Tulisan ini saya temukan secara tidak sengaja di sebuah folder rahasia, di dalam notebook Lenovo yang saya beli di tahun 2013 lalu. Rahasia, karena selain menyimpan tugas-tugas kuliah, juga arsip-arsip kolonial Belanda berjenis Memorie van Overgive (memori serah terima jabatan) tentang Bali dan atau arsip-arsip lain yang saya dapatkan dengan membeli atau barter. Namun, sejak 2015, sudah saya museumkan, selain karena ukurannya kecil 10 inch sehingga kurang cocok dengan ukuran jari saya yang besar, kemampuan prosesornya pun telah melambat. Alih-alih mendukung mobilitas saya sehari-hari, notebook Lenovo itu lebih sering macet dan restart sendiri. Kini, notebook itu menjadi penghias lemari kosan dan saksi bisu perjuangan saya merengkuh gelar master.
Tulisan yang hadir di hadapan pembaca Tatkala berikut merupakan tugas pada matakuliah teori-teori sosial yang saya modifikasi isinya. Kebetulan saat itu saya sedang latah mempelajari teori-teori poskolonial alaDunia Ketiga, khususnya India yang digagas oleh Homi K Babha dan Gayatri Spivak. Kelompok yang mereka dirikan dikenal dengan subaltern studies, yakni sebuah kelompok diskusi yang mendedikasikan karya-karyanya bagi emansipasi dan humanisme terhadap “orang pinggiran”.
Pada momen 17-an yang akan jatuh pada hari Sabtu, 17 Agustus 2019 dan menandai 74 tahun Indonesia merdeka, tatapan masa lalu terhadap identitas Indonesia pra kemerdekaan masih relevan untuk dibicarakan. Apalagi jika melihat dua isu yang sempat berkembang akhir-akhir ini yakni wacana “Negara Khilafah” dan “hantu PKI”. Dua isu itu akan saya bicarakan pada tulisan yang lain. Setidaknya, melalui tulisan pendek ini, jalan untuk memahami mengapa fondasi keindonesiaan terlihat rapuh, belum atau tidak pernah selesai mencapai titik terang.
Sebagai starting point yang akan membawa kita pada dimensi masa lalu pra kemerdekaan, saya awali dengan review singkat sebuah film berjudul “Oeroeg”. Film ini sempat saya jadikan bahan diskusi dengan mahasiswa di Prodi Pendidikan Sejarah pada mata kuliah Sejarah Indonesia Baru beberapa bulan belakang. Tugas mereka mudah, cukup duduk manis dan tonton filmnya sampai habis. Setelah itu, mereka saya bebankan membuat review yang sekaligus menjadi tugas Ujian Akhir Semester. Satu hal yang saya tekankan, hindari plagiasi. Bagi saya, plagiarisme adalah virus mematikan dalam dunia ilmiah dan kejahatan akademik yang susah dimaafkan. Mahasiswa yang kedapatan melakukan hal itu tidak akan saya luluskan.
Rencananya, tulisan terbaik akan saya orbitkan ke Tatkala. Namun hingga seluruh tugas saya cermati, tidak satupun yang memuaskan harapan saya. Dari pengalaman itu, hikmah yang bisa saya petik bahwa penyakit kronis yang menghinggapi sebagian besar mahasiswa sejarah adalah kehilangan gairah membaca. Padahal aktivitas ini adalah kredo ultima yang harus dijejaki. Tradisi membaca, perlahan namun pasti mulai tersisih oleh budaya tontonan. Akibatnya, tulisan yang dibuat miskin ide dan gagasan, kekurangan narasi dan referensi. Lalu, jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah ini adalah copypaste internet. Saya pikir, kesalahan tidak sepenuhnya dari mereka, bisa jadi saya yang kurang bisa mendidik dengan harapan yang terlalu tinggi.
Meskipun film ini dibuat hampir 3 dekade (rilis internasional berjudul “Going Home” pada 1993, setting kolonial 1920-1950), sepertinya masih relevan dipakai untuk masa kini, khususnya dalam menakar identitas Indonesia jelang hari jadinya yang ke-74 pada 17 Agustus 2019. Film ini berkisah tentang interaksi dua bangsa, Barat yang diwakili oleh Belanda, dan Timur oleh Indonesia. Dua tokoh utama dalam film yang terlibat pergumulan batin, Johan dan Oeroeg, berada pada identitas yang terbelah pada awal 30-an sejak gelombang necisme Bung Karno dkk beserta nasionalisme borjuis yang digagas oleh kalangan priyayi terpelajar mulai menjalari Hindia Belanda (Indonesia sekarang).
