktikan bahwa Bumi Manusia perlu dikenal di kalangan remaja mellenial. Maka ia pilih Iqbal sebagai Minke, meski menuai polemik.
Rasa penasaran kami menjadi-jadi manakala film dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Semua penonton pun berdiri sedikit canggung. Usai itu, adegan film diawali dengan Minke yang dibangunkan oleh Robert Suurhof (Jerome Kurnia). Adegan awal yang dengan ritme yang cepat. Percakapan pun berlanjut dalam bahasa Belanda. Patut diacungkan jempol untuk kemampuan berbahasa Belanda dari para aktor.
Di sisi lain, ketika berdialog dalam bahasa Indonesia beberapa kali terasa hambar karena diksi dan pemaknaan dialog lemah. Beruntung, sisi sinematografi menyelamatkan film ini. Kualitas akting Sha Ine dan Mawar de Jongh pun menghidupkan adegan. Nampaknya tidak begitu dengan Iqbal. Kesan karakter Dilan masih melekat dan sangat keteteran di beberapa adegan klimaks.
Pertama, kami sangsi dengan sudut pandang sutradara. Adegan romantis Minke dan Annelies tampak janggal. Mungkin bisa diikuti adegan-adegan romantis seperti drama korea yang tidak terlalu pecicilan namun disukai mellenial. Adegan ranjang dan saat Minke memandikan Annelies kurang digarap maksimal. Eksekusi yang tidak tepat sasaran.
Bila pasar konsumen yang dituju adalah kaula muda, sebaiknya adegan romantis itu dikemas lebih matang. Kesan Minke pun runtuh. Nampaknya Minke dalam film ini sangat emosional. Adegan makan malam yang terlalu lama, adegan pertengkaran di kelas yang panjang, dan adegan pertarungan yang tidak perlu durasi banyak. Tiga jam adalah durasi yang terlalu memaksakan.
Kedua, penulis skenario yang cenderung mengabaikan kekuatan dialog. Banyaknya repetisi dialog dengan kalimat yang sama justru menjatuhkan adegan. Repetisi yang dimaksud untuk mencapai emosi malah tidak tercapai. Penggunaan kata sih pada dialog juga menghilangkan kesan 1898. Banyak dialog yang tidak efektif meruntuhkan pesan cerita. Kata-kata mutiara dari Pramoedya terkesan tempelan dan sengaja ditekankan. Seolah-olah penonton ditodong bahwa ini dialog paling penting. Padahal, kesadaran penontonlah yang menjadikan dialog tersebut bermakna atau tidak.
Ketiga, tim riset. Saya pikir Indonesia tidak kurang tenaga riset film. Saya pun spontan membandingkan dengan drama Korea, Mr. Sunshine ditulis Kim Eun Sook. Film ini mengambil latar 1870an ketika peralihan kolonial dan awal mula zaman modern. Penggarapan cerita sejarah yang kuat, kisah romantisme tanpa mengumbar ciuman, dan kekuatan tim riset untuk melihat sisi kekuatan historisnya. Tidak begitu dengan film Bumi Manusia yang mengejar romantisme Minke dan Annelies dan riset penokohan yang kurang.
Terakhir, pertanggung jawaban mendidik aktor. Saya pikir aktor populer seperti Iqbal bisa meluangkan waktunya untuk tiga sampai enam bulan terjun ke pelatihan keaktoran. Sungguh disayangkan emosi Iqbal yang meledak jadi tidak seimbang dengan lawan mainnya. Saya ingat pernyataan Iswadi Pratama, bahwa aktor tak perihal ngekting (seolah-olah berakting) tapi aktor adalah menjadi. Iqbal nampak kedodoran dari segi mimic, gesture, dan kontak mata, di beberapa adegan penting.
Sebagai sebuah usaha, tentu film ini patut dipuji karena berani mengangkat karya yang sebelumnya dibredel pemerintah. Upaya-upaya positif untuk mendektakan sejarah dengan masyarakat luas terutama remaja patut diapresiasi. Di sisi lain, bagaimana pun Hanung tentu sudah mempersiapkan diri bila film ini menuai kritik dan belum mencapai ekspektasi. [T]