Tahun ajaran baru sudah dimulai. Berbagai acara pengenalan suasana kampus digalakan demi menyambut Mahasiswa Baru. Pemandangan serba aneh mulai dari topi Caping, rumbai-rumbai makanan kecil dan hal lainnya yang membuat mata tak nyaman sudah mulai dihilangkan dari acara pengenalan Kampus. Praktis ini membuat para Mahasiswa Baru terlihat jauh lebih elegan.
Banyak di antara mereka dan mungkin juga kita tak menyadari apakah jurusan yang diambil sesuai dengan keinginan dan kemampuan atau tidak. Tapi, keluar dari itu pertanyaan di atas cepat atau lambat menyerang pikiran mereka dan mulai bertanya-tanya pada diri sendiri.
Fase perkenalan sejatinya tak akan lama, setelah fase awal itu, mereka akan naik ke fase selanjutnya. Mereka akan memiliki adik kelas, akrab dengan suasana kampus, menjadi panitia OSPEK, merasa “diseniorkan” dan bla bla bla.
Tapi saat selangkah lagi tiba di garis finish pertanyaan itu kembali menggelayuti pikiran “Setelah lulus kuliah mau ngapain? Berbekal pertanyaan itu beberapa orang memutuskan untuk “menunda” kelulusan berdalih tak mau menambah angka pengangguran di Indonesia.
What? Pengangguran? Kenapa alasan itu yang muncul? Biasanya alasan itu justeru ada pada orang yang memiliki firasat setelah lulus tak bisa kemana-mana, tak bisa beraktivitas apa-apa, alias nganggur. Jadi, secara sadar dia menobatkan diri sebagai pengangguran sebelum jadi pengangguran sebenarnya. Setuju?
Memang hitungan sederhananya begini, satu kali wisuda bisa meluluskan 400-600an wisudawan. Satu tahun pihak kampus mengadakan wisuda dua sampai tiga, bahkan empat kali, jadi sudah bisa dihitung ada lebih dari 1.000 sarjana tiap tahunnya dan itu baru dari satu kampus, belum dari kampus-kampus lain di seluruh penjuru negeri.
Tidak dipungkiri dari 1.000 kepala tersebut, mayoritas menginginkan terjun ke dunia pekerjaan yang sesuai dengan jurusan yang mereka ambil, ya meskipun jurusan tak selalu sejalan dengan kemauan, tapi ya sudahlah kita anggap sesuai dengan jurusan saja agar tak membahas kemana-mana.
Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikian Tinggi mencatat sekitar 8,8 % dari 7 juta pengangguran di Indonesia adalah sarjana, berarti ada sekitar 630.00 sarjana pengangguran pada tahun 2018 (Sumber : https://www.pikiran-rakyat.com/pendidikan/2018/03/26/630000-orang-sarjana-masih menganggur-421873).
Data yang sangat mendukung untuk para penunda wisuda. Semestinya sebagai Mahasiswa bisa berpikir lebih dari itu. Lebih bisa melibatkan orang lain dalam setiap tindakannya. Ada penantian orang tua yang harus tertuntaskan, ada harapan orang-orang sekampung yang menunggu ingin melihat tetangganya memakai toga, ada tetangga nun jauh di sana yang juga ingin tahu kampus itu seperti apa dan bagaimana. Karena mungkin hanya dengan melihat Anda wisuda mereka baru bisa ikut melihat dan tahu bagaimana suasana kampus.
Jadi, perihal pekerjaan semestinya tidak jadi pertimbangan paling utama dalam memutuskan kapan lulus. Ada keringat dan harapan orang-orang sekitar yang harus segera terbayarkan. Ada tanggung jawab yang harus diselesaikan.
Masalah tidak berhenti di situ. Itu bagi dia yang berpikiran untuk menjadi pekerja, belum lagi mereka yang bilang bahwa urusan pekerjaan bagi seorang sarjana bukan nomor satu, karena yang utama adalah membuka lapangan pekerjaan. It’s ok, enggak papa, semua orang, semua
Mahasiswa saya yakin pernah mengalami fase dimana kita-sebagai mahasiswa menilai bahwa hidup harus bisa bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang, padahal yang perlu disadari sebelum bermanfaat untuk sebanyak mungkin orang, paling tidak, minimal kita harus bisa bermanfaat bagi diri sendiri, tentu saja bagi kalangan terpelajar adalah menyelesaikan tugas studinya. Jadi mau bekerja atau membuka usaha?