Di awal tahun 1920-an, hubungan antara Johan, si ras putih dan Oeroeg, wong pribumi (secara sarkastik dipanggil inlander) nampak mesra. Kolonialisasi Pencerahan Eropa yang dibawa diaspora Belanda ke Hindia melalui jalur perdagangan sejak era Cornelis de Houtmen 1596 hingga pembentukan Kongsi Dagang Hindia Timur VOC 1602, tidak pernah tuntas. Meski Pencerahan melahirkan ide-ide humanisme dan egalitarianisme, sekaligus juga superioritas ras yang berakibat pada kolonisasi dan kolonialisasi seberang lautan, namun warisan primitif the dark age masih tercecer dalam memori kolektif Eropa dan terekam dalam pola hubungan sosial yang diskriminatif juga dominatif. Khususnya teman-teman kulit putih Johan yang sering melakukan rasisme terhadap Oeroeg di dalam pergaulan. Namun tidak bagi Johan, Oeroeg bukan hanya anak darijongoes perkebunan milik bapaknya, melainkan seseorang yang Ia anggap sahabat dan bagian terpenting yang mengisi masa-masa kecil penuh warna di Hindia Belanda.
Hubungan yang harmonis itu pada akhirnya nampak problematis dan dilematis berujung bubar. Puncaknya terlihat pada salah satu scene. Saat tengah menikmati keramaian kota, Johan dan Oereoeg dewasa mendapat perlakuan kasar dari seorang penjual sate. Si penjual mengatakan bahwa lebih baik merugi daripada harus menjual satenya kepada penjajah. Penjajah yang dimaksud di sini adalah orang berkulit putih, memakai topi dan berstelan jas. Oeroeg meradang dan membela habis-habisan Johan, namun akhirnya Ia sadar bahwa batas rasial tidak mungkin cair sampai kapanpun juga setelah melihat dengan langsung perilaku Johan yang justru memilih duduk bersama teman-teman Belandanya di sebuah ruangan bioskop yang tempat terpisah dengan bumiputera yang mereka sebut inlander.
Tensi sosial dan politik yang mengarah kepada pembentukan identitas nasional semakin meninggi tatkala Republik Indonesia lahir di masa vakum of power pada 17 Agustus 1945. Meski begitu, revolusi sosial yang dicitakan sedikit mandeg ketika Belanda datang kembali ke Hindia setelah sebelumnya mengalami kekalahan dari Jepang pada Perang Asia Pasifik 1942. Hanya karena keikusertaan Amerika dan Uni soviet, kemenangan Sekutu tinggal menunggu hari. Pada Perang Asia Pasifik, khususnya, Jepang dengan polah arogan telah membangunkan raksaa tidur Amerika Serikat melalui serangan mematikan ke pangkalan militer AS di Hawai, Pearl Harbour pada 1937. Amerika yang terikat doctrin monroe berada dalam dilema. Ikut perang atau berdiam diri. Memilih perang berarti sama saja mengubur warisan Monroe yang telah menjadi konsensus nasional. Di sisi yang lain, jika hanya berdiam diri terhadap kecongkakan Jepang, sama saja dengan membiarkan mereka mengacak-acak kedaulatan nasional Amerika. Atas nama kedaulatan nasional yang dikoyak Jepang, pilihan terbaik yang mungkin dilakukan adalah mengkhianati warisan Monroe dan menyatakan perang terhadap koalisis Jepang, Jerman dan Italia
Penjajahan, walau bagaimanapun selalu lebih banyak dampak negatifnya daripada dampak positif, khususnya bagi manusia yang terjajah. Dampak negatif itu di antaranya menimbulkan depersonalisasi dan alienasi kultural sosial yang dibatinkan (embodied). Depersonalisasi bukan hanya mengasingkan gagasan pencerahan tentang manusia, melainkan mengubah transparansi realitas sosial yang telah ada sebelumnya. Apabila tatanan historisitas Barat di suatu negara jajahan terganggu, yang lebih terganggu lagi adalah representasi fisik dan sosial subjek manusianya. Dalam kondisi penjajahan, humanitas yang natural akan berubah menjadi (ter) asing.