Ah yang terpenting bukan itu,, di atas itu ada lagi yang mesti dilatih, yaitu membangun diri.
Di sisi lain, ada pandangan dari masyarakat yang sedikit memojokkan para sarjana. Mereka menganggap bahwa seorang sarjana harus berpakaian rapi, berjas dan berdasi dan semacamnya. Setiap pagi bolak-balik dengan kendaraan menuju kantor dan pulang sore hari, sebagian lagi menganggap itu sama saja dengan “Memperbudak diri”. Dan secara tidak langsung mendorong tujuan orang tua yang menguliahkananaknya untuk bisa jadi pekerja bukan mencari pengalaman, memperluas circle pergaulan atau bahkan mencari ilmu.
“Sebagus-bagusnya dia punya mobil tetep aja itu hasil digaji orang, setiggi-tingginya pangkat dan jabatan di kantor tetep aja statusnya pegawai, pesuruh. Mending gue dong usaha, berapapun uang yang gue dapet, gue tetep jadi pemimpin perusahaan, gue kepala meskipun di tubuh ikan teri, daripada lu di tubuh hiu tapi cuma bisa jadi ekor”.
Ini “Indonesia banget’’, tidak pernah bisa memandang satu hal lebih dari satu sudut pandang, semuanya subjektif, kalau orang jawa bilang semaue dewek. Sekalipun objektif ya sama hal-hal yang menguntungkan dia saja, Hey, come on, saya coba beri stimulus positif pada adik-adik Mahasiswa, perihal setelah lulus kuliah mau jadi apa, itu lebih dari sekadar keputusan, semuanya membutuhkan mental dan porsinya masing-masing.
Yang memutuskan jadi karyawan, dia butuh mental, kerja dibawah tekanan dan yang paling sulit adalah mengorbankan waktu bersama keluarga. Begitupun yang memutuskan jadi pengusaha, dia membutuhkan kesabaran setebal baja, hati sekeras batu dan jiwa marketing yang saat ini hampir semua orang sudah memilikinya, persaingan pasar ketat. Kesemuanya memiliki porsinya masing-masing, bukan saling menyudutkan.
Nah, karenanya selain bekerja dan berwirausaha ada satu penawaran yang sangat menarik. Yaitu berkarya. Bagaimana agar bisa berkarya? Manfaatkan waktu 4-7 tahun masa kuliah itu, pelajari sebanyak mungkin hal yang bisa kamu jangkau dan pelajari, bergaullah dengan sebanyak mungkin orang bahkan sampai memori di handphonemu tak cukup lagi menampung kontak dan jaringan yang sudah kamu bangun selama kuliah. Beberpa waktu lalu, saya pernah melihat postingan insta story salah satu seniman Indonesia, ya saya menyebutnya seniman karena dia sangat multitalenta, Pandji Pragiwaksono. Begini postinganya :
Dimulai dari sebuah cerita…
Suatu hari, Ayah saya. Koes Pratomo Wongsoyudo yang saat itu bisnis penyediaan alat-alat berat konstruksi, berbincang dengan rekan kerja berkewarganegaraan Jerman di Hotel yang saat itu namanya masih Hotel Hilton.
Orang Jerman tersebut bertanya dalam bahasa inggris
“Koes, orang Indonesia itu aneh ya…”
Ayah saya bertanya balik dengan tidak kalah bingungnya
“Aneh bagaimana?”
“Orang Indonesia itu kalau bikin ukiran bisa detil sekali, indah, presisi” ujarnya sambil menunjuk ke sebuah ukiran kayu jepara yang menempel pada tembok hotel.
“Tapi..”lanjutnya lagi.
“Orang Indonesia kalau bikin tangga, anak tangganya nggak presisi banget. Kadang tinggi anak tangganya 20cm, anak tangga selanjutnya 21cm, anak tangga berikutnya 20,5cm..ga bisa presisi, ga pernah rapi. Kenapa bisa begitu Koes?”
Ayah saya menjawab,
“Yang bikin ukiran itu berkarya, yang bikin anak tangga itu bekerja”
Bagaimana? Mau bekerja saja atau bekerja dan berkarya?
Luluslah dan berkarya! [T]