Alienasi kultural yang dialami masyarakat terjajah memusatkan diri pada ambivalensi identifikasi fisik yang membuatnya menderita. Tatapan manusia kulit putih, pada satu sisi dapat memporakporandakan manusia kulit hitam/berwarna. Kulit hitam/berwarna oleh kulit putih sering dituduh sebagai primitif, memiliki defisiensi intelektual, ras rusak, kanibal, akhirnya membenci eksistensi dirinya. Oleh sebab itu, dalam manusia kulit hitam/berwarna selalu timbul hasrat untuk melarikan diri dari keberadaan dirinya. Orang kulit putih pada kasus itu bisa dianggap sebagai ahlinya dalam membuat orang kulit berwarna membenci identitas dirinya.
Pertanyaannya kemudian, masih relevankah depersonalisasi dan alienasi kultural dampak buruk penjajahan dalam membaca masyarakat terjajah kontemporer, di mana penjajahan fisik telah berakhir sejak negara-negara Dunia Ketiga memproklamirkan diri sebagai nation state baru melalui cangkokan ideologi penjajah? Jawabannya MASIH. Meski telah merdeka dan terjadi serangkaian revolusi fisik maupun sosial, jejak-jejak depersonalisasi yang telah lama menubuh itu tidak begitu saja hilang atau lenyap. Jejak-jejak depersonalisasi dan alienasi kultural itu misalnya dapat kita lihat dari inferioritas (perasaan rendah diri) bangsa terjajah. Meski penjajahan fisik telah berlalu, namun trajektori kekuasaan beralih pada dominasi mental yang akan sangat susah dideteksi kehadirannya.
Di era kesejagatan, di mana akses informasi tidak bisa dibendung, trajektori dominasi mental berwujud iklan-iklan kecantikan, gaya hidup konsumtif, desakralisasi sekaligus sekularisasi segala bidang kehidupan. Kecanggihan pola pikir kulit putih untuk menghasilkan kebencian eksistensi diri kulit hitam/berwarna bertemu pada titik ini. Sebagai contoh adalah kelihaian kapitalisme produk penjajahan dalam mengkemas konsep “putih=cantik” dalam produk iklan kecantikan. Akibatnya, narasi cokelat atau eksotis “absen” dalam perbincangan perempuan-perempuan di Negara Dunia Ketiga. Sebagian besar perempuan yang telah terkooptasi iklan kecantikan itu akan menganggap putih sebagai tujuan, bahkan obsesi yang harus diraih. Tidak putih, akan dengan mudah dianggap asing lalu ter-asing dalam pergaulan, dibuly bahkan dicaci.
Sejalan dengan putih = cantik, kapitalisme juga sukses mencangkokkan visualisasi instan “menjadi putih” ke dalam teknologi. Melalui AI (artificial intelligent), obsesi “putih” yang biasanya diraih dengan cara konvensional dirasa lama dan membuang banyak waktu bisa dilakukan secara instan. Produk HP Cina, Korea dan Amerika yang membanjiri pasar gadget tanah air digandrungi oleh penduduk berkode +62 ini. Selain menawarkan harga miring, juga ditopang kemampuan kamera dalam menghasilkan “putih” sempurna yang siap diunggah ke media sosial.
Dengan melihat dominasi kulit berwarna seperti Cina, Jepang dan Korea dalam industri gadget yang menghasilkan stigma putih=cantik, maka “putih” vis a vis hitam/berwarna, tidak lagi berupa urusan fisik, namun sebuah konsep kunci untuk membaca kemajuan pola pikir manusia. Alasanya, mereka, si kulit berwarna yang kini mendominasi perekonomian dunia tidak hanya berhenti pada proses meniru (mimikri sosial), lebih daripada itu adalah menubuhkan dan lalu menerapkan cara-cara itu melebihi kemampuan yang dimiliki Barat putih kontemporer.
Alienasi identitas telah membuat keberadaan seseorang menjadi terbelah, membayangi dirinya sebagai manusia terjajah yang merupakan refleksi dari kegelapannya. Oleh sebab itu, manusia terjajah memiliki hasrat untuk keluar dan melarikan diri, lalu masuk ke dalam identitas lain yang diidealkan. Agar eksis, terjajah harus masuk ke dalam ruang, tubuh, pikiran, dan pandangan penjajah. Di era pasca kolonial dimana penjajahan fisik tidak lagi menjadi “hantu” yang menakutkan dan digantikan dengan penjajahan mental, sosial dan kebudayaan dalam wujud iklan televisi dan media cetak,
Selain alienasi, mimikri sebagai bentuk perlawanan dari terjajah tidak bisa dikesampingkan. Mimikri mengandung dua pengertian. Pertama, mimikri dalam kategori biologis merupakan kemampuan jenis binatang tertentu seperti kupu-kupu untuk menyerupai jenis lain yang lebih kuat atau yang mempunyai daya pertahanan lebih besar. Kemampuan ini dapat pula berarti kemampuan mengubah warna diri menjadi seperti warna daun dan bagian tanaman lain suatu tumbuhan. Kedua, konsep mimikri yang dipakai Homi K. Babha mengacu pada mimikri dalam kategori bahasa. Mimikri dalam konteks kolonial dipahami sebagai hasrat (desire) atau identifikasi dari terjajah menjadi sama dengan penjajah, tetapi tidak sepenuhnya. Ia hadir sebagai aktualisasi perbedaan.
Meski demikian, mimikri sebagai sebuah analisis untuk membedah fenomena identifikasi terjajah terhadap penjajah ternyata mengandung ambivalensi, di satu sisi terjajah berhasrat membangun identitas sejenis, namun di saat bersamaan menegasikan perbedaan dengan penjajah. Ambivalensi dapat dilihat pada dua hal. Pertama, mimikri adalah suatu strategi yang rumit untuk menata kembali, mengatur, mendisiplinkan, dan mencocokkan diri dengan penjajah sebagai visualisasi kekuatannya. Kedua, mimikri juga merupakan ketidakcocokan, sebuah perbedaan atau perlawanan yang melekat pada fungsi strategis kekuatan dominasi kolonial.
Upaya yang sangat mungkin dilakukan terjajah untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai the part of penjajah bukan saja melalui bahasa, melainkan lebih banyak melalui gaya hidup sebagai manifestasi dari hasrat terjajah untuk menyesuaikan diri dengan kehendak zaman, mencapai kemajuan, dan menempatkan diri sama dengan bangsa penjajah. Salah satu bentuk gaya hidup terjajah nampak pada ketertarikan terhadap busana Eropa. Praktik-praktik berpakaian pemuda Indonesia yang telah mendapatkan pendidikan Barat itu melahirkan apa yang dikenal dengan busana necis. Gaya ini dipelopori pemuda Indonesia periode 1900-an seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir. Menjelang 1940-an, ketika gelombang nasionalisme semakin kuat pengaruhnya, Soekarno mempelopori necisme lokal, maksudnya meniru busana Barat, namun pada saat yang bersamaan menegasikannya dengan peci yang dikenakan di kepala sebagai sebentuk identitas perlawanan terhadap penjajahan Barat.
Titik persinggungan antara mempelajari Barat namun di saat yang bersamaan tetap memancangkan perbedaan identitas adalah kemunculan kelas menengah, atau yang sering disebut elit priyayi. Mereka adalah sebuah kelas dimana pada tubuhnya mengalir darah lokal, akan tetapi cita rasa, pandangan, moral, dan intektualnya adalah Barat. Dalam kasus Indonesia, karena keistimewaan kedudukannya dalam struktur sosial, mereka dengan leluasa mendapatkan akses modernitas Barat dan nilai-niai pencerahan Eropa melalui pelayanan pendidikan. Ambiguitas dan ambivalensi identitas terjajah yang diwakili kelas menengah semakin nampak manakala dengan bermodal pendidikan Barat, secara frontal menggunakan ide-ide itu untuk melawan Barat. Ideologi nasionalisme misalnya bisa dikatakan sebagai kegiatan konsumsi kaum priyayi Indonesia terhadap produk Barat. Alasannya, nasionalisme sebagai sistem ide, adalah fenomena termutakhir masyarakat Eropa sejak abad XIX yang mendorong lahirnya negara-bangsa baru menggantikan kerajaan-kerajaan feodal. [T]